Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Penciptaan Suasana Keberagamaan


A.  Penciptaan Suasana Keberagamaan
1.    Pengertian  Keberagamaan
  Keberagamaan berasal dari kata agama, apabila ditinjau secara etimologi kata agama berasal dari bahasa sangsekerta yaitu a dan gama; berarti tidak dan gama berarti pergi.[1]Jadi, agama berarti tidak pergi. Secara terminologi ada beberapa ahli yang mendifinisikannya, yakni ;
a.       ESP.Haynes berpendapat bahwa  agama adalah suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya.
b.      James Martincan menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan ketentuan ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan moral dengan umat manusia.[2]
  Dari definisi di atas adapat dipahami bahwa agama adalah suatu keyakinan kepada yang gaib. Tegasnya, kepercayaan kepada adanya Tuhan. Oleh karena itu, hal yang sangat mendasar dalam agama adalah kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan.
 Agama dalam persfektif Islam dinamakan Islam. Secara etimologi, Islam berasal dari kata aslama yang berarti selamat, sentosa , menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat lahir bathin. Secara terminologi Islam dapat diartikan sebagai agama yang berisi ajaran yang mengatur tata keimanan(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW.[3]
Jika  agama ditambah dengan imbuhan yang berawalan keber dan akhiran an , maka dapat diartikan pelaksanaan ajaran agama.
Penciptaan berasal dari kata “cipta” berarti kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru.[4] Mendapat awalan “pe dan akhiran an” menjadi penciptaan. Maka arti penciptaan adalah proses menciptakan.[5] Penciptaan adalah usaha untuk mengupayakan kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu  Penciptaan adalah usaha untuk mengupayakan kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru melalui tindakan atau kegiatan yang dilakukan.
Sedangkan arti suasana keberagamaan  adalah suasana, lingkungan, atau iklim kehidupan keagamaan.[6] Menurut Muhaimin penciptaan suasana keberagamaan adalah menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup para warga di sekolah.[7]
2.      Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keberagamaan Seeorang
                     Menurut Syamsu Yusuf LN, mengungkapkan dimana keberagamaan seseorang dipengaruhi  dua faktor yaitu :
a.       Faktor pembawaan ( Internal).
Setiap manusia yang lahir ke atas  dunia ini mempunyai fitrah beragama sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT. dalam al-Qur’an.
Firman Allah SWT. :
   OÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4
 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ä
¨$¨Z9$# Ÿ=èƒw tbqßJ  .  L r## )



.Artinya :
 Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu.(Q.S. Al-Ruum: 30)

   Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia diciptakan dengan acuan fitrah Allah yaitu al-din hanifan, yaitu agama tauhid, agama yang mengesakan Allah.[8] Ayat tersebut menyatakan  bahwa menurut fitrahnya , manusia adalah makhluk beragama. Dengan istilah lain di sebut sebagai homo relegion atau homo davidian ( makhluk yang bertuhan). Dikatakan demikian, karena secara naluri manusia pada hakekatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang maha Kuasa.[9] Dalam ayat yang lain pernyataan tersebut didasarkan atas pada dialog  atau perjanjian  antara manusia dengan Allah SWT.
Firman Allah SWT. :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã ö
NÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
 $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  

Artinya:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak –anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil keasksian terhadap jiw mereka ( seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab:”Betul ( Engkau  Tuhan kami),”ka mi menjadi saksi.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).(Q.S. Al-A’raf: 172)

b.      Faktor Lingkungan ( Eksternal)

Faktor pembawaan atau fitrah merupakan potensi yang mempunyai kecendrungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor yang berasal dari luar ( ekstenal) yang memberikan rangsangan  atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu hidup.[10]
Hal ini digambarkan dalam sebuah hadist Nabi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Sabda Rasulullah SAW, “











Dalam hadis diatas dijelaskan bahwa faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi agama seseorang. Adapun lingkungan yang dimaksud ada tiga yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1). Lingkugan keluarga                                                                           
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak. Pendidikan dalam kelauarga merupakan  proses awal untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan fitrah beragama anak sangatlah dominan. Di dalam lingkungan keluaraga anak mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai agama dan moral. Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan fitrah beragama anak.  Dengan tujuan agar anak tidak menjadi nasrani atau majusi serta tidak memiliki kualitas rendah  Menurut Hurlock sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai. Pengembangan fitrah atau jiwa beragama seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya yaitu sejak lahir bahkan sejak kandungan. Pandangan ini didasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ternyata mereka itu dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua( terutama ibu) pada masa dalam kandungan.[11]
Memang  pada prinsipnya sejak kecil anak-anak seharusnya telah menerima didikan agama . Kelahiran dan kehadiran anak dalam  keluarga secara ilmiah memberikan adanya tanggung jawab  dari  pihak orang tua .  Tanggung jawab itu didasarkan atas motivasi cinta kasih , yang pada hakekatnya  juga dijiwai oleh tanggungjjawab moral. Secara sadar  orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai ia mampu berdiri sendiri baik secara fisik maupun mental.
 Dalam rumah tangga  orang tua harus dapat membimbing dan menanamkan rasa kepada anak sesuai dengan ajaran Islam. Antara rasa kasih , rasa sayang rasa dihargai, rasa keindahan, rasa keimanan  dan sebagainya. Pengaruh kedua orang tua  terhadap perkembangan keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu  sebagai beban tanggung jawab terhadap perkembangan jiwa keberagamaan anak, orang tua juga harus dapat mengembangkan daya pikir anak. Anak-anak diberi pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Umpamanya dilatih berdo’a,  membaca Al-Qur’an,  menghafal bacaaan shalat dan sebagainya. Disamping itu  tanggung jawab orang tua bukan hanya dari segi jasmani saja seperti memberi makan dan minum, memberi pakaian, akan tetapi ada tugas yang berat yakni memenuhi kebutuhan rohani anak, seperti menanamkan aqidah tauhid, berakhlak mulia, dan selalu beribadah kepada Allah SWT, yang pada akhirnya dapat mengantarkanya untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan keluarga dinilai sebagai faktor yang dominan dalam meletakan dasar bagi perkembangan jiwa keberagamaan anak.
                        2). Lingkungan sekolah
                                                Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistimatik dalam mengalaksanakan bimbingan , pengajaran dan latihan kepada siswa agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN, pengaruh sekolah terhadap perkembangan keberagamaan anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi  dari keluarga  dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
                                                Dalam kaitannya dalam upaya pengembangan keragamaan para siswa , maka sekolah terutama dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dan guru pembimbing lainnya mempunyai peranan sangat  penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan pengamalan ibadah atau membiasakan akhlak yang bagus.[12]
                                                Dalam konteks ini guru di sekolah harus berperan sebagai motivator dalam rangka peningkatan amaliyah siswa. Jika seorang guru memililiki kepribadian yang baik dan jujur, maka ia akan bisa memberikan pengaruh yang besar terhadapa siswa yang menjadi  tekun dalam melaksanakan tugas. Senang memberi manfaat kepada siswa lainnya  terutama dalam melaksanakan ibadah.
                                                Pada dasarnya peningkatan keagamaan di sekolah di arahkan kepada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan  agama Islam di sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Pendidikan agama Islam di sekolah yang sedang berlangsung belum semuannya memenuhi harapan terhadap  apa yang diinginkan oleh pemerintah , maka dalam hal ini diperlukan pedoman atau pegangan dalam  membina  agama Islam. Hal ini mengacu pada usaha strategis dan rencana strategis  kebijakan umum Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus pendidilkan  mengenai pendidikan agama di sekolah.
.                                               Sebenarnya dua jam pelajaran  pendidikan agama Islam  yang dicanangkan dalam kurikulum sekolah memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalau seorang guru tidak bisa mensiasatinya,maka infomsi yang diterima siswa khawatir hanya akan menyentuh aspek kognitif saja. Sementara aspek afektif dan psikomotor tidak akan tersentuh. Peserta didik yang mendapat nilai kognitifnya bagus belum tentu bisa dikatakan telah berhasil jika nilai sikap dan keterampilannya kurang..
                                                Dengan demikian  pelaksanaan pendidikan agama  Islam tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat  dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehiduapan sehari-hari. Guru bisa memberikan  materi keagamaan ketika menghadapi sikap dan prilaku peserta didik pendidikan  keagamaan yang dimiliki oleh peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru. Artinya  bukan hanya  tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi yang lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan nuansa keagamaan ketika menyampaikan materi pelajarannya.  Dari hasil pembelajaran agama yang diberikan  secara bersama, maka akan dapat  membentuk pengetahuan,sikap , prilaku, dan pengalaman keagamaan  yang baik dan benar. Dengan demikian peserta didik akan mempunyai akhlak mulai, prilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaman sehingga menjadi dasar untuk peningkatan kualitas dirinya.


                        3). Lingkungan masyarakat
                                                Masyarakat adalah kumpulan dari anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu yang memiliki peranan penting  dan strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab orang tua dalam pembinaan keagamaan terhadap anggota keluarga  akan memberikan dampak  dalam peningkatan pendidikan agama di sekolah. Sebenarnya tuntutan pengembangan sumberdaya manusia  dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan  tersebut.  Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki  peran sendiri  terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa  pertumbuhan hingga menjadi dewasa. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang anak. Sedangkan peran pendewasaan  dan pematangan individu merupakan peran dari kelompok masyarakat.
Yang dimaksud dengan lingkungan masyarakat disini adalah situasi dan kondisi interaksi sosial dan sosio-kultural yang secara potensial sangat berpengaruh terhadap perkembangan keberagamaan individu.[13] Dalam masyarakat, individu ( terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan intraksi sosisal dengan teman sebayanya atau dengan anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergulan itu menampilkan prilaku  yang  baik maka anak remaja atau anak-anak yang lain juga akan cendrung berprilaku yang baik. Sebaliknya apabila temannya menampilkan prilaku yang kurang baik, amoral, atau melanggar norma-norm agama, maka remaja tersebut akan cendrung akan terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh prilaku tersebut.
                                                Di dalam menjalankan aktivitas-aktifitas keagamaan biasanya remaja sangat dipengaruhi oleh teman-teman sebaya mereka. Umpamanya ada remaja yang  ikut dalam anggota kelompok yang tidak mau melaksanakan shalat,demi mempertahankan kesetiakawanannya  maka ia rela mengorbankan keyakinannya bahkan  tidak peduli dengan  agamanya. Hal ini senada apa yang diungkapkan oleh Zakiah Daradjat,” Remaja- remaja seringkali menarik dari masyarakat, acuh tak acuh terhadap aktivitas agama bahkan kadang-kadang  mreka menantang adat kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh orang dewasa.”[14]
                                                Dengan demikian , agar remaja dapat menjadi manusia yang diharapkan oleh agama, maka masyarakat sangat memiliki peranan penting dalam memanusiakan manusia  agar ia kembali bisa mencari jati dirinya. Sebab masyarakat adalah sistem sosial  yang dialaminya terdapat unit-unit yang saling berhubungan yang saling memberi aksi dan reaksi terhadap setiap peristiwa.
3.    Peran Sekolah dalam Membina Keberagamaan Siswa
    Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta memiliki akhlak yang mulia ternyata tidak bisa hanya mengandalkan pada mata pelajaran agama Islam yang hanya dua jam yang telah dialokasikan dalam kurikulum yang ada, akan tetapi perlu pembinaan secara terus–menerus dan berkelanjutan. Proses yang dilakukan dapat dilakukan di dialokasikan dalam kurikulum yang ada, akan tetapi perlu pembinaan secara terus–menerus dan berkelanjutan. Proses yang dilakukan dapat dilakukan di dalam dan di  di luar jam pembelajaran. Hal ini harus disikapi oleh  pendidik dan warga sekolah secara positif karena itu adalah sebuah kepentingan yang tidak mesti terabaikan.
  Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didalamnya ditemukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan , berbagai keterampilan yang kelak akan diberikan kepada peserta didik. Menurut Zuhairini dkk, “Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena makin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya  sebahagian kepada lembaga sekolah. Sekolah sebagai pembantu keluarga dalam  mendidik anak “[15]
   Sebab pendidikan agama Islam yang dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai agama dan budaya luhur.’
   Dalam upaya pengembangan suasana keberagamaan di sekolah perlu mendapat dukungan dan pelayanan dari semua pihak baik dari tenaga pendidik maupun dan tenaga kependidikan. Pengembangan pendidikan agama akan bermuara menjadi penciptaan suasana keagamaan. Pengembangan pendidikan agama memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain . Diantara karateristik dari pendidikan agama Islam itu menurut Muhaimin[16] adalah,(1) Berusaha menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apapun,(2) Berusaha menjaga dan memelihara nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam,(3) Menonjolkan kesatuan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan keseharian,(4) Berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan dan individu sekaligus kesalehan sosial.(5) Pendidikan agama itu akan menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan budaya serta aspek-aspek kehidupan lainnya,(6) Subtansi pendidikan agama Islam mengandung entisitas-entisitas yang bersifat rasional dan bersifat supra nasional,(7) Berusaha menggali, mengembangkan, dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan ( peradaban ) Islam
  Dengan demikian tata nilai keberagamaan yang dirancang harus dapat dilembagakan di sekolah  agar dapat membentuk sikap dan prilaku individu-individu warga sekolah yang religius, serta pada akhirnya dapat diaktualisasikan kedalam lingkungan dimana individu berada. Sebetulnya pendidikan keagamaan ini tidak mesti harus dipisahkan dengan mata pelajaran di sekolah, namun harus terintegrasi kesemua mata pelajaran agar pengembangan kehidupan keagamaan menjadi bahagian esensial dari program sekolah. Sebenarnya dalam setiap mata pelajaran di sekolah yang sudah digariskan mengandung nilai-nilai hidup yang dapat mencegah merebaknya prilaku-prilaku menyimpang yang muncul dari kehidupan siswa. Upaya-upaya ini sangat diharapkan agar pembinaan nilai-nilai religius bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama, melainkan para guru dan tenaga pendidikan lainnya juga harus bertanggung jawab didalamnya melalui upaya pembinaan nilai-nilai hidup sesuai dengan bidangnya masing-masing.
   Pembinaan mental spritual dan pengalaman yang dilalui siswa akan memberikan dampak terhadap penciptaan suasana keberagamaan di sekolah. Siswa yang menjadi bahagian warga sekolah sudah barang tentu  memliki latar belakang yang  berbeda dan lingkungan  yang heterogen. Kesemuannya akan menentukan corak kepribadian dan nilai-nilai agama yang diperolehnya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial.  Apabila dalam pengalaman waktu kecil itu banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya akan memiliki unsur-unsur yang baik .Sebaliknya, jika nilai-nilai yang diterimanya jauh dari agama maka unsur –unsur kepribadiannya akan jauh  pula dari agama dan mudah goncang. Karena nilai-nilai positif yang tetap dan tidak mudah berubah-rubah adalah nilai-nilai agama.
   Secara umum siswa-siswa yang menjadi peserta didik di sekolah  adalah masa adolesen  yakni masa  individu saat mengalami kegoncangan jiwa. Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaaan yang ingin melawan, menantang orang tua, guru di sekolah. Disamping itu mereka sering gelisah, takut gagal, merasa kurang serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya. Jalaluddin mengemukakan bahwa “ Sejalan dengan pertumbuhan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut”[17]
   Pada dasarnya di usia remaja kekritisan pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan  yang dimaksud adalah bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian pembelajaran agama di sekolah yang mereka terima secara klasikal jika metodologi pengajaran yang dipakai cenderung mononton. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidaksukaan terhadap materi yang disampaikan di sekolah. Jawaban di atas kembali pada sosok guru agama dan guru-guru yang lain sebagai yang harus bisa mengkondisikan agar siswa-siswa termotivasi terhadap penciptaan suasana keagamaan yang lain. Jikalau proses pembelajaran secara klasikal mengalami kegagalan, akan ada pengaruhnya terhadap langkah berikutnya yang apalagi ada suatu hasrat sekolah menciptakan kehidupan keberagamaan di sekolah. Pihak sekolah yang pro aktif terhadap perkembangan jiwa keberagamaaan dan tahu akan kebutuhan siswa akan bisa mengantisipasi segala persoalan yang terjadi di sekolah
  Kemudian di antara faktor-faktor yang menambah besarnya kebutuhan remaja pada agama adalah perasaan berdosa, yang sering terjadi pada masa sekarang ini, konflik dengan orang tua yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya, keinginan untuk mandiri, namun ketika dihadapkan pada kenyataan dan kesulitan hidup, maka remaja tidak mampu membendung permasalahan itu dan remaja menjadi goyah, apalagi masalah rapuhnya keagamaan yang ada pada dirinya. Kesemuanya itu baik secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa remaja untuk mencari bantuan diluar dirinya yang diyakininya dan mampu menolong dirinya manakala dia tak sanggup lagi bertahan.
  Untuk membantu dan mengantisipasi problema yang dialami oleh siswa maka pihak sekolah harus bisa melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang pada akhirnya akan mampu memberikan penyejuk bathin dan tradisi islami bagi siswa di sekolah.  Sebenarnya keberagamaan menurut Islam adalah melaksanakan ajaran agama secara menyeluruh, seperti yang telah difirmankan-Nya :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur    (#qãèÎ6®Ks?   ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B  ÇËÉÑÈ               
.Artinya,”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan  janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah : 208)
                
Menurut Muhaimin, dkk.  Ada beberapa tahap dalam menginternalisasikan nilai-nilai, yaitu :[18]
1.    Tahap transformasi nilai, dimana pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata komunikasi verbal.
2.    Tahap transaksi nilai, yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan dengan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik . Kalau ada tahap transformasi dalam komunikasi satu arah yakni guru yang aktif. Akan tetapi dalam hal ini guru dan siswa sama-sama memiliki sifat aktif.
3.    Tahap transinternalisasi, yakni tahap ini lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi satu arah, tapi adalah timbal balik.
   Dalam penciptaan suasana keagamaan di sekolah mengacu pada beberapa dimensi pendidikan yang harus dikembangkan antara lain sebagai berikut :
1)   Dimensi Keimanan
Ada tiga pilar pokok  yang terdapat dalam ajaran agama Islam, yaitu keimanan/akidah, syariat, dan akhlak. Akidah adalah ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Syariat mengatur cara peribadatan baik yang khas maupun yang ‘am (umum). Adapun  akhlak adalah bagian ajaran Islam yang memberikan tuntunan  tentang tingkah laku batiniah yang terlihat pada tingkah laku lahiriyah.”[19]
Akidah dalam  Islam diatur dalam rukun Iman. Ada enam yang wajib diimani ,yakni Allah, malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari akhir, dan Qadha dan qadar. Akidah berasal dari kata ‘akada yang berarti ikatan dua utas tali dalam satu buhul sehingga tali itu bersambung. ‘Iqad  berarti pula janji, karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan secara teriminologi akidah adalah kepercayaan yang menghilangkan semua keraguan. Dengan kata lain  akidah adalah kepercayaan yang mantap.”[20]
Iman kepada Allah SWT bukan hanya percaya kepada adanya Allah dalam hati, melainkan harus diucapkan dengan lidah dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian maka iman kepada Allah berarti mempercayai bahwa kehidupan ini harus dijalani sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah tentang bagaimana menjalani kehidupan tertera dalam aturan hidup menurut Islam. Jadi Iman kepada Allah ialah hidup sesuai dengan peraturan Allah.
  Untuk mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan Allah, maka perlu kekuatan aqidah. Sebab aqidah itu merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dengan pasti dan dipahami oleh akal, pendengaran dan hati. Sedangkan aqidah tauhid adalah merupakan keimanan yang teguh yang bersifat pasti kepada Allah. 
  Dalam dimensi keyakinan yang mana siswa-siswa diharapkan berpegang teguh terhadap keyakinan yang dianut oleh peserta didik. Peserta didik yang memiliki keyakinan yang kuat dan aqidah yang mantap akan memberikan dampak yang positif terhadap keberagamaannya dimana siswa itu berada. Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa kepercayaan anak kepada Tuhan dan agama pada umumnya, bertumbuh melalui latihan dan pembiasaan  sejak kecil. Pembiasaan dan pendidikan agama itu didapatnya dari orang tuanya, dan guru agamanya.[21] Dengan demikian pendidik harus mampu menanamkan konsep ketuhanan terhadap peserta didik bahwa Allah SWT Tuhan yang wajib disembah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Banyak ayat ayat Al-Quran yang menerangkan tentang keesaan Allah, diantaranya yang terdapat dalam surat Al-Ikhlas .
Firman Allah SWT. :
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©!             #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ    
Artinya:
1.      Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2.      Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3.      Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.      Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

  Pada prinsipnya  apabila siswa memahami konsep ini dengan baik maka otomatis akan mendatangkan gairah bagi siswa dalam memahami agamanya. Ia tidak akan terombang ambing jiwa keberagamaannya, karena ia sadar bahwasannya diluar dirinya ada suatu kekuatan  yang mampu menekan keinginan negatif yang muncul dalam dirinya.
  Sehubungan dalam hal ini, Ramayulis mengemukan bahwa prinsip pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman. Iman menjadi pengendali, sikap, ucapan, tindakan ,dan perbuatan. Keimanan mempunyai pengaruh  yang besar atas diri manusia, Pengaruh itu terutama membuat manusia percaya diri sendiri, meningkatkan kemampuannya untuk sabar dan kuat menangggung derita kehidupan membangkitkan rasa tenang dan tentram dalam jiwa, menimbulkan kedamaian hati  dan bahagia.[22]
  Pendidikan keimanan merupakan yaang harus mendapat perhatian penuh oleh pihak sekolah terutama bagi guru agama. Keimanan berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spritual yang bersifat naluri yang ada pada siswa melalui bimbingan agama. Di dalam pendidikan keimanan ini, ada beberapa hal yang bisa guru lakukan diantaranya adalah:
a.       Menanamkan keyakinan kepada Allah SWT dan RasulNya.
           Ini dapat dilakukan dengan memberikan materi-materi ketauhidan dengan metode-metode yang sesuai. Guru bisa memberikannya dengan bertahap mulai dari hal-hal yang dapat menggunakan dengan indra, meningkat kepada hal-hal yang  logis. Dalam hal-hal yang  logis meningkat kepada hal-hal tersusun dan sistematis.[23]
            Cara lain juga bisa dilakukan guru dengan jalan melakukan study kekuasan wisata dengan metode tafakkur alam . Dalam hal ini guru mengajak siswa untuk merenungi ciptaan Allah yang tersusun rapi dan indah ini sebagai bukti keagungan Allah. Dengan cara seperti ini dapat diharapkan siswa semakin kagum dengan dengan kekuasaan Allah, sehingga keimanannya semakin mantap kepada Allah.
b.      Menanamkan kepada siswa perasaan selalu ingat kepada Allah SWT, dan selalu merasa diawasi Allah dalam setiap tindakan dan perbuatan mereka.
    Seorang guru, bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik , bahwa Allah SWT selalu memperhatikan, mengawasi,dan mengetahui rahasia , bisikan , dan apapun yang disembunyikan oleh hati manusia . Caranya adalah siswa harus dilatih untuk ikhlas kepada Allah , dalam setiap perkataan dan perbuatan, dan tindakannya. Setiap akan  melakukan sesuatu hendaknya ia berniat melakukannya demi mencapai Ridha Allah. Sehingga akan tercipta ubudiyah yang murni kepada Allah.
              Selain itu guru harus menanamkan sikap muraqabatullah  yang murni kepada Allah ( selalu merasa di awasi oleh Allah) kepada siswa. Apabila ingin melakukan perbuatan maksiat. Ingat Allah pasti mengetahuinya dan akan menerima akibatnya dikemudian hari
2)     Dimensi praktik agama
    Praktek keagamaan yang dilaksanakan di sekolah merupakan perwujudan dari keyakinan yang dimiliki oleh siswa. Siswa yang memiliki bekal agama yang didapatinya baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, maka akan mudah mengaplikasinya di sekolah. Dalam praktek keagamaan  mengerjakan kegiatan ritual
    Apabila guru agama bisa bekerjasama dengan guru bidang studi lainnya dalam merealisasikan paraktek-praktek keagamaan di sekolah,  maka banyak yang  bisa terwujud  dari kegiatan-kegiatan yang bernuansa kearah paraktek keagamaan. Hal ini tergantung dari analis guru agama terhadap program yang disuguhkanya kepada siswa serta dukungan dari pihak sekolah. Umpamanya, praktek shalat jemazah, praktek penyembelihan hewan ternak, praktek manasikh haji, dan sebagainya. Hal  ini akan memberikan kontribusi  positif terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak. Sebab siswa langsung terjun ke objek yang dimaksud sehingga wawasan siswa menjadi bertambah.
   Dalam menciptakan suasana keberagamaan di sekolah , peserta didik harus bisa megikuti kegiatan praktek keagamaan baik yang dilaksanakan dalam jam pembelajaran maupun dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Apabila program ini terlaksana dengan baik dan mendapat dorongan dari semua pihak baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, maka akan terealisasi pada bentuk pengamalan keagamaan bagi siswa pada situasi yang lain. 
3)     Dimensi pengetahuan agama
   Pengetahuan agama yang dimaksud adalah pengetahuan yang didapati peserta didik dari keluarga dan  dari masyarakat dimana  siswa berada. Di sekolah siswa-siswa  sudah barang tentu mereka terdiri dari latar belakang keluarga yang  berbeda. Kenyataan yang ditemukan  ada siswa yang berasal dari kelurga yang bersifat islami dan ada keluarga yang sangat gersang  dengan nilai-nilai agama.   Dengan demikian  pengetahuan agama yang dimiliki siswa adalah salah satu faktor  yang mempengaruhi penciptaan suasana keagamaan di sekolah. Siswa-siswa yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang datang dari keluarga agamis, sudah barang tentu siswa dididik sesuai dengan nilai-nilai positif keagamaan dalam keluarganya. Sebaliknya, peserta didik yang kurang atau bahkan tidak ada sama sekali pendidikan keagamaan yang dilalui dalam keluarganya maka ia sangat sukar beradaptasi dalam mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di sekolahnya.
   Maka dalam hal ini pihak sekolah  harus bisa menyelami kondisi siswanya agar ia bisa termotivasi dalam semua kegiatan di sekolah. Pendidik setidaknya bisa melakukan pendekatan secara persuasif dengan penuh kesih sayang, tanpa menvonis siswa secara terang-terangan. Artinya tidak mencap siswa itu dengan kata-kata bodoh, nakal, dan sebagainya. 
   Apabila diperhatikan peserta didik yang berasal dari lingkungan keluarga yang memberikan pendidikan langsung kepada anaknya secara agamis, maka segala kreatifitasnya dalam belajar tampak lebih menonjol, baik itu dari segi penampilannya dalam hal ritual maupun dalam ketaatan yang lain. 
4)     Dimensi pengamalan/Ibadah
   Dalam mendifinisikan ibadah Malik fadjar dan Abdul Ghafir memerikan dua pengertian, yakni :
a.       Tuhan Ibadah dalam pengertian umum ialah amalan yang diizinkan oleh dan yang tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya.
b.      Ibadah dalam pengertian khusus ialah apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan secara terperinci baik tingkat  maupun kaifiayat ( cara-caranya) yang tertentu: misalnya shalat, puasa, haji dan sebagainya.[24]


Pendidikan ibadah merupakan kegiatan yang bertujuan mendorong siswa terampil dalam memperbuat pekerjaan ibadah itu, baik dari kegiatan anggota badan ataupun dari segi bacaan. Ringkasnya siswa itu dapat melakukan ibadah dengan mudah karena memiliki pengetahuan tentang itu dan mendorong agar ia senang melakukan ibadah itu dengan baik, terutama ibadah wajib sehari-hari seperti sholat, bersuci, puasa, dan lain-lain. [25]

       Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah  sebagai pelaksnaan tugas hidup selaku makhluk Allah.  Islam sebagai suatu sistem ajaran kemanusiaan tidak cukup hanya dihayati, tetapi sangat penting untuk diamalkan”[26]. Pengamalan Ibadah merupakan hal yang sangat penting bagi seorang muslim dalam mewujudkan keyakinannya kepada Allah SWT. Ibadah merupakan perwujudan yang paling konkret dari penyembahan, penghambaan, dan pengabdian terhadap khaliknya. Ibadah juga akan menentukan apakah kita layak mendapat pertolongan dari Allah atau tidak. Menurut Muhyiddin “ Orang yang berilmu tetapi tidak melakukan ibadah sama juga bohong. Orang demikian ini pastilah orang yang ilmunya tidak bermanfaat, sebab kalau ilmunya bermanfaat tentu ia mengetahui dan menyadari bahwa ibadah adalah kemestian yang harus dilaksanakannya.[27]
    Kemauan dan ketahanan serta semangat seseorang dalam menjaga ibadah atau pengabdiannya pada Allah SWT adalah terlepas dari kuatnya dorongan jiwa yang mengarah kesana yaitu iman kepada Allah. Timbul tenggelamnya semangat itupun  terpaut pula dengan kadar keimanan yang dimiliki karena pada dasarnya amaliyah adalah merupakan implementasi atau perwujudan iman dan ketakwaan yang  kita miliki. Dimensi ibadah nampaknya sangat erat hubungannya dengan beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan oleh sahabat Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar Ra membaginya atas tiga hal  pokok yang akan memupuk sehingga terjaganya ibadah dengan baik antara lain, pertama, karena adanya rasa takut pada Allah, hal ini akan memacu seseorang akan bangkit untuk melakukan ibadah yang tercermin dengan sifat selalu merasa kecil di hadapanNya. Kedua, karena besarnya harapan pada ridha Allah SWT, ditandai dengan sifat berprasangka baik (husnudzan ) terhadap semua ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan pada dirinya, sehingga membentuk sikap yang istiqamah atau konsisten dalam menjalani ibadah dalam perjalanan hidupnya tidak menyerah dan putus asa. Ketiga, karena cinta kepada Allah, ibadah yang dijalankan adalah dijiwai keinginan untuk mempersembahkan sesuatu yang terbaik padaNya sebagai ungkapan rasa syukur atas kasih sayang Allah yang telah diberikan kepadanya.”[28]
    Sebenarnya wujud akhir dari segala penciptaan suasana keberagamaan adalah pengamalan. Pengamalan agama bagi siswa di sekolah bukanlah suatu hal yang gampang teraplikasi bagi setiap peserta didik. Hal ini terealisasi melalui proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran bagi pendidik. Boleh dikatakan bahwa banyak peserta didik yang mempunyai ilmu agama yang diperolehnya dari  keluarga, dan sekolah serta dari masyarakat tapi mereka tidak mampu merealisasikan dalam kehidupannya. Dimensi keberagamaan yang dimulai dari keyakinan, praktik, pengetahuan, akan diwujudkan dalam bentuk  sebuah pengamalan keagamaan bagi peserta didik.  Menurut Zakiah Daradjat dalam Ramayulis menyatakan bahwa yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama sebagai unsur terpenting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang diiringi dengan amal yang akan memberikan ketaqwaan.[29]
   Ramayulis juga mengungkapkan bahwa melalui ibadah, seorang yang beriman seseorang yang memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan tugas-tugas pribadi untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Ibadah juga dapat disebut bingkai dan realisasi iman yang terlihat dari fisik dalam bentuk tingkah laku dan tindak tanduk nyata.[30]
   Siswa yang memiliki keyakinan atau aqidah yang kuat  bahwasanya Allah itu sebagai khaliknya dan Nabi Muhammad itu sebagai rasulnya serta meyakini rukun Iman yang lainnya, maka ia akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan menyenangkan. Ia melaksanakan aktifitas ibadah tanpa ada yang memaksanya, kesemuanya timbul dari keinginannya sendiri, bahkan mereka menyadari segala aktifitasnya diawasi oleh Allah, setiap waktu dan  setiap kesempatan dimana mereka berada


[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1977), cet.1, h. 9
[2]Nurcholis Majid, Islam Kemodrenan dan Keindoneisaan, (Bandung: Mizan, 1989), h. 121-122
[3] Syamsu Yusuf  LN, Psikologi Perkembangan nak dan Remaja, (Bandung: Remaja: Rosdakarya, 2004), h. 24
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1990), h. 166
[5]Ibid, h. 167
[6]Ibid, h. 168
[7]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Penididikan Agama Islam di Sekolah,Madrasah, dan Perguruan Tinggi,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), h. 61
[8]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen  Psikologi dari Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2004), h. 156.
[9]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30
[10] Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardazbah al-Bukhari al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhari, Juz I, (Baieut-Lebanon: Dar- al-Kutub al-Alamiyah, 1992), h.413
[11]Syamsu Yusuf  LN, op-cit, h. 138  
[12]Ibid, h. 140-141               
[13]Ibid, h. 141
[14]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2005)., h. 103, cet-17
[15] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta : Bumi Akasara, 1984), h. 179
[16] Ibid, h.6
[17]Jalaluddin, Psikologi Agama,( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010),h. 74
[18]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam,(Bangung: PT. Remaja  Rosdakarya, 2008), h, 302
[19]Depatemen Pendidikan Nasional,Peningkatan Wawasan Keagamaan (Isla) Guru Bukan Pendidikan Agama Islam SLTP dan SLTA,( Jakarta : Proyek Peninkatan  Wawasan Pendidikan Guru Agama, 1999), h.7
[20]Ibid, h. 8
[21]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005 ), h.76
[22]Ramayulis,  Psikologi Agama,( Jakarta : Kalam  Mulia, 2009), h.176
[23]Asnelly Iliyas,  Mendambakan Anak Yang Shaleh,( Bandung , Al-Bayan, 1996), h. 70
[24]Malikfadjar & Abdul Ghafir, Kuliah Aagam Islam di Perguruan Tinggi,( Surabaya: Al-Ikhlas, 1981),h. 70
       [25]Zakiah Daradjat, Metodik khusus Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 76
       [26]Din Zainuddin, Pendidikan Budi Pekerti dalam Perssfektif Islam, (Jakarta: Tim Al-    Mawardi Prima, 2004), h. 89
      [27]Muhammad Muhyidin, Hidup di Pusaran l-Fatihah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), h.183
[28] Ibid, h. 186
[29]Ibid, h. 175
[30]Ibid

Tidak ada komentar: