A. Penciptaan
Suasana Keberagamaan
1.
Pengertian
Keberagamaan
Keberagamaan berasal dari kata agama, apabila ditinjau secara etimologi
kata agama berasal dari bahasa sangsekerta yaitu a dan gama; berarti tidak dan
gama berarti pergi.[1]Jadi,
agama berarti tidak pergi. Secara terminologi ada beberapa ahli yang mendifinisikannya,
yakni ;
a. ESP.Haynes
berpendapat bahwa agama adalah suatu
teori tentang hubungan manusia dengan alam raya.
b. James
Martincan menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan tentang Tuhan yang abadi,
yaitu tentang jiwa dan ketentuan ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang
pada hubungan moral dengan umat manusia.[2]
Dari definisi di atas adapat dipahami bahwa agama adalah suatu keyakinan
kepada yang gaib. Tegasnya, kepercayaan kepada adanya Tuhan. Oleh karena itu,
hal yang sangat mendasar dalam agama adalah kepercayaan atau keimanan kepada
Tuhan.
Agama dalam persfektif Islam dinamakan Islam.
Secara etimologi, Islam berasal dari kata aslama
yang berarti selamat, sentosa , menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat
lahir bathin. Secara terminologi Islam dapat diartikan sebagai agama yang
berisi ajaran yang mengatur tata keimanan(kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia dengan lingkungannya yang diwahyukan Allah kepada manusia
melalui Rasulullah Muhammad SAW.[3]
Jika
agama ditambah dengan imbuhan yang berawalan keber dan akhiran an ,
maka dapat diartikan pelaksanaan ajaran agama.
Penciptaan berasal dari kata “cipta”
berarti kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru.[4]
Mendapat awalan “pe dan akhiran an” menjadi penciptaan. Maka arti penciptaan
adalah proses menciptakan.[5]
Penciptaan adalah usaha untuk mengupayakan kesanggupan pikiran untuk mengadakan
sesuatu Penciptaan adalah usaha untuk
mengupayakan kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru melalui
tindakan atau kegiatan yang dilakukan.
Sedangkan arti suasana keberagamaan adalah suasana, lingkungan, atau iklim
kehidupan keagamaan.[6]
Menurut Muhaimin penciptaan suasana keberagamaan adalah menciptakan suasana
atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu
pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama
Islam yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup para warga di
sekolah.[7]
2.
Faktor-Faktor
yang mempengaruhi Keberagamaan Seeorang
Menurut Syamsu Yusuf
LN, mengungkapkan dimana keberagamaan seseorang dipengaruhi dua faktor yaitu :
a. Faktor
pembawaan ( Internal).
Setiap
manusia yang lahir ke atas dunia ini
mempunyai fitrah beragama sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT. dalam
al-Qur’an.
Firman
Allah SWT. :
OÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4
|NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4
w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4
Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ä
¨$¨Z9$# =èw tbqßJ . L r## )
.Artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu.(Q.S.
Al-Ruum: 30)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia
diciptakan dengan acuan fitrah Allah yaitu al-din
hanifan, yaitu agama tauhid, agama yang mengesakan Allah.[8]
Ayat tersebut menyatakan bahwa menurut
fitrahnya , manusia adalah makhluk beragama. Dengan istilah lain di sebut
sebagai homo relegion atau homo davidian ( makhluk yang bertuhan).
Dikatakan demikian, karena secara naluri manusia pada hakekatnya selalu
meyakini adanya Tuhan Yang maha Kuasa.[9]
Dalam ayat yang lain pernyataan tersebut didasarkan atas pada dialog atau perjanjian antara manusia dengan Allah SWT.
Firman
Allah SWT. :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã ö
NÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ (
(#qä9$s% 4n?t/ ¡
!$tRôÎgx© ¡
cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$#
$¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya:
Dan
ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak –anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil keasksian terhadap jiw mereka ( seraya
berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab:”Betul ( Engkau Tuhan kami),”ka mi menjadi saksi.(Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan).(Q.S. Al-A’raf: 172)
b. Faktor
Lingkungan ( Eksternal)
Faktor
pembawaan atau fitrah merupakan potensi yang mempunyai kecendrungan untuk
berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor
yang berasal dari luar ( ekstenal)
yang memberikan rangsangan atau stimulus
yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal
itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu hidup.[10]
Hal
ini digambarkan dalam sebuah hadist Nabi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Sabda
Rasulullah SAW, “
Dalam
hadis diatas dijelaskan bahwa faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi agama
seseorang. Adapun lingkungan yang dimaksud ada tiga yaitu keluarga, sekolah,
dan masyarakat.
1).
Lingkugan keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak. Pendidikan dalam
kelauarga merupakan proses awal untuk
jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu kedudukan keluarga dalam
pengembangan fitrah beragama anak sangatlah dominan. Di dalam lingkungan
keluaraga anak mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai agama dan moral.
Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menumbuhkembangkan fitrah beragama anak.
Dengan tujuan agar anak tidak menjadi nasrani atau majusi serta tidak
memiliki kualitas rendah Menurut Hurlock
sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai. Pengembangan fitrah
atau jiwa beragama seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya yaitu sejak lahir
bahkan sejak kandungan. Pandangan ini didasarkan pengamatan para ahli jiwa
terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ternyata mereka itu
dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua( terutama ibu) pada masa
dalam kandungan.[11]
Memang
pada prinsipnya sejak kecil anak-anak
seharusnya telah menerima didikan agama . Kelahiran dan kehadiran anak
dalam keluarga secara ilmiah memberikan
adanya tanggung jawab dari pihak orang tua . Tanggung jawab itu didasarkan atas motivasi
cinta kasih , yang pada hakekatnya juga
dijiwai oleh tanggungjjawab moral. Secara sadar
orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya
sampai ia mampu berdiri sendiri baik secara fisik maupun mental.
Dalam rumah tangga orang tua harus dapat membimbing dan
menanamkan rasa kepada anak sesuai dengan ajaran Islam. Antara rasa kasih ,
rasa sayang rasa dihargai, rasa keindahan, rasa keimanan dan sebagainya. Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan keagamaan anak dalam
pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu sebagai beban tanggung jawab terhadap
perkembangan jiwa keberagamaan anak, orang tua juga harus dapat mengembangkan
daya pikir anak. Anak-anak diberi pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Umpamanya dilatih berdo’a, membaca
Al-Qur’an, menghafal bacaaan shalat dan
sebagainya. Disamping itu tanggung jawab
orang tua bukan hanya dari segi jasmani saja seperti memberi makan dan minum,
memberi pakaian, akan tetapi ada tugas yang berat yakni memenuhi kebutuhan
rohani anak, seperti menanamkan aqidah tauhid, berakhlak mulia, dan selalu
beribadah kepada Allah SWT, yang pada akhirnya dapat mengantarkanya untuk
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan keluarga dinilai sebagai
faktor yang dominan dalam meletakan dasar bagi perkembangan jiwa keberagamaan
anak.
2). Lingkungan sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistimatik
dalam mengalaksanakan bimbingan , pengajaran dan latihan kepada siswa agar
mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip
Syamsu Yusuf LN, pengaruh sekolah terhadap perkembangan keberagamaan anak
sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi
dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam
kaitannya dalam upaya pengembangan keragamaan para siswa , maka sekolah
terutama dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dan guru pembimbing lainnya
mempunyai peranan sangat penting dalam
mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan pengamalan ibadah atau membiasakan
akhlak yang bagus.[12]
Dalam
konteks ini guru di sekolah harus berperan sebagai motivator dalam rangka
peningkatan amaliyah siswa. Jika seorang guru memililiki kepribadian yang baik
dan jujur, maka ia akan bisa memberikan pengaruh yang besar terhadapa siswa
yang menjadi tekun dalam melaksanakan
tugas. Senang memberi manfaat kepada siswa lainnya terutama dalam melaksanakan ibadah.
Pada
dasarnya peningkatan keagamaan di sekolah di arahkan kepada peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan agama Islam di
sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global,
serta kebutuhan peserta didik. Pendidikan agama Islam di sekolah yang sedang
berlangsung belum semuannya memenuhi harapan terhadap apa yang diinginkan oleh pemerintah , maka
dalam hal ini diperlukan pedoman atau pegangan dalam membina
agama Islam. Hal ini mengacu pada usaha strategis dan rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jenderal Pendidikan
Agama Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus pendidilkan mengenai pendidikan agama di sekolah.
. Sebenarnya
dua jam pelajaran pendidikan agama
Islam yang dicanangkan dalam kurikulum
sekolah memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang
begitu komplek. Kalau seorang guru tidak bisa mensiasatinya,maka infomsi yang
diterima siswa khawatir hanya akan menyentuh aspek kognitif saja. Sementara
aspek afektif dan psikomotor tidak akan tersentuh. Peserta didik yang mendapat
nilai kognitifnya bagus belum tentu bisa dikatakan telah berhasil jika nilai
sikap dan keterampilannya kurang..
Dengan
demikian pelaksanaan pendidikan
agama Islam tidak hanya disampaikan
secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat dilakukan di luar proses pembelajaran dalam
kehiduapan sehari-hari. Guru bisa memberikan
materi keagamaan ketika menghadapi sikap dan prilaku peserta didik
pendidikan keagamaan yang dimiliki oleh
peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru.
Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja
melainkan juga guru-guru bidang studi yang lainnya. Guru-guru bidang studi itu
bisa menyisipkan nuansa keagamaan ketika menyampaikan materi pelajarannya. Dari hasil pembelajaran agama yang
diberikan secara bersama, maka akan
dapat membentuk pengetahuan,sikap ,
prilaku, dan pengalaman keagamaan yang
baik dan benar. Dengan demikian peserta didik akan mempunyai akhlak mulai,
prilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaman sehingga menjadi dasar untuk
peningkatan kualitas dirinya.
3).
Lingkungan masyarakat
Masyarakat
adalah kumpulan dari anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu yang
memiliki peranan penting dan strategis
dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab orang tua
dalam pembinaan keagamaan terhadap anggota keluarga akan memberikan dampak dalam peningkatan pendidikan agama di
sekolah. Sebenarnya tuntutan pengembangan sumberdaya manusia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh
karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut.
Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran sendiri
terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam
masa pertumbuhan hingga menjadi dewasa.
Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang
anak. Sedangkan peran pendewasaan dan
pematangan individu merupakan peran dari kelompok masyarakat.
Yang dimaksud dengan lingkungan
masyarakat disini adalah situasi dan kondisi interaksi sosial dan sosio-kultural yang secara potensial
sangat berpengaruh terhadap perkembangan keberagamaan individu.[13]
Dalam masyarakat, individu ( terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan
intraksi sosisal dengan teman sebayanya atau dengan anggota masyarakat lainnya.
Apabila teman sepergulan itu menampilkan prilaku yang
baik maka anak remaja atau anak-anak yang lain juga akan cendrung
berprilaku yang baik. Sebaliknya apabila temannya menampilkan prilaku yang
kurang baik, amoral, atau melanggar norma-norm agama, maka remaja tersebut akan
cendrung akan terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh prilaku tersebut.
Di
dalam menjalankan aktivitas-aktifitas keagamaan biasanya remaja sangat
dipengaruhi oleh teman-teman sebaya mereka. Umpamanya ada remaja yang ikut dalam anggota kelompok yang tidak mau
melaksanakan shalat,demi mempertahankan kesetiakawanannya maka ia rela mengorbankan keyakinannya
bahkan tidak peduli dengan agamanya. Hal ini senada apa yang diungkapkan
oleh Zakiah Daradjat,” Remaja- remaja seringkali menarik dari masyarakat, acuh
tak acuh terhadap aktivitas agama bahkan kadang-kadang mreka menantang adat kebiasaan dan
nilai-nilai yang dianut oleh orang dewasa.”[14]
Dengan
demikian , agar remaja dapat menjadi manusia yang diharapkan oleh agama, maka
masyarakat sangat memiliki peranan penting dalam memanusiakan manusia agar ia kembali bisa mencari jati dirinya.
Sebab masyarakat adalah sistem sosial
yang dialaminya terdapat unit-unit yang saling berhubungan yang saling
memberi aksi dan reaksi terhadap setiap peristiwa.
3.
Peran
Sekolah dalam Membina Keberagamaan Siswa
Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT serta memiliki akhlak yang mulia ternyata tidak bisa hanya
mengandalkan pada mata pelajaran agama Islam yang hanya dua jam yang telah
dialokasikan dalam kurikulum yang ada, akan tetapi perlu pembinaan secara
terus–menerus dan berkelanjutan. Proses yang dilakukan dapat dilakukan di
dialokasikan dalam kurikulum yang ada, akan tetapi perlu pembinaan secara terus–menerus
dan berkelanjutan. Proses yang dilakukan dapat dilakukan di dalam dan di di luar jam pembelajaran. Hal ini harus
disikapi oleh pendidik dan warga sekolah
secara positif karena itu adalah sebuah kepentingan yang tidak mesti
terabaikan.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didalamnya ditemukan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan , berbagai keterampilan yang kelak akan
diberikan kepada peserta didik. Menurut Zuhairini dkk, “Sekolah adalah lembaga
pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena makin besar kebutuhan anak,
maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya
sebahagian kepada lembaga sekolah. Sekolah sebagai pembantu keluarga
dalam mendidik anak “[15]
Sebab pendidikan agama Islam yang dikembangkan dengan menempatkan
nilai-nilai agama dan budaya luhur.’
Dalam upaya pengembangan suasana keberagamaan di sekolah perlu mendapat
dukungan dan pelayanan dari semua pihak baik dari tenaga pendidik maupun dan
tenaga kependidikan. Pengembangan pendidikan agama akan bermuara menjadi penciptaan
suasana keagamaan. Pengembangan pendidikan agama memiliki karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain . Diantara karateristik
dari pendidikan agama Islam itu menurut Muhaimin[16]
adalah,(1) Berusaha menjaga akidah
peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apapun,(2) Berusaha
menjaga dan memelihara nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis
serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam,(3) Menonjolkan
kesatuan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan keseharian,(4) Berusaha membentuk
dan mengembangkan kesalehan dan individu sekaligus kesalehan sosial.(5) Pendidikan agama itu akan menjadi
landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan budaya serta aspek-aspek
kehidupan lainnya,(6) Subtansi pendidikan agama Islam mengandung
entisitas-entisitas yang bersifat rasional dan bersifat supra nasional,(7)
Berusaha menggali, mengembangkan, dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan ( peradaban ) Islam
Dengan demikian tata nilai keberagamaan yang dirancang harus dapat
dilembagakan di sekolah agar dapat
membentuk sikap dan prilaku individu-individu warga sekolah yang religius,
serta pada akhirnya dapat diaktualisasikan kedalam lingkungan dimana individu
berada. Sebetulnya pendidikan keagamaan ini tidak mesti harus dipisahkan dengan
mata pelajaran di sekolah, namun harus terintegrasi kesemua mata pelajaran agar
pengembangan kehidupan keagamaan menjadi bahagian esensial dari program
sekolah. Sebenarnya dalam setiap mata pelajaran di sekolah yang sudah
digariskan mengandung nilai-nilai hidup yang dapat mencegah merebaknya
prilaku-prilaku menyimpang yang muncul dari kehidupan siswa. Upaya-upaya ini
sangat diharapkan agar pembinaan nilai-nilai religius bukan hanya menjadi
tanggung jawab guru agama, melainkan para guru dan tenaga pendidikan lainnya
juga harus bertanggung jawab didalamnya melalui upaya pembinaan nilai-nilai
hidup sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Pembinaan mental spritual dan pengalaman yang dilalui siswa akan
memberikan dampak terhadap penciptaan suasana keberagamaan di sekolah. Siswa
yang menjadi bahagian warga sekolah sudah barang tentu memliki latar belakang yang berbeda dan lingkungan yang heterogen. Kesemuannya akan menentukan
corak kepribadian dan nilai-nilai agama yang diperolehnya. Nilai-nilai yang
dimaksud adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial. Apabila dalam pengalaman waktu kecil itu
banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya akan memiliki unsur-unsur
yang baik .Sebaliknya, jika nilai-nilai yang diterimanya jauh dari agama maka
unsur –unsur kepribadiannya akan jauh
pula dari agama dan mudah goncang. Karena nilai-nilai positif yang tetap
dan tidak mudah berubah-rubah adalah nilai-nilai agama.
Secara umum siswa-siswa yang menjadi peserta didik di sekolah adalah masa adolesen yakni masa individu saat mengalami kegoncangan jiwa.
Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaaan yang ingin
melawan, menantang orang tua, guru di sekolah. Disamping itu mereka sering
gelisah, takut gagal, merasa kurang serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya.
Jalaluddin mengemukakan bahwa “ Sejalan dengan pertumbuhan jasmani dan
rohaninya, maka agama para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak
pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut”[17]
Pada dasarnya di usia remaja kekritisan pemikiran keagamaan mulai
muncul, kekritisan yang dimaksud adalah
bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian pembelajaran
agama di sekolah yang mereka terima secara klasikal jika metodologi pengajaran
yang dipakai cenderung mononton. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon
ketidaksukaan terhadap materi yang disampaikan di sekolah. Jawaban di atas
kembali pada sosok guru agama dan guru-guru yang lain sebagai yang harus bisa
mengkondisikan agar siswa-siswa termotivasi terhadap penciptaan suasana
keagamaan yang lain. Jikalau proses pembelajaran secara klasikal mengalami
kegagalan, akan ada pengaruhnya terhadap langkah berikutnya yang apalagi ada
suatu hasrat sekolah menciptakan kehidupan keberagamaan di sekolah. Pihak
sekolah yang pro aktif terhadap perkembangan jiwa keberagamaaan dan tahu akan
kebutuhan siswa akan bisa mengantisipasi segala persoalan yang terjadi di
sekolah
Kemudian di antara faktor-faktor yang menambah besarnya kebutuhan remaja
pada agama adalah perasaan berdosa, yang sering terjadi pada masa sekarang ini,
konflik dengan orang tua yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya,
keinginan untuk mandiri, namun ketika dihadapkan pada kenyataan dan kesulitan
hidup, maka remaja tidak mampu membendung permasalahan itu dan remaja menjadi
goyah, apalagi masalah rapuhnya keagamaan yang ada pada dirinya. Kesemuanya itu
baik secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa remaja untuk mencari
bantuan diluar dirinya yang diyakininya dan mampu menolong dirinya manakala dia
tak sanggup lagi bertahan.
Untuk membantu dan mengantisipasi problema yang dialami oleh siswa maka
pihak sekolah harus bisa melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang pada
akhirnya akan mampu memberikan penyejuk bathin dan tradisi islami bagi siswa di
sekolah. Sebenarnya keberagamaan menurut
Islam adalah melaksanakan ajaran agama secara menyeluruh, seperti yang telah difirmankan-Nya
:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4
¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
.Artinya,”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah : 208)
Menurut Muhaimin, dkk. Ada beberapa tahap dalam menginternalisasikan
nilai-nilai, yaitu :[18]
1.
Tahap transformasi nilai, dimana
pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang
kurang baik kepada siswa, yang semata-mata komunikasi verbal.
2.
Tahap transaksi nilai, yakni
suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan dengan melakukan komunikasi dua arah,
atau interaksi antara siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik . Kalau
ada tahap transformasi dalam komunikasi satu arah yakni guru yang aktif. Akan
tetapi dalam hal ini guru dan siswa sama-sama memiliki sifat aktif.
3.
Tahap transinternalisasi, yakni
tahap ini lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru
dihadapan siswa bukan lagi satu arah, tapi adalah timbal balik.
Dalam penciptaan suasana keagamaan di sekolah mengacu pada beberapa
dimensi pendidikan yang harus dikembangkan antara lain sebagai berikut :
1) Dimensi
Keimanan
Ada tiga pilar pokok yang terdapat dalam ajaran agama Islam, yaitu keimanan/akidah, syariat, dan akhlak.
Akidah adalah ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Syariat mengatur
cara peribadatan baik yang khas maupun yang ‘am
(umum). Adapun akhlak adalah bagian
ajaran Islam yang memberikan tuntunan
tentang tingkah laku batiniah yang terlihat pada tingkah laku
lahiriyah.”[19]
Akidah dalam Islam diatur dalam rukun Iman. Ada enam yang
wajib diimani ,yakni Allah, malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul
Allah, hari akhir, dan Qadha dan qadar. Akidah berasal dari kata ‘akada yang berarti ikatan dua utas tali
dalam satu buhul sehingga tali itu bersambung. ‘Iqad berarti pula janji,
karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara orang yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan secara teriminologi akidah adalah kepercayaan yang
menghilangkan semua keraguan. Dengan kata lain
akidah adalah kepercayaan yang mantap.”[20]
Iman kepada Allah SWT bukan hanya
percaya kepada adanya Allah dalam hati, melainkan harus diucapkan dengan lidah
dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian maka iman kepada Allah
berarti mempercayai bahwa kehidupan ini harus dijalani sesuai dengan kehendak
Allah. Kehendak Allah tentang bagaimana menjalani kehidupan tertera dalam
aturan hidup menurut Islam. Jadi Iman kepada Allah ialah hidup sesuai dengan
peraturan Allah.
Untuk mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan Allah, maka perlu
kekuatan aqidah. Sebab aqidah itu merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya
dengan pasti dan dipahami oleh akal, pendengaran dan hati. Sedangkan aqidah
tauhid adalah merupakan keimanan yang teguh yang bersifat pasti kepada Allah.
Dalam
dimensi keyakinan yang mana siswa-siswa diharapkan berpegang teguh terhadap
keyakinan yang dianut oleh peserta didik. Peserta didik yang memiliki keyakinan
yang kuat dan aqidah yang mantap akan memberikan dampak yang positif terhadap
keberagamaannya dimana siswa itu berada. Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa
kepercayaan anak kepada Tuhan dan agama pada umumnya, bertumbuh melalui latihan
dan pembiasaan sejak kecil. Pembiasaan
dan pendidikan agama itu didapatnya dari orang tuanya, dan guru agamanya.[21]
Dengan demikian pendidik harus mampu menanamkan konsep ketuhanan terhadap
peserta didik bahwa Allah SWT Tuhan yang wajib disembah. Tidak ada Tuhan selain
Allah. Banyak ayat ayat Al-Quran yang menerangkan tentang keesaan Allah,
diantaranya yang terdapat dalam surat Al-Ikhlas .
Firman Allah SWT. :
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Artinya:
1.
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2.
Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3.
Dia
tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.
Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Pada
prinsipnya apabila siswa memahami konsep
ini dengan baik maka otomatis akan mendatangkan gairah bagi siswa dalam
memahami agamanya. Ia tidak akan terombang ambing jiwa keberagamaannya, karena
ia sadar bahwasannya diluar dirinya ada suatu kekuatan yang mampu menekan keinginan negatif yang
muncul dalam dirinya.
Sehubungan dalam hal ini, Ramayulis mengemukan bahwa prinsip pokok yang
menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman. Iman menjadi pengendali, sikap,
ucapan, tindakan ,dan perbuatan. Keimanan mempunyai pengaruh yang besar atas diri manusia, Pengaruh itu
terutama membuat manusia percaya diri sendiri, meningkatkan kemampuannya untuk
sabar dan kuat menangggung derita kehidupan membangkitkan rasa tenang dan
tentram dalam jiwa, menimbulkan kedamaian hati
dan bahagia.[22]
Pendidikan keimanan merupakan yaang harus mendapat perhatian penuh oleh
pihak sekolah terutama bagi guru agama. Keimanan berarti membangkitkan kekuatan
dan kesediaan spritual yang bersifat naluri yang ada pada siswa melalui
bimbingan agama. Di dalam pendidikan keimanan ini, ada beberapa hal yang bisa
guru lakukan diantaranya adalah:
a. Menanamkan
keyakinan kepada Allah SWT dan RasulNya.
Ini dapat dilakukan dengan memberikan
materi-materi ketauhidan dengan metode-metode yang sesuai. Guru bisa
memberikannya dengan bertahap mulai dari hal-hal yang dapat menggunakan dengan
indra, meningkat kepada hal-hal yang
logis. Dalam hal-hal yang logis
meningkat kepada hal-hal tersusun dan sistematis.[23]
Cara lain juga bisa
dilakukan guru dengan jalan melakukan study kekuasan wisata dengan metode tafakkur alam . Dalam hal ini guru
mengajak siswa untuk merenungi ciptaan Allah yang tersusun rapi dan indah ini
sebagai bukti keagungan Allah. Dengan cara seperti ini dapat diharapkan siswa
semakin kagum dengan dengan kekuasaan Allah, sehingga keimanannya semakin
mantap kepada Allah.
b. Menanamkan
kepada siswa perasaan selalu ingat kepada Allah SWT, dan selalu merasa diawasi
Allah dalam setiap tindakan dan perbuatan mereka.
Seorang guru, bisa memberikan pemahaman
kepada peserta didik , bahwa Allah SWT selalu memperhatikan, mengawasi,dan
mengetahui rahasia , bisikan , dan apapun yang disembunyikan oleh hati manusia
. Caranya adalah siswa harus dilatih untuk ikhlas kepada Allah , dalam setiap
perkataan dan perbuatan, dan tindakannya. Setiap akan melakukan sesuatu hendaknya ia berniat
melakukannya demi mencapai Ridha Allah. Sehingga akan tercipta ubudiyah yang
murni kepada Allah.
Selain itu guru
harus menanamkan sikap muraqabatullah yang murni kepada Allah ( selalu merasa di
awasi oleh Allah) kepada siswa. Apabila ingin melakukan perbuatan maksiat.
Ingat Allah pasti mengetahuinya dan akan menerima akibatnya dikemudian hari
2) Dimensi praktik agama
Praktek keagamaan yang dilaksanakan di sekolah merupakan perwujudan dari
keyakinan yang dimiliki oleh siswa. Siswa yang memiliki bekal agama yang
didapatinya baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, maka akan mudah
mengaplikasinya di sekolah. Dalam praktek keagamaan mengerjakan kegiatan ritual
Apabila guru agama bisa bekerjasama dengan guru bidang studi lainnya
dalam merealisasikan paraktek-praktek keagamaan di sekolah, maka banyak yang bisa terwujud
dari kegiatan-kegiatan yang bernuansa kearah paraktek keagamaan. Hal ini
tergantung dari analis guru agama terhadap program yang disuguhkanya kepada
siswa serta dukungan dari pihak sekolah. Umpamanya, praktek shalat jemazah,
praktek penyembelihan hewan ternak, praktek manasikh haji, dan sebagainya. Hal ini akan memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan jiwa keagamaan
anak. Sebab siswa langsung terjun ke objek yang dimaksud sehingga wawasan siswa
menjadi bertambah.
Dalam menciptakan suasana keberagamaan di sekolah , peserta didik harus
bisa megikuti kegiatan praktek keagamaan baik yang dilaksanakan dalam jam
pembelajaran maupun dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Apabila program ini
terlaksana dengan baik dan mendapat dorongan dari semua pihak baik tenaga
pendidik maupun tenaga kependidikan, maka akan terealisasi pada bentuk
pengamalan keagamaan bagi siswa pada situasi yang lain.
3) Dimensi pengetahuan agama
Pengetahuan agama yang dimaksud adalah pengetahuan yang didapati peserta
didik dari keluarga dan dari masyarakat
dimana siswa berada. Di sekolah
siswa-siswa sudah barang tentu mereka
terdiri dari latar belakang keluarga yang
berbeda. Kenyataan yang ditemukan
ada siswa yang berasal dari kelurga yang bersifat islami dan ada
keluarga yang sangat gersang dengan
nilai-nilai agama. Dengan demikian pengetahuan agama yang dimiliki siswa adalah
salah satu faktor yang mempengaruhi
penciptaan suasana keagamaan di sekolah. Siswa-siswa yang memiliki ilmu
pengetahuan agama yang datang dari keluarga agamis, sudah barang tentu siswa
dididik sesuai dengan nilai-nilai positif keagamaan dalam keluarganya.
Sebaliknya, peserta didik yang kurang atau bahkan tidak ada sama sekali
pendidikan keagamaan yang dilalui dalam keluarganya maka ia sangat sukar
beradaptasi dalam mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di sekolahnya.
Maka dalam hal ini pihak sekolah
harus bisa menyelami kondisi siswanya agar ia bisa termotivasi dalam
semua kegiatan di sekolah. Pendidik setidaknya bisa melakukan pendekatan secara
persuasif dengan penuh kesih sayang, tanpa menvonis siswa secara
terang-terangan. Artinya tidak mencap siswa itu dengan kata-kata bodoh, nakal,
dan sebagainya.
Apabila diperhatikan peserta didik yang berasal dari lingkungan keluarga
yang memberikan pendidikan langsung kepada anaknya secara agamis, maka segala
kreatifitasnya dalam belajar tampak lebih menonjol, baik itu dari segi
penampilannya dalam hal ritual maupun dalam ketaatan yang lain.
4) Dimensi pengamalan/Ibadah
Dalam mendifinisikan ibadah Malik fadjar dan Abdul Ghafir memerikan dua
pengertian, yakni :
a.
Tuhan Ibadah dalam pengertian
umum ialah amalan yang diizinkan oleh dan yang tidak ditetapkan secara
terperinci mengenai keharusan mengerjakannya.
b.
Ibadah dalam pengertian khusus
ialah apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan secara terperinci baik tingkat maupun kaifiayat ( cara-caranya) yang
tertentu: misalnya shalat, puasa, haji dan sebagainya.[24]
Pendidikan ibadah
merupakan kegiatan yang bertujuan mendorong siswa terampil dalam memperbuat
pekerjaan ibadah itu, baik dari kegiatan anggota badan ataupun dari segi
bacaan. Ringkasnya siswa itu dapat melakukan ibadah dengan mudah karena
memiliki pengetahuan tentang itu dan mendorong agar ia senang melakukan ibadah
itu dengan baik, terutama ibadah wajib sehari-hari seperti sholat, bersuci,
puasa, dan lain-lain. [25]
Ibadah merupakan penghambaan manusia
kepada Allah sebagai pelaksnaan tugas
hidup selaku makhluk Allah. Islam
sebagai suatu sistem ajaran kemanusiaan tidak cukup hanya dihayati, tetapi
sangat penting untuk diamalkan”[26].
Pengamalan Ibadah merupakan hal yang sangat penting bagi seorang muslim dalam
mewujudkan keyakinannya kepada Allah SWT. Ibadah merupakan perwujudan yang
paling konkret dari penyembahan, penghambaan, dan pengabdian terhadap
khaliknya. Ibadah juga akan menentukan apakah kita layak mendapat pertolongan
dari Allah atau tidak. Menurut Muhyiddin “ Orang yang berilmu tetapi tidak melakukan
ibadah sama juga bohong. Orang demikian ini pastilah orang yang ilmunya tidak
bermanfaat, sebab kalau ilmunya bermanfaat tentu ia mengetahui dan menyadari
bahwa ibadah adalah kemestian yang harus dilaksanakannya.[27]
Kemauan dan ketahanan serta semangat seseorang dalam menjaga ibadah atau
pengabdiannya pada Allah SWT adalah terlepas dari kuatnya dorongan jiwa yang
mengarah kesana yaitu iman kepada Allah. Timbul tenggelamnya semangat
itupun terpaut pula dengan kadar
keimanan yang dimiliki karena pada dasarnya amaliyah adalah merupakan
implementasi atau perwujudan iman dan ketakwaan yang kita miliki. Dimensi ibadah nampaknya sangat
erat hubungannya dengan beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan oleh sahabat
Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar Ra membaginya atas tiga hal pokok yang akan memupuk sehingga terjaganya
ibadah dengan baik antara lain, pertama,
karena adanya rasa takut pada Allah, hal ini akan memacu seseorang akan bangkit
untuk melakukan ibadah yang tercermin dengan sifat selalu merasa kecil di
hadapanNya. Kedua, karena besarnya
harapan pada ridha Allah SWT, ditandai dengan sifat berprasangka baik (husnudzan ) terhadap semua
ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan pada dirinya, sehingga membentuk sikap
yang istiqamah atau konsisten dalam
menjalani ibadah dalam perjalanan hidupnya tidak menyerah dan putus asa. Ketiga, karena cinta kepada Allah,
ibadah yang dijalankan adalah dijiwai keinginan untuk mempersembahkan sesuatu
yang terbaik padaNya sebagai ungkapan rasa syukur atas kasih sayang Allah yang
telah diberikan kepadanya.”[28]
Sebenarnya wujud akhir dari segala penciptaan suasana keberagamaan
adalah pengamalan. Pengamalan agama bagi siswa di sekolah bukanlah suatu hal
yang gampang teraplikasi bagi setiap peserta didik. Hal ini terealisasi melalui
proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran bagi pendidik. Boleh dikatakan
bahwa banyak peserta didik yang mempunyai ilmu agama yang diperolehnya
dari keluarga, dan sekolah serta dari
masyarakat tapi mereka tidak mampu merealisasikan dalam kehidupannya. Dimensi
keberagamaan yang dimulai dari keyakinan, praktik, pengetahuan, akan diwujudkan
dalam bentuk sebuah pengamalan keagamaan
bagi peserta didik. Menurut Zakiah
Daradjat dalam Ramayulis menyatakan bahwa yang direalisasikan dalam bentuk
ajaran agama sebagai unsur terpenting yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang diiringi dengan amal yang akan
memberikan ketaqwaan.[29]
Ramayulis juga mengungkapkan bahwa melalui ibadah, seorang yang beriman
seseorang yang memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan tugas-tugas
pribadi untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Ibadah juga dapat disebut bingkai
dan realisasi iman yang terlihat dari fisik dalam bentuk tingkah laku dan
tindak tanduk nyata.[30]
Siswa yang memiliki keyakinan atau aqidah
yang kuat bahwasanya Allah itu sebagai
khaliknya dan Nabi Muhammad itu sebagai rasulnya serta meyakini rukun Iman yang
lainnya, maka ia akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan
menyenangkan. Ia melaksanakan aktifitas ibadah tanpa ada yang memaksanya,
kesemuanya timbul dari keinginannya sendiri, bahkan mereka menyadari segala
aktifitasnya diawasi oleh Allah, setiap waktu dan setiap kesempatan dimana mereka berada
[2]Nurcholis Majid, Islam Kemodrenan dan Keindoneisaan, (Bandung:
Mizan, 1989), h. 121-122
[3]
Syamsu Yusuf LN, Psikologi
Perkembangan nak dan Remaja, (Bandung: Remaja: Rosdakarya, 2004), h. 24
[4]
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1990), h. 166
[7]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Penididikan Agama Islam di Sekolah,Madrasah, dan
Perguruan Tinggi,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), h. 61
[8]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 2004), h. 156.
[9]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30
[10] Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail
ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardazbah al-Bukhari al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhari, Juz I, (Baieut-Lebanon:
Dar- al-Kutub al-Alamiyah, 1992), h.413
[14]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan
Bintang, 2005)., h. 103, cet-17
[15]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta :
Bumi Akasara, 1984), h. 179
[17]Jalaluddin, Psikologi Agama,( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010),h. 74
[18]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam,(Bangung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h, 302
[19]Depatemen Pendidikan Nasional,Peningkatan Wawasan Keagamaan (Isla) Guru
Bukan Pendidikan Agama Islam SLTP dan SLTA,( Jakarta : Proyek
Peninkatan Wawasan Pendidikan Guru
Agama, 1999), h.7
[21]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2005 ), h.76
[24]Malikfadjar & Abdul Ghafir, Kuliah Aagam Islam di Perguruan Tinggi,(
Surabaya: Al-Ikhlas, 1981),h. 70
[30]“Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar