Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar


A.    Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
     Pendidikan agama adalah salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan agama Islam bagi  murid muslim merupakan salah satunya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi (2008: 10) dikatakan bahwa Pendidikan Agama masuk ke dalam komponen pertama dalam struktur kurikulum SD/MI dan sekolah menengah. Kelas I-III diajarkan secara tematik, sedangkan kelas IV-VI diajarkan dalam 3 jam pelajaran perminggu.

1. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
            
Kegiatan pendidikan agama Islam secara keseluruhan diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik di samping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi juga sekaligus untuk kesalehan sosial. Dalam Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 dijelaskan:
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa dan berakhlak  mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Sedangkan peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.[1]

Kualitas atau kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan kesehariannya dengan muslim lainnya (bermasyarakat), baik seagama (sesama muslim) ataupun yang tidak seagama (non muslim), serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat terwujud persatuan nasional. [2] Dari rumusan tujuan sebagaimana tersebut di atas, terlihat bahwa Pendidikan Agama Islam bertujuan mengembangkan segenap dimensi kehidupan manusia.
Beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dalam PAI menurut Muhaimin adalah:
1.      Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2.      Dimensi pemahaman dan penalaran intelektual serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran Islam
3.      Dimensi penghayatan dan pengamalan batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam
4.      Dimensi pengamalannya dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati itu mampu diamalkan dalam kehidupan pribadi sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah SWT, dan berakhlak mulia serta diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[3]

     Cakupan aspek pendidikan agama Islam di SD meliputi 5 aspek, yaitu al-Qur’an, Keimanan, akhlak, Sejarah Islam dan Ibadah. Tujuan PAI di tingkat SD sebagaimana dikemukakan dalam standar isi pendidikan dasar adalah:
a.  Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
 b.  Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan serta personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.[4]

        Dari rumusan tujuan ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan agama Islam mulai dari SD sampai selanjutnya pada jenjang yang lebih tinggi sangat sejalan dengan arah tujuan pendidikan nasional, yang berusaha mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia, agar bermanfaat untuk kehidupannya secara pribadi, dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat dan negara.
       Dalam kepentingan pribadinya, manusia diharapkan sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia diharapkan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat, berbangsa dan bernegara manusia diharapkan berakhlak mulia dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
            
2.      Ruang Lingkup Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam, sebagaimana terlihat pada petunjuk SK-KD di atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a.       Al-Qur’an dan Hadits
b.      Aqidah
c.       Akhlak
d.      Fiqih
e.       Tarikh dan Kebudayaan Islam
      Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
           Evaluasi berasal dari Bahasa Inggris, evaluation yang akar katanya value yang berarti nilai atau harga. Sedangkan secara istilah, evaluasi menurut Edwind Wand adalah statu tindakan atau proses dalam menentukan nilai sesuatu. M. Chabib Thoha mengartikan evaluasi sebagai kegiatan yang terencana untu mengetahi keadaan objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[5] Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka evaluasi pendidikan berarti proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai, dan jika belum tercapai apa sebabnya.
             Jenis evaluasi dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam, sama dengan evaluasi pada pembelajaran lainnya, yaitu:
a. Penilaian formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan program dalam satuan materi pokok pada suatu bidang studi tertentu.
b. Penilaian sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa setelah selesai mengikuti pembelajaran dalam satu caturwulan, semester atau akhir tahun.
c. Penilaian penempatan (placement) yaitu penilaian tentang pribadi peserta didik untuk kepentingan penempatan di dalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik.
d. Penilaian diagnostik, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keberadaan belajar peserta didik baik merupakan kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam proses pembelajaran.[6]

          Mengingat ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan pendidikan merupakan sasaran evaluasi hasil belajar, maka tujuan dari masing-masing ranah juga harus jelas kelas atau tingkatannya. Taksonomi atau penggolongan tujuan ranah tujuan oleh Bloom, memuat tingkatan-tingkatan yakni:
a.       Ranah kognitif yang terdiri dari 6 tingkatan, yaitu:
1)      Pengetahuan, yaitu berupa pengenalan dan pengingatan kembali terhadap pengetahuan tentang falta, istilah, prinsip-prinsip dalam bentuk seperti mempelajari
2)      Pemahaman, merupakan tingkat berikutnya berupa kemampuan memahami isi pelajaran yang telah dipelajari
3)      Penggunaan/penerapan, merupakan kemampuan menggunakan generalisasi atau abstraksi lainnya
4)      Analisis, merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-bagian yang menjadi unsur pokok
5)      Síntesis, merupakan kemampuan menggabungkan unsur-unsur pokok ke dalam struktur yang baru
6)      Evaluasi, merupakan kemampuan menilai isi pelajaran untuk suatu maksud atau tujuan tertentu

b.      Ranah afektif dengan tingkatannya yaitu:
1)      Menerima, berupa perhatian terhadap stimulasi secara pasif yang meningkat secara lebih aktif
2)      Merespon, yaitu menanggapi stimulan dan merasa terikat serta secara aktif memperhatikan
3)      Menilai, yaitu menilai selanjutnya merespon suatu gejala dan mengambil bagian atas apa yang terjadi
4)      Mengorganisasi, yaitu membentuk suatu sistem nilai bagi dirinya berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya
5)      Karakterisasi, yaitu mengkonseptualisasikan masing-masing nilai pada waktu merespon

c.       Ranah Psikomotor dengan tingkatannya:
1)      Gerakan tubuh yang mencolok yang menekankan pada kekuatan, kecepatan, dan ketepatan
2)      Ketepatan gerakan yang dikoordinasi, berdasarkan urutan atau pola dari gerakan
3)      Perangkat komunikasii nonverbal, yaitu komunikasi tanpa kata
4)      Kemampuan berbicara, yang berhubungan dengan  komunikasi lisan secara mahir[7]

             Untuk melakukan evalusi pada masing-masing ranah ini, maka tujuan pembelajaran dikelompokkan menurut ranah-ranah ini terlebih dahulu. Kesemua bentuk penilaian ini dilakukan dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dasar.
Kaitannya dengan belajar tuntas, maka penilaian formatif dilakukan setiap satu kompetensi dasar, penilaian sumatif dilakukan di akhir semester, dan sub sumatifnya dilakukan pada pertengahan semester, penilaian diagnostif terjadi dalam kegiatan belajar setiap hari dan pada penilaian formatif.
       Jenis alat penilaian dalam evaluasi pendidikan agama Islam di SD dapat menggunakan alat tes atau non tes. Tes dapat dilakukan dengan teknik lisan, tulisan maupun tindakan. Sedangkan non tes dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, studi kasus, rating scale, check list dan inventory, atau daftar pertanyaan yang disertai jawaban setuju, kurang setuju dan tidak setuju.[8]
        Dikaitkan dengan evaluasi pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah inklusi, maka perlu pula dikaji acuan penilaian yang digunakan. Penilaian hasil belajar terhadap siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada program  pendidikan terpadu pada hakikatnya sama dengan penilaian hasil belajar terhadap siswa pada umumnya, karena siswa yang memerlukan pendidikan khusus menyesuaikan dengan sistem yang berlaku di sekolah reguler. Bagi siswa yang belum mampu mencapai kompetensi yang diharapkan, guru perlu mengadakan remedial teching atau pengajaran remedial, sedangkan bagi siswa yang telah mampu mencapai kompetensi lebih cepat dari siswa lainnya, guru perlu memberikan pengayaan.
        Penilaian hasil belajar terhadap siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada  program pendidikan inklusif harus disesuaikan dengan karakteristik siswa yang memerlukan pendidikan khusus, karena sistem pembelajaran harus menyesuaikan dengan karakteristik siswa. Oleh karena itu, sistem evaluasi hasil belajar untuk kenaikan kelas pun juga berbeda antara anak berkebutuhan khusus dengan anak yang lainnya. Implikasinya, kiteria kenaikan kelasnya pun juga berbeda.[9]
       Cara penilaian yang disarankan untuk belajar aktif adalah cara penilaian tertulis, unjuk kerja, produk dan portofolio. Adapun pendekatan penilaian yang dilakukan adalah penilaian acuan patokan (PAP). Pada PAP penialain lebih ditujukan untuk mengetahui penguasaan bahan pelajaran, bukan pada kedudukan siswa dalam kelas (sebagaimana halnya dalam penilaian acuan norma). Jadi PAP lebih mengutamakan kemampuan apa yang sudah dan belum dikuasai siswa setelah menyelesaikan satu bagian kecil dari keseluruhan pelajaran.
          Lebih jelasnya perbedaan kedua model acuan penilain ini dapat dilihat pada tabel berikut:[10]

Tabel 2.1:
Perbedaan Penilaian PAP dengan PAN

NO
Norm Referenced (PAN)
Criterion Refernced (PAP)
1
Berfungsi untuk menetapkan kedudukan relatif seseorang siswa di dalam kelasnya
Berfungsi menetapkan apakah siswa telah mencapai tujuan atau kemampuan yang ditargetkan
2
Tujuan pengajaran dinyatakan secara umum atau secara khusus
Tujuan pengajaran harus dinyatakan secara khusus
3
Belajar tuntas tidak begitu diutamakan
Sangat mengutamakan adanya belajar tuntas, sehingga perlu dinyatakan standar tingkat keberhasilan tujuan pengajaran
4
Tes harus mencakup tingkat kesukaran yang beragam dari yang mudah, sedang dan sukar
Penyusunan soal lebih mengutamakan pada performance dan kemampuan yang harus dikuasai siswa
5
Skor diolah dengan menggunakan statistika seperti mean, standar deviasi dan lain-lain
Tidak selalu skor diolah dengan menggunakan prosedur statistika
6
Tepat dipakai untuk tes penempatan dan tes sumatif
Tepat dipakai untuk tes diagnostik dan tes formatif
7
Hasil penilaian tepat ditransformasikan dalam skala angka seperti A, B, C, D atau dalam standar 0-10
Hasil penilaian tepat dinyatakan dalam bentuk pernyataan: Sangat memuaskan, memuaskan, cukup, kurang dan gagal

       Dengan konsep PAP yang sangat mengutamakan adanya belajar tuntas, maka jelaslah bahwa dalam kelas inklusif ada suatu keharusan untuk menerapkan strategi belajar tuntas.

      4. Pengembangan Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Strategi menurut Joni dalam Sri Anitah adalah ilmu atau kiat dalam memanfaatkan segala sumber yang dimiliki atau yang dikerahkan untuk mencapai tujuan. Dimyati dan Soedjono dalam sumber yang sama mengatakan bahwa strategi dalam pembelajaran adalah kegiatan guru untuk memikirkan dan mengupayakan terjadinya konsistensi antara aspek-aspek dari komponen pembetntuk sistem pendidikan.[11] Strategi mengajar menurut Nana Sudjana adalah tindakan guru melaksanakan rencana mengajar. Artinya bagaimana guru menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[12]
Dengan demikian strategi pembelajaran sesungguhnya adalah upaya guru secara nyata untuk melaksanakan pengajaran dengan mengatur keseluruhan komponennya, sehingga jelaslah langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Strategi pembelajaran dikembangkan dalam setiap bidang studi dan tingkatan pendidikan. Penggunaan strategi pembelajaran dalam pendidikan agama Islam mengacu pada upaya guru mengoptimalkan hasil belajar muridnya demi tercapainya tujuan pendidikan agama Islam itu sebaik-baiknya. Berbagai metode, pendekatan, dan model pembelajaran dikembangakan dalam inovasi pembelajaran pendidikan agama Islam, untuk terus meningkatkan keberhasilan peserta didik.
Strategi belajar tuntas adalah satu strategi pembelajaran yang sebenarnya konsep ini telah lama dikenalkan, namun masih belum semua guru siap melaksanakannya. Strategi ini berorientasi agar setiap siswa dengan latar belakang kemampuan yang berbeda dapat sama-sama mencapai hasil belajar seoptimal mungkin. Namun selain strategi belajar tuntas, masih banyak strategi belajar lain yang terus dikembangkan oleh para ahli guna memajukan pendidikan, termasuk pendidikan agama Islam.



[1] Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta:  Depdiknas, 2006), h. 1
[2] Muhaimin, dkk, Strategi Belajar Mengajar: Penerapannya dalam Pembelajaran Agama Islam, (Surabaya: Citra Media, 1996). h. 1-2
[3]  Ibid., h. 3
[4] Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 2
[5] Ramayulis, op. cit, h. 221
[6] Ibid., h. 227-228
[7] Dimyati dan Mudjono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 202-208
[8] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru  Algensindo, 2004), h. 113-115
[9]  Depdiknas, Penilaian Hasil Belajar Siswa di Kelas Inklusif,  (Jakarta: tp,  2005), h. 2
[10] Nana Sudjana, op. cit. , h. 133
[11] Sri Anitah, op. cit., h. 1.24
[12] Nana Sudjana, op. cit., h. 147

Tidak ada komentar: