Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Sekolah Inklusi


D.    Sekolah Inklusi
 1. Pengertian Sekolah Inklusi
      Istilah iknlusi  berarti mendidik anak penderita ketidakmampuan di kelas reguler.[1] Sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima siswa dengan kemampuan yang heterogen, karena siswanya di samping anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan baik kelainan berupa cacat fisik, intelektual, emosional, dan atau sensoris neurologis.[2] Dengan kata lain, sekolah inklusi adalah sekolah yang menggabungkan siswa normal dengan siswa / anak berkebutuhan khusus yang erat kaitannya dengan anak berkesulitan belajar, dan melayaninya dengan layanan pendidikan inklusif.
        Adapun yang dimaksudkan dengan layanan pendidikan inklusif dapat dilihat pada karakteristik pendidikan inklusif itu sendiri, yaitu:
1.   Pendidikan Inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak
2.   Pendidikan Inklusi berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar
3.   Pendidikan Inklusi memebawa makna bahwa anak kecil yang hadir di sekolah berpartisispasi dan mendapatkan hasil belalajar yang bermakna dalam hidupnya
4.   Pendidikan Inklusi diperuntukkan utamanya bagi anak anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar[3]
Sekolah inklusi yang efektif adalah sekolah yang segenap pihak terkaitnya mampu melyani pembelajaran yang menitikberatkan misi pendidikan bagi semua siswa, dengan layanan pendidikan yang kondusif  sebagaimana dikemukakan oleh David Skidmoore berikut ini:
Effective Inclusive schools are diverse problem solving organizations, with common mission that emphasizes learning for all students.  The data were analysed by applying stoll’s model of the 12 characteristics of effective school. On the basis of this study, a number of attributes of effective inclusive schools are put forward, including, a common mission, an emphasis on learning and a climate conducive to learning.[4]

Penerapan pendidikan inklusi, sebagai suatu solusi bagi anak berkebutuhan khusus, mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
1)         Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila, yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka  Tunggal Ika.[5] Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat  Tuhan dimuka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaa suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam ini.
2)        Landasan Yuridis
             Landasan Yuridis Internasional penerapan pendidikan Inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan ada.
Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
            Di Indonesia penerapan pendidikan inklusi dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2  tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelaianan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3)    Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan Bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jadi melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mempu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
          4)    Landasan empiris
            Penelitian tentang Inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of  Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penepatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminasi.
            Penempatan anak berkelainan di sekolah Inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
                                i.            Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
                 (b) Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
(c)    Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
(d)   Kelas reguler dengan cluster dan pull out
     Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
(e)    Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
           Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
(f)    Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada :
(a)  Jumlah anak berkelainan yang akan dilayani
(b)  Jenis kelainan masing-masing anak
(c) Gradasi (tingkat) kelainan anak
(d)  Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
(e)  Saran-prasarana yang tersedia.

2.                  Karakteristik Murid di Sekolah Inklusi
      Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa murid yang belajar di sekolah inklusi adalah gabungan dari murid normal dan murid berkebutuhan khusus, atau inklusi. Tentang anak normal tidak dibahas dalam kajian ini, tetapi yang dibahas adalah anak berkebutuhan khusus dan karakteristiknya. Ganda Sumekar mengemukakan,
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami penyimpangan, kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental, emosis sosial atau gabungan dari hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan penyimpangan, kelainan, atau ketunaan mereka.[6]

            Anak berkebutuhan khusus juga dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:

a.       Dari segi medis, ABK atau anak cacat adalah yang dalam pelayanan pendidikannya memerlukan usaha-usaha pelayanan medis berupa pengobatan dan penyembuhan menuju keadaan sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin.
b.       Dari segi hukum, ABK adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau anak cacat yang pada dasarnya mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pedidikan.
c.       Dari segi psikologi, ABK anak yang mengalami hambatan dalam penyesuaian emosi dan intelegensi sehingga memerlukan pembinaan dan bimbingan agar dapat mencapai kestabilan emosi dan intelegensi sesuai dengan kemampuannya.
d.      Dari segi sosiologi, anak yang mengalami hambatan akibat dari kelainan / kecacatannya dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya sehingga memerlukan bimbingan dan pembinaan berupa usaha-usaha sosialisasi yang dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial dalam masyarakat.
e.       Dari segi didaktik, anak yang mengalami kelainan / keacatan yang pelayanannya memerlukan metode yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan secara optimal sesuai dengan tingkat kecacatan dan kemampuannya.[7]

Dilihat dari kondisinya, macam-macam anak berkebutuhan khusus adalah:
a.       Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
            Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutuhan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tunanetra dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:
                                                                              1)      Tidak mampu melihat
                                                                              2)      Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
                                                                              3)      Kerusakan nyata pada kedua bola mata
                                                                              4)      Sering meraba-meraba/tersandung waktu berjalan
                                                                              5)      Mengalami kesulitan mengambil benda kecil didekatnya
                                                                              6)      Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/ bersisik/ kering
                                                                              7)      Peradangan hebat pada kedua bola
                                                                              8)      Mata bergoyang terus

         b. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
             Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tunarungu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Secara nyata tidak mampu mendengar
2)      Terlambat perkembangan bahasa
3)      Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
4)      Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
5)      Ucapan kata tidak jelas
6)      Kualitas suara aneh/monoton
7)      Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
8)      Banyak perhatian terhadap getaran
9)      Keluar cairan, nanah, dari kedua telinga

  c. Tunadaksa/kelainan anggota tubuh/gerakan
                 Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelaianan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika mereka mengalami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak, mereka disebut Cerebral Palsy (CP)
                   Pengertian Anak Tunadaksa bias dilihat dari segi fungsi fisiknya dan segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai seseorang yang fisik dan kesehatannya mengalami masalah sehingga menghasilkan kelaianan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan untuk meningkatkan fungsinya diperlukan program dan layanan khusus. Pengertian yang didasarkan pada anatomi biasanya digunakan dalam kedokteran.   
      Ciri- ciri anak tunadaksa dapat dilukiskan sebagai berikut:
1)      Anggota gerak tubuh kaku / lemah / lumpuh
2)      Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali)
3)      Terdapat bagian anggotra gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa
4)      Terdapat cacat pada alat gerak
5)      Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
6)      Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
7)      Hiperaktif/tidak dapat tenang.

      d.  Tunagrahita / keterbelakangan kemampuan intelektual
     Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.
       Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata normal. Bersama dengan itu pula, tunagrahita mengalami kekurangan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri.  Semua itu terjadi pada masa perkembangannya. Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita bila memiliki tiga faktor, yaitu:
1)      Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata
2)      Ketidakmanpuan dalam perilaku adaptif
3)      Terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun

Untuk  mengetahui tingkat kecerdasan seseorang, secara umum biasanya diukur melalui tes Inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient), yang dapt dibagi menjadi:
1)      Tunagrahita ringan biasanya memiliki IQ 70-55
2)      Tunagrahita sedang biasanya memiliki IQ 55-40
3)      Tunagrahita berat biasanya memiliki IQ  40-25
4)      Tunagrahita berat sekali biasanya memiliki IQ < 25

           Sedangkan para ahli Indonesia menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
1)         Tunagrahita ringan IQnya 50-70
2)         Tunagrahita sedang IQnya 30-50
3)         Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang dari 30
     
Ciri-ciri fisik dan penampilan anak tunagrahita :
1)      Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terkecil/besar,
2)      Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia
3)      Perkembangan bicara/bahasa terlambat
4)      Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
5)      Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
6)      Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).

                     
e.   Lamban Belajar (slow learner):
       Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 70-90). Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi social, tetapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesakan tugas-tugas akdemik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak lamban belajar:
1)      Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6)
2)      Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-taman seusianya
3)      Daya tangkap terhadap pembelajaran lambat
4)      Pernah tidak naik kelas

f.       Anak  Berbakat (kemampuan dan kecerdasan luar biasa)
Anak berbakat atau anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreatifitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (taskcommitmant) di atas anak-anak seusianya (anak normal,) sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berbakat sering juga disebut sebagai gifted dan talented. Anak berbakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Membaca pada usia lebih muda
2)      Membaca lebih cepat dan lebih banyak
3)      Memiliki perbendaharaan kata yang luas
4)      Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat
5)      Mempunyai minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa
6)      Mempunyai inisiatif dan dapat berkerja sendiri
7)      Menunjukkan keaslian (orisnalitas) dalam ungkapan verbal
8)      Memberi jawaban-jawaban yang baik
9)      Dapat memberikan banyak gagasan
10)  Luwes dalam berfikir
11)  Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan
12)  Mempunyai pengamatan yang tajam
13)  Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diamati
14)  Berfikir kritis, juga terhadap diri sendiri
15)  Senang mencoba hal-hal baru
16)  Mempunyi daya adstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi
17)  Senang terhadap kegiatan intelektul dan pemecahan-pemecahan masalah
18)  Cepat menangkap hubungan sebab akibat
19)  Berperilaku terarah pada tujuan
20)  Mempunyai daya imajinasi yang kuat
21)  Mempunyai banyak kegemaran (hobi)
22)  Mempunyai daya ingat yang kuat
23)  Tidak cepat puas dengan prestasinya
24)  Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi)
25)  Menginginkan kebebasan dalan gerakan dan tindakan

Anak berbakat sering juga disebut sebagai gifted atau talented, yang ditandai dengan tingginya kemampuan intelektualnya.
g.      Anak berkesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik (Specific learning disability) adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas akademik khusus (terutam dalam hal kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau matematika). Penyebabnya diduga karena faktor disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor intelegensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksi), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti.

h.                     Anak yang mengalami gangguan komunikasi
Anak yang mangalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan. Anak yang mengalami gangguan komunikasi memiliki ciri-ciri:
1)      Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain
2)      Tidak lancar dalam berbicara /  mengemukakan ide
3)      Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
4)      Kalau berbicara sering gagap/gugup
5)      Suaranya parau/aneh
6)      Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel
7)      Organ bicaranya tidak normal/sumbing

       i. Tunalaras (mengalami gangguan emosi dan perilaku)
  Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
      Tuna laras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri :
1)      Cenderung membangkang
2)      Mudah teransang emosinya / emosional / mudah marah
3)      Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu
4)      Sering bertindak melanggar norma dan hukum
3. Pembelajaran di Sekolah Inklusi
                Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusif secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di kelas inklusif terdapat anak berkelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus menerapkan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
               Prinsip khusus yang dimaksudkan sesuai keberadaan anak berkebutuhan khusus itu diberikan arahannya, yaitu:[8]
a. Tunanetra
     1) Prinsip kekonkritan
Anak tunanetra belajar terutama  melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dimanipulasikan.
2) Prinsip pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-hubungan kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk mengalami suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan-hubungannya.
3) Prinsip bekerja sambil melakukannya
    Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tujuan dan bahan yang diajarkan.

 b. Tunarungu
      1) Prinsip keterarahan wajah
Prinsip ini menuntut guru ketika memberikan penjelasan hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru.
      2) Prinsip keterarahan suara
Dalam proses pembelajaran, ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal / ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenal anak, dan upayakan ketika berbicara menghadap ke lawan bicara.
       3) Prinsip keperagaan
Karena pendengaran anak ini bermasalah, maka sebaiknya guru berbicara dengan disertai peragaan, agar lebih mudah dipahami anak di samping meningkatkan perhatian anak.
  c. Anak berbakat
       1) Prinsip percepatan belajar
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, guru hendaknya memanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan memberikan materi pelajaran selanjutnya, sehingga pelajaran untuk 1 semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan, materi 1 tahun selesai dalam 8 bulan, dan materi 6 tahun selesai dalam 4 tahun. Inilah yang disebut dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
       2) Prinsip pengayaan
Hal ini berarti guru memanfaatkan waktu yang tersisa bagi anak berbakat untuk memberikan program pengembangan atas materi yang sedang dipelajari. Hal ini karena, tidak semua anak senang dengan program akselerasi.

   d. Anak lamban belajar / slow learner atau tunagrahita
       1) Prinsip kasih sayang
   Mengajar anak tunagrahita memerlukan kasih sayang yang tulus dari guru. Guru hendaknya berbahasa yang lembut, berperangai sabar, rela berkorban, memberi contoh perilaku yang baik, ramah dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk belajar.
      2)  Prinsip keperagaan
  Kelemahan anak tunagrahita antara lain adalah dalam berfikir abstrak. Oleh karena itu anak perlu dibawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, sosial maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan guru dapat membawa berbagai alat peraga.
      3)  Prinsip habilitasi dan rehabilitasi
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan untuk dikembangkan meski kemampuan tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikit demi sedikit mengembalikan kemapuan yang hilang atua belum berfungsi optimal.
   
e. Tunadaksa
           Prinsip yang perlu diperhatikan untuk pembelajaran anak tunadaksa tidak lepas dari tiga macam pelayanan, yaitu 1) pelayanan medik, 2) pelayanan pendidikan, dan 3) pelayanan sosial yang pada dasarnya juga tidak lepas dari prinsip habilitasi dan rehabilitasi.

   f. Tunalaras
      1) Prinsip kebutuhan dan keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi keinginannya tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Karenanya guru harus memberikan keaktifan pada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundang-undanagn yang berlaku sehingga ia tidak merugikan orang lain.
       2) Prinsip kebebasan yang terarah
Guru harus berhati-hati melarangnya, tapi menyalurkan segala perilakunya ke arah yang positif, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
       3) Prinsip penggunaan waktu luang
Karena anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, guru harus membimbing anak ini untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat di waktu luangnya.
       4) Prinsip kekeluargaan dan kepatuhan
Guru harus dapat menyelami jiwa anak, dimana letak ketidak-selarasan kehidupan emosinya, dan mengembalikannya pada kehidupan yang tenang, selaras, sehingga rasa kekeluargaannya pulih kembali.
       5) Prinsip setia kawan, idola serta perlindungan
Karena tidak nyaman di rumah anak tunalaras biasanya merasa nyaman dalam sutu kelompok, dengan ketua yang diidolakannya. Guru hendaknya perlahan-lahan menggantikan sosok ketua itu, sehingga setia kawannya berganti pada teman sekelasnya.
       6) Prinsip minat dan kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terhadap pelajaran. Dengan tugas yang sesuai mereka akan merasa senang dan lama-kelamaan mereka terbiasa belajar.
        7) Emosional, sosial dan perilaku
Guru berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik, sesuai norma yang berlaku.

       8) Prinsip disiplin
Sikap ketidaktaatan dan lepas aturan merupakan sikap mereka sehai-hari. Guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu memberikan keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
       9) Prinsip kasih sayang
Anak tunalaras haus akan kasih sayang. Saat tidak mendapatkannya ia akan menjadi agresif, hiperaktif atau sebaliknya rendah diri, pendiam dan menyendiri.
Murid berkebutuhan khusus memerlukan layanan atau bantuan khusus pula agar  mereka dapat berhasil belajar di sekolah inklusi. Cara membantu mereka tentunya sesuai dengan kondisi kebutuhan masing-masing. Ganda Sumekar mengemukakan pula cara membantu mereka, yaitunya:
a.        Cara membantu siswa dengan gangguan penglihatan agar berhasil di kelas inklusif
Konsep memudahkan siswa dengan sisa kemampuan penglihatannya, yaitu dengan:
1)      Pengaturan cahaya, dapat dilakukan dengan pemilihan kertas, papan tulis, dan tempat duduk mereka
2)      Menggunakan buku cetak besar
3)      Menggunakan buku bersuara
4)      Menggunakan alat bantu hitung
5)      Menggunakan alat pembesar
6)      Penggunaan komputer Bagi siswa yang benar-benar tidak dapat melihat, tentunya menggunakan huruf Braile.[9]
   J. Davit Smith mengemukakan tips untuk guru dalam menangani siswa yang mengalami gangguan penglihatan yaitu:
1)      Ajak anak keliling kelas, pastikan ia mengenal susunan peralatan di kelas
2)      Kenali jenis alat bantu yang dipakai, seperti alat pembesar, tape recorder, radio atau mesin ketik, cara melakukan dan merawatnya
3)      Kenalkan siswa lain pada sifat ketidakmampuan siswa itu
4)      Dorong anak semandiri mungkin
5)      Jangan terlalu melindungi (overprotektif)
6)      Pakai sistem teman baik dalam aktivitas yang diperlukan
7)      Jangan memuji terlalu berlebihan
8)      Jangan segan minta pertolongan dari para professional lain[10]
    b. Membantu siswa dengan gangguan pendengaran agar berhasil di kelas inklusif
Menghadapi anak ini, perlakuan guru hendaknya:
1)      Berusaha memberikan tempat duduk di ruangan depan, jauh dari getaran mesin pemanas dan AC, dan berisik lainnya.
2)      Berikan kesempatan berbicara sama dengan anak normal
3)      Mengulang-ulang pembicaraan jika terlihat anak tidak mengerti
4)      Tekankan ucapan yang jelas bagi semua anak
5)      Menyadari bahwa anak ini mengalami kelelahan lebih awal dibandinga anak normal
6)      Melihat ekspresi wajahnya untuk memastikan adanya kontak sebelum berbicara dengannya
7)      Pertimbangkan penggunaan sistem kawan yang membantu proses mendengarkan.[11]
Selain itu perlu menerapkan komunikasi total, memberikan model-model nyata, penekanan pada dwi bahasa, adakan kelas bahasa isyarat dengan pertemuan 1 x seminggu dengan orangtua, dan kalau perlu mendatangkan guru dengan kemampuan dwibahasa. J. David Smith  juga memberikan petunjuk sebagai berikut:
1)      Jangan bergerak ke sekitar ruangan ketika sedang berbicara di kelas
2)      Usahakan berdiri dimana cahaya yang cukup berada pada wajah anda
3)      Pastikan tidak ada cahaya yang masuk misalnya dari jendela
4)      Usahakan tangan anda jauh dari wajah ketika sedang berbicara
5)      Pastikan menghadap kelas ketika sedang menerangkan materi di papan tulis
6)      Kumis tebal menyebabkan ucapan kurang jelas
7)      Jangan terlalu berlebihan menggunakan mulut[12]
      c. Membantu siswa dengan IQ di bawah rata-rata agar berhasil di kelas inklusif
Guru efektif bagi anak dengan kondisi ini seperti ditulis Wong, Kauffman, dan Lloyd, dari Ganda Sumekar memiliki ciri-ciri:
1)      Punya harapan bahwa siswanya akan berhasil
2)      Pengawasan yang sering dan umpan balik bagi tugas-tugasnya
3)      Memperhatikan penjelasan standar-standar, arah-arah dan harapan-harapan pembelajaran
4)      Fleksibel dalam menangani siswa-siswa
5)      Mempunya komitmen dalam memperlakukan siswa secara terbuka
6)      Bersikap responsif terhadap pertanyaan dan komentar siswa
7)      Melakukan pendekatan yang tersusun dengan baik dalam pembelajaran
8)      Bersikap hangat, sabar, dan humoris terhadap siswa
9)      Teguh dan konsisten dalam pengharapan-pengharapan
10)  Bersikap positif terhadap perbedaan dan kelainan anak
11)  Mau bekerjasma dengan guru pendidiikan khusus dan bersikap responsif dalam membantu orang lain
12)  Mempunya rasa percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru
13)  Punya rasa keterlibatan  porofesional yang tinggi serta pemuasan profesioal.[13]
Adapun manajemen kelasnya:
1)      Guru dan siswa menggunakan waktu seefisien mungkin
2)      Siswa tidak menunggu untuk meminta bantuan
3)      Siswa hanya menggunakan sedikit waktu dalam melakukan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya
4)      Tidak banyak waktu yang diperlukan untuk menegakkan disiplin
5)      Guru jarang melakukan hukuman
6)      Penanganan-penanganan khusus lainnya tidak diperlukan dalam mengatur sikap
7)      Umpan balik yang positif selama pembelajaran
8)      Pengembangan pembelajaran yang  tepat sesuai tingkat kemampuan anak
9)      Menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif sehingga siswa percaya pada guru dan mau meminta bantuan dan percaya diri.[14]
     d.  Membantu siswa dengan gangguan fisik dan motorik agar berhasil di kelas inklusif
            Penekanan dalam pengajaran bagi siswa ini harus pada kemandirian yang optimal dan memperhatikan perbedaan antar pribadi. Pengelompokkan yang fleksibel adalah suatu teknik yang memberikan siswa dengan dan tanpa kelainan bekerjasama ke arah pencapaian tujuan-tujuan tertentu.[15]
1)      Berikan fasilitas yang dibutuhkan anak seperti ramp atau jalan yang landai untuk kursi roda, tangga berjalan, gang yang cukup luas dan sebagainya
2)      Sediakan alat bantu yang dapat membantu melatih organ tubuh yang kaku, seperti alat penyannga tubuh.
3)      Memberikan alat bantu komunikasi, misalnya bagi anak yang tidak dapat menulis dengan tanggannya
4)      Berikan alat bantu belajar, seperti alat khusus di saat berada di labor
5)      Berikan keterampilan untuk menolong diri sendiri dengan banyak memberikan pendidikan kemandirian.[16]
       e. Membantu siswa dengan gangguan perilaku agar  berhasil di kelas inklusif
Sabatino sebagaimana dikutip oleh J. David Smith, mengemukakan cara membantu mereka adalah:
1)      Mengatasi masalah emosi dan perilaku yaitu dengan mencegah terjadinya masalah. Dalam hal ini guru hendaknya mencegah munculnyua sikap negatif siswa dengan cara:
(a)    Buatlah harapan-harapan akademis dan perilaku siswa yang anda inginkan sejelas mungkin bagi mereka
(b)   Tunjukkan pada siswa bahwa anda jujur dalam berhubungan dengan mereka
(c)    Berikan pengakuan dan perhatian atas sikap positifnya
(d)   Buatlah contoh sikap, kebiasaan kerja, dan hubungan yang positif
(e)    Persiapkan pola pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun dengan baik
(f)    Buatlah suasana kelas yang dapat diterima baiik secara fiisik maupun sosial
2)      Berikan keterampilan manajemen diri  dengan teknik:
(a)    Pemantauan diri dengan membuat catatan tindakan negatif, dan mencatan target perilaku positif
(b)   Intervensi diri, yaitu memberikan penghargaan diri mereka sendiri atas perubahan sikap ke arah positif
(c)    Pengarahan diri sebagai suatu analisis terhadap masalah dan mengembangkan solusinya
3)      Penerapan analisis perilaku
4)      Latihan keterampilan sosial
5)      Partisipasi Keluarga
6)      Latihan perilaku kognisi
7)      Kolaborasi teman sebaya
8)      Sikap guru yang fleksibel dan humoris [17]
f. Membantu siswa dengan kesulitan belajar agar berhasil di kelas inklusif
1)     Untuk anak dengan masalah perhatian/ konsentrasi
(a)    Ubahlah cara mengajar dan jumlah materi yang diajarkan, perlambat laju presentasi materi, libatkan siswa dalam komunikasi dan gunakan media visual
(b)   Adakan pertemuan dengan siswa untuk memberikan arahan tanpa hukuman dan ancaman
(c)    Bimbing siswa lebih dekat ke proses pembelajaran
(d)   Berikan dorongan secara langsung dan berulang –ulang
(e)    Utamakan ketekunan perhatian dari pada kecepatan menyelesaikan tugas
(f)     Ajarkan self monitoring of attention
2)                  Untuk anak dengan masalah daya ingat (memori)
(a)    Ajarkan menggunakan highlighting (penggarisbawahan) untuk membantu memancing ingatan
(b)   Ajarkan siswa bermasalah dengan daya ingat agar berlatih mengulang dan mengingat
3)      Untuk anak dengan masalah kognisi
(a)    Berikan materi yang dipelajari dalam konteks highmeaning
(b)   Menunda ujian akhir dan penilaian
(c)    Tetapkan siswa dalam konteks pembelajaran yang tidak pernah gagal
4)    Untuk anak dengan masalah sosial dan emosional
(a)    Buatlah sistem penghargaan kelas yang dapat diterima dan diakses
(b)   Membentuk kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain
(c)    Mengajarkan sikap positif
(d)   Meminta bantuan pada teman sejawat di sekolah[18]
             Bentuk bantuan lain dari model yang dicontohkan oleh The Corvallis Montana Project adalah dengan layanan konsultatif, pembelajaran tim, sesi tutorial, pembelajaran lintas kurikulum, pembelajaran kooperatif, tutor sebaya, alat Bantu khusus dan pembelajaran dengan bantuan computer[19]

g. Membantu siswa dengan Potensi kecerdasan dan bakat istimewa
Layanan pembelajaran yang dapat diberikan seperti prodram pengayaan dan percepatan. Bantuan itu juga dapat dioptimalkan melalui:
1)      Kelas paruh waktu
2)      Belajar mandiri
3)      Ruangan sumber
4)      Guru bantu atau  gur  pembimbing khusus kelas[20]
      Bagi guru yang ingin membantu memenuhi kebutuhan siswa tersebut, maka guru itu haruslah:
1)      Terima setiap siswa sebagai seseorang yang memiliki kemampuan berbeda
2)      Menciptakan pembelajaran berbasis siswa
3)      Merancang model-model pengajaran yang menghargai sumbangan khas dari setiap siswa
4)      Ingatlah, ”siswa berbakat bukan yang lebih baik, mereka hanya berbeda dalam kemampuan, kebutuhan dan minat.
5)      Perbedaan dalam kurikulum  kelas[21]
h. Membantu siswa autis agar berhasil di kelas inklusif
1)      Identifikasi anak autis semenjak awal masuk kelas reguler
2)      Mengembangkan kurikulum yang sesuai
3)      Mencukupi ketenagaan, meliputi tenaga kependidikan dan non kependidikan
4)      Mencukupkan sarana dan prasarana
5)      Menciptakan lingkungan yang dapat memahami keadaan mereka
6)      Dalam kegiatan belajar mengajar, haruslah:
(a)    Adanya kompenan guru pembimbing
(b)   Prinsip pendidikan dan pengajaran terstruktur, terpola, terprogram, kontiniu, dan konsisten
(c)    Memperhatikan hambatan dalam proses belajar mengajar dan solusinya.
(1) Masalah perilaku stimulasi diri, maka lakukan:
Memberikan reinforcement, tidak memberikan waktu luang untuk anak asyik dengan dirinya sendiri, siapkan kegiatan yang menarik dan positif, menciptakan situasi yang kondusif bagi anak, tidak menyakiti diri,
(2) Masalah emosi yang tidak stabil, misalnya menangis, berteriak, tertawa tanpa sebab, memberontak, mengamuk dan sebagainya, cara mengatasinya adalah berusaha menemukan penyebabnya, berusaha menenangkan anak dengan sikap tetap tenang, setelah kondisinya membaik, kegiatan dapat dilanjutnan.
(3) Masalah perhatian/ konsentrasi, agar perhatian anak bertahan dalam waktu yang lama, maka perlu diupayakan adalah meningkatkan waktu belajar secara bertahap, membuat kegiatan yang menarik dan bervariasi, mengurangi kejenuhan anak dengan beristirahat sambil menyanyi, bermain atau bercanda
(4) Masalah kesehatan, artinya kegiatan belajar mengajar harus terjadi saat kesehatan anak dalam kondisi baik
(5) Membentuk perkumpulan orang tua untuk memberikan informasi mengenai kondisi dan kebutuhan anaknya
(6) Masalah sarana belajar, yaitu melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk kepentingan terapi anak.[22]

            Dari semua pendapat yang disarankan ahli pendidikan khusus ini, penulis   akhirnya menyimpulkan bahwa secara umum, sekolah inklusi yang melayani pendidikan inklusif harus memperhatikan sekali perbedaan kondisi muridnya dalam satu kelas. Program pembelajaran yang disusun harus mampu membantu mereka tetap terlibat aktif, sesuai kemungkinan masing-masingnya. Dalam menangani kesulitan belajar bagi anak berkebutuhan khusus atau anak inklusi ini, guru yang mengajar mesti menjamin bahwa setiap langkah yang dilakukan harus bermakna bagi mereka. Jika tidak, mereka akan tertinggal disebabkan memang kondisi mereka tidak sama dengan anak normal di kelasnya.


[1]  John W. Santrock, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: Prenada Nedia Group, 2007), h. 259
[2] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi-Kegiatan Belajar Mengajar,  (Jakarta, t.p, 2004), h. 3
[3] Depdiknas, Panduan Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif,  h. iii
[4] David Skidmore, Inclusion, The Dynamic of school Development, (Newyork: Open University Press, 2004), h. 22
[5] Mulyono Abdurrahman, op. cit, h. 43

[6] Ganda Sumekar, Anak Berkebutuhan Khusus, Cara Membantu Mereka agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusif, (Padang: UNP Press), 2009, h. 3

[8] Depdiknas, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif, Jakarta, 2005, disarikan dari h. 10-29
[9] Ganda Sumekar, op. cit., h. 69-70
[10] J. David Smith, Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Nuansa, 2009), h. 252
[11] Ganda Sumekar, op. cit., h. 103
[12] J. David Smith, op. cit.,  h. 292
[13] Ganda Sumekar, op. cit., h. 64-65
[14] Ibid.,  h. 166
[15]  J. David Smith, op. cit., h. 289
[16] Ganda Sumekar, op. cit., h. 201-206
[17] J. David Smith, op. cit., h.156-157
[18] Ganda Sumekar, op. cit., disarikan dari h. 243-248
[19] Ibid., h. 251
[20] Ibid., h. 270-271
[21]  J. David Smith, op. cit, h. 318
[22] Ganda Sumekar, op. cit., h. 293-298

Tidak ada komentar: