D. Sekolah Inklusi
1. Pengertian Sekolah Inklusi
Istilah iknlusi berarti mendidik anak penderita ketidakmampuan
di kelas reguler.[1]
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima siswa dengan kemampuan yang
heterogen, karena siswanya di samping anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan
baik kelainan berupa cacat fisik, intelektual, emosional, dan atau sensoris
neurologis.[2] Dengan kata lain, sekolah inklusi adalah sekolah yang menggabungkan siswa
normal dengan siswa / anak berkebutuhan khusus yang erat kaitannya dengan anak
berkesulitan belajar, dan melayaninya dengan layanan pendidikan inklusif.
Adapun
yang dimaksudkan dengan layanan pendidikan inklusif dapat dilihat pada
karakteristik pendidikan inklusif itu sendiri, yaitu:
1.
Pendidikan Inklusi adalah proses yang berjalan
terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak
2.
Pendidikan Inklusi berarti memperdulikan cara-cara
untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar
3.
Pendidikan Inklusi memebawa makna bahwa anak kecil
yang hadir di sekolah berpartisispasi dan mendapatkan hasil belalajar yang
bermakna dalam hidupnya
4.
Pendidikan Inklusi diperuntukkan utamanya bagi
anak anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan
pendidikan khusus dalam belajar[3]
Sekolah inklusi yang efektif adalah sekolah yang segenap pihak terkaitnya
mampu melyani pembelajaran yang menitikberatkan misi pendidikan bagi semua
siswa, dengan layanan pendidikan yang kondusif
sebagaimana dikemukakan oleh David Skidmoore berikut ini:
Effective Inclusive schools are diverse problem solving
organizations, with common mission that emphasizes learning for all
students. The data were analysed by
applying stoll’s model of the 12 characteristics of effective school. On the
basis of this study, a number of attributes of effective inclusive schools are
put forward, including, a common mission, an emphasis on learning and a climate
conducive to learning.[4]
Penerapan pendidikan inklusi, sebagai
suatu solusi bagi anak berkebutuhan khusus, mempunyai landasan filosofis, yuridis,
pedagogis dan empiris yang kuat.
1)
Landasan filosofis
Landasan
filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila,
yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang
lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka
Tunggal Ika.[5]
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan
vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan dimuka bumi. Kebhinekaan vertikal
ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial,
kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan
horizontal diwarnai dengan perbedaa suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama,
tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
Bertolak
dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) hanyalah satu
bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau
agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan
keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat
pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini
yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta
didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau
agama. Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan
harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam
ini.
2)
Landasan Yuridis
Landasan Yuridis Internasional
penerapan pendidikan Inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh
para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali
atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang
berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama
bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem
pendidikan ada.
Deklarasi
Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan
internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO
tersebut di atas.
Di Indonesia penerapan pendidikan
inklusi dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelaianan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3) Landasan pedagogis
Pada pasal
3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan Bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi menusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Jadi
melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mempu menghargai
perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika tercapai jika
sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4) Landasan empiris
Penelitian tentang Inklusi telah
banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang
berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penepatan anak berkelainan di sekolah, kelas
atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminasi.
Penempatan anak berkelainan di
sekolah Inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
i.
Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan
belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama.
(b) Kelas reguler dengan cluster
Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus.
(c) Kelas reguler dengan pull
out
Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang untuk belajar dengan
guru pembimbing khusus.
(d) Kelas reguler dengan cluster
dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing
khusus.
(e) Kelas khusus dengan
berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
(f) Kelas khusus penuh
Anak
berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan
demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada
di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh),
karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi
berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat, mungkin akan lebih banyak
waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi).
Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau
tempat khusus (rumah sakit).
Setiap
sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama
bergantung kepada :
(a) Jumlah anak berkelainan yang akan dilayani
(b) Jenis kelainan masing-masing anak
(c) Gradasi (tingkat) kelainan
anak
(d)
Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
(e) Saran-prasarana yang tersedia.
2.
Karakteristik Murid di Sekolah Inklusi
Seperti dikemukakan sebelumnya,
bahwa murid yang belajar di sekolah inklusi adalah gabungan dari murid normal
dan murid berkebutuhan khusus, atau inklusi. Tentang anak normal tidak dibahas
dalam kajian ini, tetapi yang dibahas adalah anak berkebutuhan khusus dan
karakteristiknya. Ganda Sumekar mengemukakan,
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak
yang mengalami penyimpangan, kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental,
emosis sosial atau gabungan dari hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
penyimpangan, kelainan, atau ketunaan mereka.[6]
Anak
berkebutuhan khusus juga dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
a. Dari segi medis, ABK
atau anak cacat adalah yang dalam pelayanan pendidikannya memerlukan
usaha-usaha pelayanan medis berupa pengobatan dan penyembuhan menuju keadaan
sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai tujuan pendidikan seoptimal
mungkin.
b. Dari segi hukum, ABK
adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau anak cacat yang pada dasarnya
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pedidikan.
c. Dari segi psikologi,
ABK anak yang mengalami hambatan dalam penyesuaian emosi dan intelegensi
sehingga memerlukan pembinaan dan bimbingan agar dapat mencapai kestabilan
emosi dan intelegensi sesuai dengan kemampuannya.
d. Dari segi sosiologi,
anak yang mengalami hambatan akibat dari kelainan / kecacatannya dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya sehingga memerlukan bimbingan dan
pembinaan berupa usaha-usaha sosialisasi yang dapat mengembangkan kemampuan
penyesuaian sosial dalam masyarakat.
e. Dari segi didaktik,
anak yang mengalami kelainan / keacatan yang pelayanannya memerlukan metode
yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan secara optimal sesuai
dengan tingkat kecacatan dan kemampuannya.[7]
Dilihat
dari kondisinya, macam-macam anak berkebutuhan khusus adalah:
a. Tunanetra/anak yang
mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang
mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutuhan menyeluruh atau
sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus,
mereka masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tunanetra dapat
dikenali berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Tidak
mampu melihat
2)
Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
3)
Kerusakan nyata pada kedua bola mata
4)
Sering meraba-meraba/tersandung waktu berjalan
5)
Mengalami kesulitan mengambil benda kecil
didekatnya
6)
Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/ bersisik/
kering
7)
Peradangan hebat pada kedua bola
8)
Mata
bergoyang terus
b. Tunarungu/anak yang mengalami
gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak yang
kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang
mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus. Anak tunarungu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Secara nyata tidak
mampu mendengar
2) Terlambat perkembangan bahasa
3) Sering menggunakan
isyarat dalam berkomunikasi
4) Kurang/tidak tanggap
bila diajak bicara
5) Ucapan kata tidak jelas
6) Kualitas suara aneh/monoton
7) Sering memiringkan
kepala dalam usaha mendengar
8) Banyak perhatian terhadap getaran
9) Keluar cairan, nanah,
dari kedua telinga
c. Tunadaksa/kelainan anggota tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak yang mengalami
kelaianan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot)
sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika mereka
mengalami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak, mereka
disebut Cerebral Palsy (CP)
Pengertian Anak Tunadaksa bias dilihat dari segi fungsi fisiknya dan
segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai seseorang
yang fisik dan kesehatannya mengalami masalah sehingga menghasilkan kelaianan
di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan untuk meningkatkan
fungsinya diperlukan program dan layanan khusus. Pengertian yang didasarkan
pada anatomi biasanya digunakan dalam kedokteran.
Ciri- ciri anak tunadaksa dapat dilukiskan
sebagai berikut:
1) Anggota gerak tubuh
kaku / lemah / lumpuh
2) Kesulitan dalam
gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali)
3) Terdapat bagian
anggotra gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa
4) Terdapat cacat pada
alat gerak
5) Jari tangan kaku dan
tidak dapat menggenggam
6) Kesulitan pada saat
berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
7) Hiperaktif/tidak dapat tenang.
d. Tunagrahita / keterbelakangan kemampuan
intelektual
Tunagrahita adalah anak yang secara nyata
mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di
bawah rata-rata sedemikian rupa, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan
khusus.
Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi
intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata normal.
Bersama dengan itu pula, tunagrahita mengalami kekurangan dalam tingkah laku
dan penyesuaian diri. Semua itu terjadi
pada masa perkembangannya. Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita bila
memiliki tiga faktor, yaitu:
1) Keterhambatan fungsi
kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata
2) Ketidakmanpuan dalam
perilaku adaptif
3) Terjadi selama
perkembangan sampai usia 18 tahun
Untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang,
secara umum biasanya diukur melalui tes Inteligensi yang hasilnya disebut
dengan IQ (intelligence quotient), yang dapt dibagi menjadi:
1) Tunagrahita ringan
biasanya memiliki IQ 70-55
2) Tunagrahita sedang
biasanya memiliki IQ 55-40
3) Tunagrahita berat
biasanya memiliki IQ 40-25
4) Tunagrahita berat
sekali biasanya memiliki IQ < 25
Sedangkan para ahli Indonesia
menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
1)
Tunagrahita
ringan IQnya 50-70
2)
Tunagrahita
sedang IQnya 30-50
3)
Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang
dari 30
Ciri-ciri fisik dan penampilan anak
tunagrahita :
1) Penampilan fisik
tidak seimbang, misalnya kepala terkecil/besar,
2)
Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia
3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat
4) Tidak ada/kurang
sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
5) Koordinasi gerakan
kurang (gerakan sering tidak terkendali),
6) Sering keluar ludah
(cairan) dari mulut (ngiler).
e.
Lamban Belajar (slow learner):
Lamban belajar (slow learner)
adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi
belum termasuk tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 70-90). Dalam beberapa
hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan
adaptasi social, tetapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan yang normal,
mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesakan
tugas-tugas akdemik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Ciri-ciri
yang dapat diamati pada anak lamban belajar:
1) Rata-rata prestasi
belajarnya selalu rendah (kurang dari 6)
2) Dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-taman seusianya
3) Daya tangkap terhadap
pembelajaran lambat
4) Pernah tidak naik
kelas
f. Anak Berbakat (kemampuan dan kecerdasan luar
biasa)
Anak
berbakat atau anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah
anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreatifitas, dan
tanggungjawab terhadap tugas (taskcommitmant)
di atas anak-anak seusianya (anak normal,) sehingga untuk mewujudkan potensinya
menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berbakat
sering juga disebut sebagai gifted dan talented. Anak berbakat
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Membaca pada usia
lebih muda
2) Membaca lebih cepat
dan lebih banyak
3) Memiliki perbendaharaan
kata yang luas
4) Mempunyai rasa ingin
tahu yang kuat
5) Mempunyai minat yang
luas, juga terhadap masalah orang dewasa
6) Mempunyai inisiatif
dan dapat berkerja sendiri
7) Menunjukkan keaslian
(orisnalitas) dalam ungkapan verbal
8)
Memberi
jawaban-jawaban yang baik
9) Dapat memberikan
banyak gagasan
10) Luwes dalam berfikir
11) Terbuka terhadap
rangsangan-rangsangan dari lingkungan
12) Mempunyai pengamatan
yang tajam
13) Dapat berkonsentrasi
untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diamati
14) Berfikir kritis, juga
terhadap diri sendiri
15) Senang mencoba
hal-hal baru
16) Mempunyi daya
adstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi
17) Senang terhadap
kegiatan intelektul dan pemecahan-pemecahan masalah
18) Cepat menangkap
hubungan sebab akibat
19) Berperilaku terarah pada
tujuan
20) Mempunyai daya
imajinasi yang kuat
21) Mempunyai banyak
kegemaran (hobi)
22) Mempunyai daya ingat
yang kuat
23) Tidak cepat puas
dengan prestasinya
24) Peka (sensitif) serta
menggunakan firasat (intuisi)
25) Menginginkan kebebasan
dalan gerakan dan tindakan
Anak berbakat
sering juga disebut sebagai gifted atau talented, yang ditandai
dengan tingginya kemampuan intelektualnya.
g. Anak berkesulitan
belajar spesifik
Anak yang
berkesulitan belajar spesifik (Specific
learning disability) adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan
dalam tugas akademik khusus (terutam dalam hal kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung atau matematika). Penyebabnya diduga karena faktor disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor intelegensi (inteligensinya normal
bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar
membaca (disleksi), kesulitan belajar
menulis (disgrafia), atau kesulitan
belajar berhitung (diskalkulia),
sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti.
h.
Anak yang mengalami gangguan komunikasi
Anak yang
mangalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara,
artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, mengakibatkan terjadi
penyimpangan bentuk bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena
faktor ketunarunguan. Anak yang mengalami gangguan komunikasi memiliki
ciri-ciri:
1) Sulit menangkap isi
pembicaraan orang lain
2) Tidak lancar dalam
berbicara / mengemukakan ide
3) Sering menggunakan
isyarat dalam berkomunikasi
4) Kalau berbicara
sering gagap/gugup
5) Suaranya parau/aneh
6) Tidak fasih
mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel
7) Organ bicaranya tidak
normal/sumbing
i. Tunalaras (mengalami
gangguan emosi dan perilaku)
Tunalaras adalah anak yang
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat
pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya
memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun
lingkungannya.
Tuna laras (anak yang mengalami gangguan
emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri :
1) Cenderung membangkang
2) Mudah teransang
emosinya / emosional / mudah marah
3) Sering melakukan
tindakan aggresif, merusak, mengganggu
4) Sering bertindak
melanggar norma dan hukum
3. Pembelajaran di Sekolah
Inklusi
Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas
inklusif secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi
anak pada umumnya. Namun demikian, karena di kelas inklusif terdapat anak
berkelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan atau sensoris
neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas
inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus menerapkan
prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Prinsip khusus yang dimaksudkan sesuai
keberadaan anak berkebutuhan khusus itu diberikan arahannya, yaitu:[8]
a. Tunanetra
1) Prinsip kekonkritan
Anak tunanetra
belajar terutama melalui pendengaran dan
perabaan. Bagi mereka, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan
benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dimanipulasikan.
2) Prinsip pengalaman yang menyatu
Pengalaman
visual cenderung menyatukan informasi. Anak tunanetra tidak mengerti
hubungan-hubungan kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk
mengalami suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan-hubungannya.
3) Prinsip bekerja sambil melakukannya
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses
belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin
anak diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tujuan dan bahan yang
diajarkan.
b.
Tunarungu
1)
Prinsip keterarahan wajah
Prinsip ini
menuntut guru ketika memberikan penjelasan hendaknya menghadap ke anak (face
to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru.
2)
Prinsip keterarahan suara
Dalam
proses pembelajaran, ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal / ejaan
yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenal anak, dan
upayakan ketika berbicara menghadap ke lawan bicara.
3)
Prinsip keperagaan
Karena
pendengaran anak ini bermasalah, maka sebaiknya guru berbicara dengan disertai
peragaan, agar lebih mudah dipahami anak di samping meningkatkan perhatian
anak.
c. Anak
berbakat
1)
Prinsip percepatan belajar
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, guru hendaknya memanfaatkan waktu
luang anak berbakat dengan memberikan materi pelajaran selanjutnya, sehingga
pelajaran untuk 1 semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan, materi 1 tahun
selesai dalam 8 bulan, dan materi 6 tahun selesai dalam 4 tahun. Inilah yang
disebut dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
2)
Prinsip pengayaan
Hal ini
berarti guru memanfaatkan waktu yang tersisa bagi anak berbakat untuk
memberikan program pengembangan atas materi yang sedang dipelajari. Hal ini
karena, tidak semua anak senang dengan program akselerasi.
d. Anak
lamban belajar / slow learner atau tunagrahita
1)
Prinsip kasih sayang
Mengajar anak tunagrahita memerlukan kasih
sayang yang tulus dari guru. Guru hendaknya berbahasa yang lembut, berperangai
sabar, rela berkorban, memberi contoh perilaku yang baik, ramah dan supel,
sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat
untuk belajar.
2) Prinsip keperagaan
Kelemahan anak tunagrahita antara lain adalah
dalam berfikir abstrak. Oleh karena itu anak perlu dibawa ke lingkungan nyata,
baik lingkungan fisik, sosial maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan
guru dapat membawa berbagai alat peraga.
3) Prinsip habilitasi dan
rehabilitasi
Habilitasi
adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih
memiliki kemampuan untuk dikembangkan meski kemampuan tersebut terbatas.
Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara,
sedikit demi sedikit mengembalikan kemapuan yang hilang atua belum berfungsi
optimal.
e. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan untuk
pembelajaran anak tunadaksa tidak lepas dari tiga macam pelayanan, yaitu 1)
pelayanan medik, 2) pelayanan pendidikan, dan 3) pelayanan sosial yang pada
dasarnya juga tidak lepas dari prinsip habilitasi dan rehabilitasi.
f.
Tunalaras
1)
Prinsip kebutuhan dan keaktifan
Anak
tunalaras selalu ingin memenuhi keinginannya tanpa mempedulikan kepentingan
orang lain. Karenanya guru harus memberikan keaktifan pada siswa supaya
kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan,
agama, peraturan perundang-undanagn yang berlaku sehingga ia tidak merugikan
orang lain.
2)
Prinsip kebebasan yang terarah
Guru harus
berhati-hati melarangnya, tapi menyalurkan segala perilakunya ke arah yang
positif, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
3)
Prinsip penggunaan waktu luang
Karena anak
tunalaras biasanya tidak bisa diam, guru harus membimbing anak ini untuk
melakukan kegiatan yang bermanfaat di waktu luangnya.
4)
Prinsip kekeluargaan dan kepatuhan
Guru harus
dapat menyelami jiwa anak, dimana letak ketidak-selarasan kehidupan emosinya,
dan mengembalikannya pada kehidupan yang tenang, selaras, sehingga rasa
kekeluargaannya pulih kembali.
5)
Prinsip setia kawan, idola serta perlindungan
Karena
tidak nyaman di rumah anak tunalaras biasanya merasa nyaman dalam sutu
kelompok, dengan ketua yang diidolakannya. Guru hendaknya perlahan-lahan
menggantikan sosok ketua itu, sehingga setia kawannya berganti pada teman
sekelasnya.
6)
Prinsip minat dan kemampuan
Guru harus
memperhatikan minat dan kemampuan anak terhadap pelajaran. Dengan tugas yang
sesuai mereka akan merasa senang dan lama-kelamaan mereka terbiasa belajar.
7)
Emosional, sosial dan perilaku
Guru
berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya
menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik, sesuai norma yang
berlaku.
8)
Prinsip disiplin
Sikap
ketidaktaatan dan lepas aturan merupakan sikap mereka sehai-hari. Guru perlu
membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu memberikan keteladanan dan
pembinaan dengan sabar.
9)
Prinsip kasih sayang
Anak
tunalaras haus akan kasih sayang. Saat tidak mendapatkannya ia akan menjadi
agresif, hiperaktif atau sebaliknya rendah diri, pendiam dan menyendiri.
Murid berkebutuhan khusus
memerlukan layanan atau bantuan khusus pula agar mereka dapat berhasil belajar di sekolah
inklusi. Cara membantu mereka tentunya sesuai dengan kondisi kebutuhan
masing-masing. Ganda Sumekar mengemukakan pula cara membantu mereka, yaitunya:
a.
Cara membantu siswa dengan gangguan penglihatan
agar berhasil di kelas inklusif
Konsep memudahkan siswa dengan sisa
kemampuan penglihatannya, yaitu dengan:
1)
Pengaturan cahaya, dapat dilakukan dengan
pemilihan kertas, papan tulis, dan tempat duduk mereka
2)
Menggunakan buku cetak besar
3)
Menggunakan buku bersuara
4)
Menggunakan alat bantu hitung
5)
Menggunakan alat pembesar
6) Penggunaan komputer
Bagi siswa yang benar-benar tidak dapat melihat, tentunya menggunakan huruf
Braile.[9]
J.
Davit Smith mengemukakan
tips untuk guru dalam menangani siswa yang mengalami gangguan penglihatan
yaitu:
1)
Ajak anak keliling kelas, pastikan ia mengenal
susunan peralatan di kelas
2)
Kenali jenis alat bantu yang dipakai, seperti alat
pembesar, tape recorder, radio atau mesin ketik, cara melakukan dan merawatnya
3)
Kenalkan siswa lain pada sifat ketidakmampuan
siswa itu
4)
Dorong anak semandiri mungkin
5)
Jangan terlalu melindungi (overprotektif)
6)
Pakai sistem teman baik dalam aktivitas yang
diperlukan
7)
Jangan memuji terlalu berlebihan
8)
Jangan segan minta pertolongan dari para
professional lain[10]
b. Membantu siswa dengan gangguan pendengaran agar berhasil di kelas
inklusif
Menghadapi anak ini, perlakuan guru
hendaknya:
1)
Berusaha memberikan tempat duduk di ruangan depan,
jauh dari getaran mesin pemanas dan AC, dan berisik lainnya.
2)
Berikan kesempatan berbicara sama dengan anak
normal
3)
Mengulang-ulang pembicaraan jika terlihat anak tidak
mengerti
4)
Tekankan ucapan yang jelas bagi semua anak
5)
Menyadari bahwa anak ini mengalami kelelahan lebih
awal dibandinga anak normal
6)
Melihat ekspresi wajahnya untuk memastikan adanya
kontak sebelum berbicara dengannya
7)
Pertimbangkan penggunaan sistem kawan yang
membantu proses mendengarkan.[11]
Selain itu perlu menerapkan
komunikasi total, memberikan model-model nyata, penekanan pada dwi bahasa,
adakan kelas bahasa isyarat dengan pertemuan 1 x seminggu dengan orangtua, dan
kalau perlu mendatangkan guru dengan kemampuan dwibahasa. J. David Smith juga memberikan petunjuk sebagai berikut:
1)
Jangan bergerak ke sekitar ruangan ketika sedang
berbicara di kelas
2)
Usahakan berdiri dimana cahaya yang cukup berada
pada wajah anda
3)
Pastikan tidak ada cahaya yang masuk misalnya dari
jendela
4)
Usahakan tangan anda jauh dari wajah ketika sedang
berbicara
5)
Pastikan menghadap kelas ketika sedang menerangkan
materi di papan tulis
6)
Kumis tebal menyebabkan ucapan kurang jelas
7)
Jangan terlalu berlebihan menggunakan mulut[12]
c. Membantu siswa dengan IQ di bawah rata-rata agar berhasil di kelas
inklusif
Guru efektif bagi anak dengan
kondisi ini seperti ditulis Wong, Kauffman, dan Lloyd, dari Ganda
Sumekar memiliki ciri-ciri:
1)
Punya harapan bahwa siswanya akan berhasil
2)
Pengawasan yang sering dan umpan balik bagi
tugas-tugasnya
3)
Memperhatikan penjelasan standar-standar,
arah-arah dan harapan-harapan pembelajaran
4)
Fleksibel dalam menangani siswa-siswa
5)
Mempunya komitmen dalam memperlakukan siswa secara
terbuka
6)
Bersikap responsif terhadap pertanyaan dan
komentar siswa
7)
Melakukan pendekatan yang tersusun dengan baik
dalam pembelajaran
8)
Bersikap hangat, sabar, dan humoris terhadap siswa
9)
Teguh dan konsisten dalam pengharapan-pengharapan
10)
Bersikap positif terhadap perbedaan dan kelainan
anak
11)
Mau bekerjasma dengan guru pendidiikan khusus dan
bersikap responsif dalam membantu orang lain
12)
Mempunya rasa percaya diri dan kompetensi sebagai
seorang guru
13)
Punya rasa keterlibatan porofesional yang tinggi serta pemuasan
profesioal.[13]
Adapun manajemen kelasnya:
1)
Guru dan siswa menggunakan waktu seefisien mungkin
2)
Siswa tidak menunggu untuk meminta bantuan
3)
Siswa hanya menggunakan sedikit waktu dalam
melakukan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya
4)
Tidak banyak waktu yang diperlukan untuk
menegakkan disiplin
5)
Guru jarang melakukan hukuman
6)
Penanganan-penanganan khusus lainnya tidak
diperlukan dalam mengatur sikap
7)
Umpan balik yang positif selama pembelajaran
8)
Pengembangan pembelajaran yang tepat sesuai tingkat kemampuan anak
9)
Menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif
sehingga siswa percaya pada guru dan mau meminta bantuan dan percaya diri.[14]
d. Membantu siswa dengan gangguan
fisik dan motorik agar berhasil di kelas inklusif
Penekanan
dalam pengajaran bagi siswa ini harus pada kemandirian yang optimal dan
memperhatikan perbedaan antar pribadi. Pengelompokkan yang fleksibel adalah
suatu teknik yang memberikan siswa dengan dan tanpa kelainan bekerjasama ke
arah pencapaian tujuan-tujuan tertentu.[15]
1)
Berikan fasilitas yang dibutuhkan anak seperti
ramp atau jalan yang landai untuk kursi roda, tangga berjalan, gang yang cukup
luas dan sebagainya
2)
Sediakan alat bantu yang dapat membantu melatih
organ tubuh yang kaku, seperti alat penyannga tubuh.
3)
Memberikan alat bantu komunikasi, misalnya bagi
anak yang tidak dapat menulis dengan tanggannya
4)
Berikan alat bantu belajar, seperti alat khusus di
saat berada di labor
5)
Berikan keterampilan untuk menolong diri sendiri
dengan banyak memberikan pendidikan kemandirian.[16]
e. Membantu siswa dengan
gangguan perilaku agar berhasil di kelas
inklusif
Sabatino sebagaimana dikutip
oleh J. David Smith, mengemukakan cara membantu mereka adalah:
1) Mengatasi masalah
emosi dan perilaku yaitu dengan mencegah terjadinya masalah. Dalam hal ini guru hendaknya mencegah
munculnyua sikap negatif siswa dengan cara:
(a) Buatlah
harapan-harapan akademis dan perilaku siswa yang anda inginkan sejelas mungkin
bagi mereka
(b) Tunjukkan pada siswa
bahwa anda jujur dalam berhubungan dengan mereka
(c) Berikan pengakuan dan
perhatian atas sikap positifnya
(d) Buatlah contoh sikap,
kebiasaan kerja, dan hubungan yang positif
(e) Persiapkan pola
pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun dengan baik
(f) Buatlah suasana kelas
yang dapat diterima baiik secara fiisik maupun sosial
2) Berikan keterampilan
manajemen diri dengan teknik:
(a) Pemantauan diri
dengan membuat catatan tindakan negatif, dan mencatan target perilaku positif
(b) Intervensi diri,
yaitu memberikan penghargaan diri mereka sendiri atas perubahan sikap ke arah
positif
(c) Pengarahan diri
sebagai suatu analisis terhadap masalah dan mengembangkan solusinya
3) Penerapan analisis
perilaku
4) Latihan keterampilan
sosial
5) Partisipasi Keluarga
6) Latihan perilaku
kognisi
7) Kolaborasi teman
sebaya
8) Sikap guru yang
fleksibel dan humoris [17]
f. Membantu siswa dengan kesulitan belajar
agar berhasil di kelas inklusif
1)
Untuk anak dengan masalah perhatian/ konsentrasi
(a) Ubahlah cara mengajar
dan jumlah materi yang diajarkan, perlambat laju presentasi materi, libatkan
siswa dalam komunikasi dan gunakan media visual
(b) Adakan pertemuan
dengan siswa untuk memberikan arahan tanpa hukuman dan ancaman
(c) Bimbing siswa lebih
dekat ke proses pembelajaran
(d) Berikan dorongan
secara langsung dan berulang –ulang
(e) Utamakan ketekunan
perhatian dari pada kecepatan menyelesaikan tugas
(f)
Ajarkan self
monitoring of attention
2)
Untuk anak dengan masalah daya ingat (memori)
(a) Ajarkan menggunakan
highlighting (penggarisbawahan) untuk membantu memancing ingatan
(b) Ajarkan siswa
bermasalah dengan daya ingat agar berlatih mengulang dan mengingat
3)
Untuk anak dengan masalah kognisi
(a) Berikan materi yang
dipelajari dalam konteks highmeaning
(b) Menunda ujian akhir
dan penilaian
(c) Tetapkan siswa dalam
konteks pembelajaran yang tidak pernah gagal
4) Untuk anak dengan
masalah sosial dan emosional
(a) Buatlah sistem
penghargaan kelas yang dapat diterima dan diakses
(b) Membentuk kesadaran
tentang diri sendiri dan orang lain
(c) Mengajarkan sikap
positif
(d) Meminta bantuan pada
teman sejawat di sekolah[18]
Bentuk bantuan lain dari model
yang dicontohkan oleh The Corvallis Montana Project adalah
dengan layanan konsultatif, pembelajaran tim, sesi tutorial, pembelajaran
lintas kurikulum, pembelajaran kooperatif, tutor sebaya, alat Bantu khusus dan
pembelajaran dengan bantuan computer[19]
g.
Membantu siswa dengan Potensi kecerdasan dan bakat istimewa
Layanan pembelajaran yang dapat diberikan
seperti prodram pengayaan dan percepatan. Bantuan itu juga dapat dioptimalkan
melalui:
1) Kelas paruh waktu
2) Belajar mandiri
3) Ruangan sumber
4) Guru bantu atau gur
pembimbing khusus kelas[20]
Bagi guru yang ingin membantu memenuhi kebutuhan siswa tersebut, maka
guru itu haruslah:
1) Terima setiap siswa
sebagai seseorang yang memiliki kemampuan berbeda
2) Menciptakan
pembelajaran berbasis siswa
3) Merancang model-model
pengajaran yang menghargai sumbangan khas dari setiap siswa
4) Ingatlah, ”siswa
berbakat bukan yang lebih baik, mereka hanya berbeda dalam kemampuan, kebutuhan
dan minat.
5) Perbedaan dalam
kurikulum kelas[21]
h.
Membantu siswa autis agar berhasil di kelas inklusif
1) Identifikasi anak
autis semenjak awal masuk kelas reguler
2) Mengembangkan
kurikulum yang sesuai
3) Mencukupi ketenagaan,
meliputi tenaga kependidikan dan non kependidikan
4) Mencukupkan sarana
dan prasarana
5) Menciptakan
lingkungan yang dapat memahami keadaan mereka
6) Dalam kegiatan
belajar mengajar, haruslah:
(a) Adanya kompenan guru
pembimbing
(b) Prinsip pendidikan
dan pengajaran terstruktur, terpola, terprogram, kontiniu, dan konsisten
(c) Memperhatikan
hambatan dalam proses belajar mengajar dan solusinya.
(1) Masalah perilaku stimulasi diri, maka lakukan:
Memberikan reinforcement, tidak
memberikan waktu luang untuk anak asyik dengan dirinya sendiri, siapkan
kegiatan yang menarik dan positif, menciptakan situasi yang kondusif bagi anak,
tidak menyakiti diri,
(2) Masalah emosi yang tidak stabil,
misalnya menangis, berteriak, tertawa tanpa sebab, memberontak, mengamuk dan
sebagainya, cara mengatasinya adalah berusaha menemukan penyebabnya, berusaha
menenangkan anak dengan sikap tetap tenang, setelah kondisinya membaik,
kegiatan dapat dilanjutnan.
(3) Masalah perhatian/ konsentrasi, agar
perhatian anak bertahan dalam waktu yang lama, maka perlu diupayakan adalah
meningkatkan waktu belajar secara bertahap, membuat kegiatan yang menarik dan
bervariasi, mengurangi kejenuhan anak dengan beristirahat sambil menyanyi,
bermain atau bercanda
(4) Masalah kesehatan, artinya kegiatan
belajar mengajar harus terjadi saat kesehatan anak dalam kondisi baik
(5) Membentuk perkumpulan orang tua untuk
memberikan informasi mengenai kondisi dan kebutuhan anaknya
(6) Masalah sarana belajar,
yaitu melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk kepentingan terapi anak.[22]
Dari
semua pendapat yang disarankan ahli pendidikan khusus ini, penulis akhirnya menyimpulkan bahwa secara umum,
sekolah inklusi yang melayani pendidikan inklusif harus memperhatikan sekali
perbedaan kondisi muridnya dalam satu kelas. Program pembelajaran yang disusun
harus mampu membantu mereka tetap terlibat aktif, sesuai kemungkinan
masing-masingnya. Dalam menangani kesulitan belajar bagi anak berkebutuhan
khusus atau anak inklusi ini, guru yang mengajar mesti menjamin bahwa setiap
langkah yang dilakukan harus bermakna bagi mereka. Jika tidak, mereka akan tertinggal disebabkan
memang kondisi mereka tidak sama dengan anak normal di kelasnya.
[1] John
W. Santrock, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: Prenada Nedia Group,
2007), h. 259
[2] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusi-Kegiatan Belajar Mengajar, (Jakarta,
t.p, 2004), h. 3
[3] Depdiknas, Panduan Kegiatan Belajar
Mengajar di Sekolah Inklusif, h. iii
[4] David Skidmore, Inclusion, The Dynamic of school Development, (Newyork:
Open University Press, 2004), h. 22
[6] Ganda Sumekar, Anak Berkebutuhan
Khusus, Cara Membantu Mereka agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusif, (Padang:
UNP Press), 2009, h. 3
[8] Depdiknas, Kegiatan Belajar Mengajar
di Sekolah Inklusif, Jakarta, 2005, disarikan dari h. 10-29
[10] J. David Smith, Inklusi Sekolah Ramah
untuk Semua, (Bandung: Nuansa, 2009), h. 252
[12] J. David Smith, op. cit.,
h. 292
[14] Ibid., h. 166
[15] J. David Smith, op. cit.,
h. 289
[16] Ganda Sumekar, op. cit., h.
201-206
[17] J. David Smith, op. cit., h.156-157
[19] Ibid., h. 251
[21] J. David Smith, op. cit, h.
318
[22] Ganda Sumekar, op. cit., h.
293-298
Tidak ada komentar:
Posting Komentar