A. Pengelolaan Pembelajaran
Istilah
pengelolaan merupakan terjemahan dari kata management, berasal dari kata
”to manage” yang berarti mengatur, melaksanakan, mengelola,
mengendalikan, dan memperlakukan. Namun kata management sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi kata manajemen yang berarti sama dengan istilah pengelolaan, yakni sebagai suatu proses
mengkoordinasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan agar dapat diselesaikan
secara efisien dan efektif.
John M.
Echols dan Hassan Sadily menguraikan, kata pengelolaan berasal dari kata kelola
beribuhan peng-an, yang
berarti ; ” 1 manage (a business, etc.). 2 Carry out, execute (a job,
etc.). –an management. Peng- manager, organizer. Peng-an
management.”[1].
Pembelajaran adalah sesuatu yang
dilakukan oleh siswa, bukan dibuat oleh siswa. Pembelajaran pada
hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara siswa dengan lingkungannnya baik antar siswa dengan siswa, siswa dengan sumber
belajar, maupun siswa dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna
bagi siswa
jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi mereka. Disamping itu, pembelajaran pada dasarnya
merupakan upaya pendidik untuk membantu mengarahkan siswa ke dalam proses belajar sehingga mereka dapat
memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa yang diharapkan. Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena
merekalah yang akan belajar.
“Anak didik
merupakan individu yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-masing
yang tidak sama dengan orang lain. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya memperhatikan
perbedaan-perbedaan individual anak
tersebut, sehingga pembelajaran benar-benar dapat mengubah kondisi anak dari yang tidak tahu menjadi
tahu, dari yang tidak paham menjadi paham serta dari yang berperilaku kurang
baik menjadi baik.
Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan
individual anak dan didasarkan pada
keinginan guru, akan sulit untuk dapat mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi
seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada pembelajaran konvensional.
Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini adalah terjadinya
kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas dan anak yang kurang cerdas
dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak
diperolehnya ketuntasan dalam belajar, sehingga sistem belajar tuntas
terabaikan. Hal ini membuktikan terjadinya kegagalan dalam proses pembelajaran
di sekolah"[2].
Lalu
bagaimana maksudnya jika rumusan-rumusan di atas digandengkan dengan kaidah pengelolaan?.
Dengan mengambil istilah pengelolaan yang dikemukakan di atas, maka secara
keseluruhan istilah pengelolaan pembelajaran dapat diartikan; sebagai suatu proses
mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran yang dapat mempengaruhi perubahan prilaku peserta didik, sehingga dapat
terfasilitasi secara baik. Ivor K. Davies mengemukakan bahwa;
Pada dasarnya ada dua macam
kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap guru atau pelatih; mereka mengelola
sumber belajar dan melaksanakan dirinya sebagai sumber belajar. Apabila seorang
guru atau instruktur dengan sengaja menciptakan suatu lingkungan belajar di
dalam kelasnya dengan maksud mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka ia bertindak sebagai ”guru manager”. Apabila guru atau
instruktur yang sama secara pisik mengajar di kelas tersebut, maka menjadi
salah satu dari sumber belajar yang dikelolanya, dengan demikian ia berperan sebagai guru ”Pelaksana
(teacher-operator) ”[3]
Terciptanya kegiatan pengelolaan
sebagai salah satu komponen faktor belajar yang dapat mendukung efektifitas
dan efisiensi pembelajaran tidak terlepas dari peran guru sebagai pengelola pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Guru sebagai unsur yang terlibat
langsung dalam proses pembelajaran harus mengetahui secara benar dan efektif
tugas yang harus dikuasainya dalam mengelola lingkungan belajar yang tersedia
di sekolah.
Memperhatikan
tugas dan tanggungjawab guru yang sangat komplek, maka seorang guru dituntut
untuk mampu melaksanakan empat fungsi umum guru sebagai manajer, yaitu :
1. Merencanakan;
pekerjaan seorang guru untuk menyusun tujuan belajar
2. Mengorganisasikan;
pekerjaan seorang guru untuk mengatur dan menghubungkan sumber-sumber belajar,
sehingga dapat mewujudkan tujuan belajar dengan cara yang paling efektif,
efisien dan ekonimis.
3. Memimpin; pekerjaan
seorang guru untuk memotivasi, mendorong dan menstimulusikan murid-muridnya,
sehingga mereka akan siap untuk mewujudkan tujuan belajar.
4. Mengawasi; pekerjaan
seorang guru untuk menentukan apakah fungsinya dalam mengorganisasikan dan
memimpin di atas telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang dirumuskan. Jika
tujuan belum dapat diwujudkan, maka guru harus menilai dan mengatur kembali
situasinya-bukan mengubah tujuannya.[4]
Secara
pisik, keempat fungsi tersebut di atas merupakan kegiatan yang terpisah satu
sama lain, namun keempatnya harus dipandang sebagai suatu siklus kegiatan yang
saling berhubungan sama lain, seperti
pada gambar berikut:
Gambar
2.2. : Empat Fungsi Guru Sebagai Manajer
![]() |
Sumber : Ivor K.
Davies : 1987
Tindakan pengelolaan pembelajaran adalah tindakan yang dilakukan oleh guru dalam rangka penyediaan kondisi
yang optimal agar proses pembelajaran berlangsung efektif. Tindakan guru
tersebut dapat berupa tindakan pencegahan dan tindakan korektif. Tindakan
pencegahan dapat dilakukan dengan jalan menyediakan kondisi, baik pisik maupun
kondisi sosio-emosional sehingga terasa benar oleh peserta didik rasa
kenyamanan dan keamanan untuk belajar. Tindakan korektif adalah koreksi
terhadap tingkah laku peserta didik yang menyimpang dan merusak kondisi optimal
bagi proses belajar mengajar yang sedang berlangsung.
Ahmad
Rohani menjelaskan; Tindakan korektif dapat dibagi dua, yaitu tindakan yang
seharusnya segera diambil guru pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan)
dan tindakan penyembuhan terhadap tingkah laku yang menyimpang yang terlanjur terjadi agar penyimpangan
tersebut tidak berlarut-larut. Dimensi pencegahan dapat merupakan tindakan guru
dalam mengatur lingkungan belajar, mengatur peralatan, dan lingkungan
sosio-emosional.[5]
Beberapa
komponen yang sangat penting dikelola
oleh seorang guru berkaitan dengan pengelolaan pembelajaran adalah :
1. Kondisi dan
Situasi Belajar
a. Kondisi Pisik
1) Ruang Tempat
Berlangsung Proses Pembelajaran
Ruangan tempat
berlangsungnya pembelajaran harus memungkinkan semua bergerak leluasa dan tidak saling mengganggu antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya
pada saat melakukan aktifitas pembelajaran. Ruang kelas perlu ditata dengan baik dan dilengkapi dengan hiasan yang
bernilai pendidikan, seperti kata-kata mutia, gambar tokoh sejarah, dan lain-lain.
2) Penataan Kelas dan
Tempat Duduk
Penataan
kelas sangat dipengaruhi oleh falsafah dan metode pembelajaran yang dipakai di
kelas. Penataan ruang yang klasikal dengan semua bangku menghadap ke satu arah
(guru dan papan tulis) sangat sesuai dengan metode ceramah. Dalam metode ini,
guru berperan sebagai narasumber yang utama, atau mungkin juga satu-satunya.
Metode ceramah dan penataan ruang kelas klasikal bukan satu-satunya model yang
bisa dipakai di kelas. Keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus
disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Anita Lie[6]
mengemukakan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menata kelas,
yaitu :
a. Ukuran ruang kelas
b. Jumlah siswa
c. Tingkat kedewasaan
siswa
d. Toleransi guru dan
kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa
e. Toleransi
masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain.
f. Pengalaman guru dalam
melaksanakan metode pembelajaran
Penataan ruang kelas perlu memperhatikan prinsi-prinsip tertentu. Bangku
perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa dapat melihat guru ataupun
papan tulis dengan jelas, juga dapat melihat teman-teman sekelompoknya dengan
baik. Ada beberapa model penataan bangku yang bisa diterapkan dalam pengelolaan
kelas, yaitu :
·
Berbaris berjajar (bersaf atau berbanjar)
·
Pengelompokan yang terdiri atas 8 – 10 orang siswa
·
Setengah lingkaran
·
Berbentuk lingkaran
3) Ventilasi dan
Pengaturan Cahaya
Ventilasi
ruang kelas harus cukup menjamin kesehatan peserta didik. Jendela harus cukup
besar sehingga memungkin panas cahaya matahari masuk, dan udara sehat dapat
masuk ke ruang kelas sehingga semua peserta didik dalam kelas dapat menghirup
udara segar yang cukup mengandung O2 (oksigen).
4) Pengaturan
Penyimpanan Barang
Barang-barang
yang menjadi inventaris kelas hendaknya disimpan pada tempat yang khusus mudah
dicapai jika segera diperlukan. Barang-barang yang nilai praktisnya tinggi
dapat disimpan di ruang kelas, seperti buku pelajaran, pedoman kurikulum, buku
pribadi peserta didik, buku absen/ batas pelajaran, dan lain-lain.
Pemeliharaan barang tersebut
sangat penting dilakukan oleh seorang guru, dan secara periodik harus dicek dan
recek, termasuk mewaspadai keamanannya.
b. Kondisi
Sosio-emosional
1) Tipe Kepemimpinan
Tipe
kepemimpinan guru akan mewarnai suasana emosional di dalam kelas. Tipe
kepemimpinan guru yang lebih mengacu pada otoriter akan menghasilkan sikap
peserta didik yang apatis dan agresif. Kedua sikap ini dapat menjadi sumber
problem pengelolaan kelas. Dengan tipe yang otoriter peserta didik hanya akan
aktif kalau ada guru yang mengawasi, tapi kalau guru tidak ada mengawasi semua
aktifitas menurun bahkan tidak ada aktifitas yang bermanfaat.
Sebaliknya,
tipe kepemimpin yang demokratis lebih memungkinkan terbinanya sikap
persahabatan guru dan peserta didik dengan dasar saling memahami dan saling
mempercayai. Sikap ini dapat membantu menciptakan iklim yang menguntungkan bagi
terciptanya kondisi pembelajaran yang optimal, peserta didik akan belajar
produktif, baik ketika diawasi maupun tidak diawasi oleh guru.
2) Sikap dan Suara Guru
Guru secara
utuh adalah teladan bagi peserta didik. Sikap, perilaku, penampilan, aktifitas,
bahkan termasuk suara guru menjadi perhatian bagi peserta didik. Untuk itu seorang guru perlu memiliki kepribadian yang
luhur, menguasai strategi mengajar sebagai kompetensinya. Sehubungan dengan
itu, Syaiful Bahri Jamarah mengungkapkan bahwa:
”Seorang guru seharusnya
memiliki pemahaman-pemahaman yang dalam tentang pengajaran. Mengajar bukanlah
kegiatan yang mudah melainkan suatu kegiatan dan tugas yang berat dan penuh
dengan permasalahan. Kemampuan dan kecakapan sangat dituntut bagi seorang guru.
Karena itu seorang guru harus memiliki kecakapan dan keahlian tentang keguruan.
Kemampuan dan kecakapan merupakan modal dasar bagi seorang guru dalam melakukan
kegiatan atau tugasnya”.[7]
c. Kondisi
Organisasional
1) Penggantian Pelajaran
Untuk
beberapa pelajaran mungkin ada baiknya peserta didik tetap berada di dalam ruang
kelas. Akan tetapi untuk pelajaran-pelajaran tertentu peserta didik diharuskan
pindah ruangan, seperti ke ruangan labor, perpustakaan, kesenian, lapangan olah
raga dan sebagainya.
Hal ini
rutin dilakukan oleh setiap sekolah, untuk itu perlu diatur secara tertib,
misalnya ada waktu senggang waktu bagi peserta didik berpindah ruangan.
Perpindahan peserta didik dari suatu ruangan ke ruangan lain itu dipimpin oleh
ketua kelas, sehingga kelihatan teratur dan terlaksana dengan tertib dan
efisien.
2) Masalah Peserta Didik
Jika
terjadi suatu permasalahan antar peserta didik yang tidak dapat diselesaikan
antar mereka, ketua dapat melaporkan kepada guru yang mengajar pada jam
pelajaran tersebut untuk bersama-sama memecahkan dan mengatasi masalah
tersebut. Apabila tidak dapat diselesaikan oleh guru yang bersangkutan dapat
dilanjutkan kepada guru piket, wali kelas ataupun guru bimbingan konseling.
Prosedur seperti ini juga harus dilakukan oleh peserta didik untuk menyampaikan
usul, ide-ide tentang kegiatan kelas yang akan dilaksanakan.
3) Pengelompokan Peserta
Didik
Sistem
pengelompokan siswa dalam pengelolaan pembelajaran ada dua macam, yaitu
pengelompokan secara homogen dan pengelompokan hetrogen, namun yang sering
dilakukan oleh para guru ataupun pimpinan sekolah adalah pengelompokan secara
homogen berdasarkan prestasi belajar mereka. Kelompok belajar seperti ini
dikenal dengan istilah ability grouping dan telah banyak disoroti oleh
para pakar dan peneliti dewasa ini.
Ability
grouping adalah praktek
memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang
sama. Praktek ini bisa dilakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas
atau pembagian kelas di dalam satu sekolah. Jadi, di dalam satu kelas ada
kelompok siswa pandai dan kelompok siswa lemah. Atau ada kelas-kelas unggulan
dan ada pula kelas-kelas yang tidak unggulan di dalam satu sekolah.
Praktek-praktek ini malah sering menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa
sekolah unggulan di Indonesia ataupun di luar negeri yang ingin menonjolkan kelas
khusus mereka yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat.
Pengelompokan
homogen berdasarkan prestasi belajar sangat disukai karena tampaknya memang
bermanfaat. Diantara manfaat pengelompokan secara homogen tersebut adalah :
a) Pengelompokan cara
ini sangat praktis dan mudah dilakukan secara administratif.
b) Pengelompokan homogen
dapat memudahkan guru dalam mengajar.
Di samping
adanya nilai positif dan manfaat dari pengelompokan secara homogen, ternyata
juga banyak mempunyai dampak negatif, seperti diungkapkan oleh para ahli
berikut :
a. Anita Lie ;
”Praktik ini jelas bertentangan dengan
misi pendidikan. Pengelompokan berdasarkan kemampuan sama dengan memberikan cap
atau label pada tiap-tiap peserta didik. Label ini bisa menjadi vonis yang
diberikan terlalu dini, terutama bagi peserta didik yang dimasukkan dalam
kelompok yang kurang mampu. Label ini juga bisa menjadi self-fulfilling
propecy (ramalan yang menjadi kenyataan). Karena dimasukkan dalam kelompok
yang lemah, seorang siswa bisa merasa tidak mampu, patah semangat, dan tidak
mau berusaha lagi”[8].
b. Pakar pendidikan John
Dewey dalam anita lie mengatakan bahwa; sekolah seharusnya menjadi miniatur
masyarakat. Oleh karena itu, sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin perlu
mencerminkan keanekaragaman dalam masyarakat. Berbagai macam manusia dengan
tingkatan kemampuan dan keterbatasan yang berbeda-beda saling berinteraksi,
bersaing, dan bekerja sama.[9]
c. Sedangkan Scott
Gordon mngatakan :
”Pada dasarnya manusia senang berkumpul
dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokan
dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini bisa menghilangkan kesempatan
anggota kelompok untuk memperluas wawasan dan memperkaya diri, karena dalam
kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses
berpikir, bernegoisasi, beragumentasi, dan berkembang.”[10]
Secara
umum, kelompok secara heterogen disukai oleh para guru yang telah memakai
metode pembelajaran Cooperative Learning karena beberapa alasan :
a) Kelompok heterogen
memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung. Kelompok heterogen meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama,
etnik dan gender.
b) Kelompok heterogen
memudahkan pengelolaan kelas, karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan
akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang
Salah satu
kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan heterogen adalah
keberatan dari pihak peserta didik yang berkemampuan akademis tinggi. Peserta
didik dari kelompok ini bisa merasa ”rugi” dan dimanfaatkan tanpa bisa
mengambil manfaat apa-apa dalam kegiatan belajar Cooperative Learning
karena rekan-rekan mereka dalam kelompok tidak lebih pandai dari mereka. Tidak
jarang, protes ini juga disampaikan kepada guru baik secara langsung atau
secara tidak langsung. Kepada peserta didik semacam ini, perlu dijelaskan bahwa
sebenarnya peserta didik dengan kemampuan akademis tinggi pun akan menarik
manfaat secara kognitif ataupun afektif dalam kegiatan belajar Cooperatif
Learning bersama siswa-siswa lain dengan kemampuan yang kurang. Secara
afektif, peserta didik berkemampuan akademis tinggi juga perlu melatih diri
untuk bisa bekerja sama dan berbagi dengan mereka yang kurang. Kemampuan
bekerja sama ini akan sangat bermanfaat nantinya dalam dunia kerja dan
kehidupan bermasyarakat.
4) Kegiatan Lainnya
Kelas
merupakan salah satu bagian dari sekolah yang berfungsi sebagai pusat aktifitas
siswa. Untuk itu, guru juga perlu mengkondisikan organisasi kelas dengan baik,
agar seluruh kegiatan yang direncanakan dapat terlaksana dengan baik. Misalnya
pembentukan organisasi kelas, pelaksana piket harian, upacara mingguan, dan panitia-panitia kegiatan lainnya harus
ditata dengan rapi dan terencana dengan mengutamakan prinsip demokrasi.
2. Disiplin dan Tata
Tertib
a. Pengertian Disiplin
Dalam arti
luas, disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang ditujukan untuk membantu
peserta didik agar dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungannya. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, disiplin diartikan sebagai
” latihan batin dan watak supaya mentaati tata tertib; kepatuhan pada aturan”[11].
Disiplin, pada dasamya tidak
terbatas pada komitmen (keberpihakan) seseorang untuk menepati waktu, namun
juga terhadap norma, etika, peraturan, dan ketentuan-ketentuan lain yang
mengikat seseorang dalam suatu sistem. Kepatuhan, hormat, toleransi dan
pengertian terhadap etika merupakan salah satu unsur disiplin. Misalnya
kebiasaan membuang sampah di tempat-tempat yang bertuliskan himbauan untuk
tidak membuang sampah, merupakan bentuk ketidak disiplinan seseorang. Demikian
juga menyeberang jalan bukan pada tempatnya.
Mengingat
bahwa disiplin erat hubungannya dengan sikap mental dan moral untuk mentaati
aturan, tata tertib, etika dan norma, maka disiplin pertu dimiliki dan bahkan
dipelihara oleh setiap anggota organisasi. Dapat dikatakan bahwa disiplin
merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian tujuan organisasi.
Begitu pentingnya
masalah disiplin, maka perlu dilakukan pengukuran dengan indikator-indikator
sebagai berikut:
·
Ketepatan waktu datang dan pulang belajar
·
Ijin keluar kelas pada waktu proses pembelajaran
berlangsung
·
Kerapian berpakaian
·
Tingkat kehati-hatian mempergunakan peralatan kelas
·
Hasil yang diperoleh baik dalam jumlah, kualitas,
dan tingkat kepuasan
·
Ketaatan mengikuti prosedur dan tata cara yang
ditentukan
·
Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan
Disiplin
memerlukan kemauan latihan dan kesungguhan. Oleh karenanya disiplin dapat
ditumbuhkembangkan dengan cara kebiasaan menepati norma dan waktu. Secara umum
disiplin menuntut kesanggupan seseorang atau kelompok orang agar memahami
aturan, tata tertib, etika dan norma yang berlaku sehingga secara sadar akan
melaksanakan dan mentaati aturan tersebut. Kesadaran memiliki arti kemampuan
mengendalikan diri untuk tidak menyimpang dari aturan, tata tertib, etika dan
norma yang berlaku dalam suatu organisasi sehingga akan terbentuk
sikap mental dan moral seseorang.
b. Sumber-Sumber
Pelanggaran Disiplin
Pada kenyataannya sebab-sebab pelanggaran disiplin itu sangat unik, bersifat
sangat pribadi, kompleks, dan kadang-kadang mempunyai latar belakang yang
mendalam. Namun ada sebab-sebab pelanggaran disiplin yang bersifat umum,
misalnya; pebosanan dalam kelas, perasaan kecewa dan tertekan, tidak
terpenuhinya kebutuhan akan perhatian, pengenalan, atau status.
Sebuah asumsi menyatakan semua tingkah laku
individu merupakan upaya untuk mencapai tujuan, yaitu pemenuhan kebutuhan.
Pengenalan terhadap kebutuhan peserta didik secara baik merupakan andil yang
besar bagi pengendalian disiplin.
Moslow
dalam Ahmad Azhari [12] mengemukakan teori ”Hierarki kebutuhan
manusia” yang dapat digambarkan dalam bentuk ”Piramida Kebutuhan Manusia”
sebagai berikut :

Sumber : Ahmad Azhari : 2004 : 135
Keterangan :
1) Kebutuhan pisik
manusia merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidupnya, seperti makan,
minum, perlindungan pisik, sex, dan sebagainya.
2) Kebutuhan akan rasa
aman secara pisik dan perasaan terhadap masa depan yang akan dihadapinya
3) Kebutuhan akan cinta
kasih, mencintai dan dicintai orang lain.
4) Kebutuhan akan
penghargaan dan untuk dikenal oleh orang lain, merasa berguna bagi orang lain,
mempaunyai pengaruhi terhadap orang lain, dan sebagainya.
5) Kebutuhan akan
pengetahuan dan pemahaman terhadap berbagai hal agar individu dapat mengambil
berbagai keputusan yang bijaksana dalam menghadapi dunianya secara efektif.
6) Kebutuhan akan
keindahan dan aktualisasi diri yang
merupakan kebutuhan untuk berpengalaman mengaktualisasikan dirinya dalam dunia
nyata secara langsung agar dari pengalamannya ia akan lebih kreatif dan
toleran.
Apabila
kebutuhan-kebutuhan di atas tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara biasa, maka
akan terjadi ketidakseimbangan pada diri individu, dan yang bersangktan akan
berusaha mencapainya dengan cara-cara lain yang sering kurang bisa diterima
oleh lingkungannya.
c. Penanggulangan
Pelanggaran Disiplin
Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam menanggulangi pelanggaran
disiplin, yaitu :
1) Mengenali peserta
didik dengan baik dengan cara :
·
Interest-inventory; berupa sejumlah pertanyaan untuk menggali
kepribadian dan keinginan peserta didik, misalnya buku apa yang disenangi
membacanya, apa hobbinya, apa cita-cita, apa yang dikerjakan waktu senggang,
dan lain-lain
·
Sosiogram; berupa kegiatan untuk melihat bagaimana persepsi
mereka dalam rangka hubungan sosial-psikologis dengan teman-temannya
·
Fredback letter; berupa permintaan kepada peserta didik untuk
membuat sebuah karangan atau surat tentang perasaan mereka terhadap sekolah,
2) Melakukan tindakan
korektif
Dalam
kegiatan pengelolaan kelas, tindakan tepat, segera dan tegas sangat perlu
dilakukan, guna untuk menanggulangi dan menghentikan perbuatan-perbuatan
pelanggaran disiplin. Guru harus segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan
tata tertib yang dibuat dan ditetapkan bersama. Beberapa kiat yang dapat
dilakukan guru dalam tindakan korektif adalah;
·
Utamakan tindakan bukan ceramah
·
Gunakan kontrol kerja
·
Nyatakan peraturan sekolah dan
konsekwensinya.
3) Melakukan tindakan
penyembuhan
Pelanggaran
yang telah terlanjur dilakukan peserta didik perlu ditanggulangi dengan
tindakan penyembuhan, baik secara individu maupun kelompok. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan dalam penyembuhan ini adalah :
a) Mengidentifikasi
peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti tata tertib
atau menerima konsekwensi dari pelanggaran yang dibuatnya,
b) Membuat rencana yang
diperkirakan paling tepat tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
mengadakan kontrak dengan peserta didik,
c) Menetapkan waktu
pertemuan dengan peserta didik yang disetujui bersama oleh guru dan peserta
didik bersangkutan,
d) Bila saatnya bertemu
dengan peserta didik, jelaskan maksud dan manfaat pertemuan tersebut,
e) Tunjukkan kepada
peserta didik bahwa gurupun bukan orang yang sempurna dan tidak bebas dari
kekurangan dan kelemahan.
3. Administrasi
Teknik
Administrasi
teknik akan turut mempengaruhi pengelolaan proses pembelajaran di kelas.
Administrasi teknik ini meliputi :
a. Absensi Guru dan
Peserta Didik
b. Tempat Sampah
c. Catatan Pribadi
Peserta Didik
d. Tata Tertib Kelas
4. Hambatan Dalam
Pengelolaan Pembelajaran
a. Faktor Guru
Kita semua
menyadari bahwa guru bukan manusia yang sempurna dan tidak bebas dari
kekurangan dan kelemahan. Justru itu tidak menutup kemunhgkinan faktor guru
juga menjadi penghambat dalam kelancaran pengelolaan pembelajaran. Di antara faktor penghambat yang datang dari guru itu adalah :
·
Tipe kepemimpinan guru
·
Format belajar mengajar yang monoton
·
Kepribadian guru
·
Tingkat pengetahuan guru
·
Pemahaman guru tentang peserta didik
b. Faktor Peserta Didik
Peserta
didik di dalam pembelajaran merupakan individu-individu dalam suatu
masyarakat kecil. Mereka harus memahami hak dan kewajibannya sebagai bagian
dari satu kesatuan masyarakat.
Kekurangan
pemahaman mereka tentang hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat kegiatan pembelajaran akan menjadi penghambat terciptanya suasana yang
aman dan tertib dalam proses pembelajaran.
c. Faktor Keluarga
Tingkah
laku peserta didik di dalam kelas merupakan cerminan dari tingkah laku yang
terbiasa dilakukan dalam lingkungan keluarganya. Kebiasaan yang kurang baik di
lingkungan keluarga, seperti tidak tertib, tidak patuh pada aturan yang
berlaku, kebebasan yang berlebihan merupakan latar belakang yang menyebabkan
peserta didik melanggar disiplin dalam
belajar. Di dalam pembelajaran sering ditemukan ada peserta didik yang suka mengganggu dan meribut.
Mereka itu biasanya berasal dari keluarga yang tidak utuh dan kacau (broken-home).
d. Faktor Fasilitas
Faktor
fasilitas yang dapat menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah sebagai
berikut :
·
Jumlah peserta didik dalam kelas
·
Ukuran ruang kelas
·
Ketersediaan alat di dalam kelas
Keempat
faktor yang telah diuraikan di atas (faktor guru, peserta didik, linghkungan
keluarga dan ketersediaan alat) merupakan faktor yang senantiasa harus
diperhitungkan dalam menangani malasah pengelolaan kelas.
[1] John M. Echols
dan Hassan Sadily, Kamus Indonesia-Inggris An
Indonesia-Inggris Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002),
cet. VI I, h. 275
[2] http://www.google.co.id/#sclient=psy&hl=id&q=strategi+dan+model+pembelajaran,
tanggal 17 Pebruari 2012
[4] Ibid., h. 35-36
[5] Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2008), Cet. II, h. 127
[6] Anita Lie, Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative
Learning di Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2004), Cet.
III, h. 52
[7] Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Mengajar, (
Surabaya : Usaha Nasional, 1991 ), h.33
[8] Anita Lie, Op.cit., h. 40
[10] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar