a.
Dasar
Pembentukan Karakter Dari perspektif Landasan Filosofis Kehidupan Berbangsa Dan
Bernegara
Pembentukan karaker juga bisa dilihat dari
perspekti kehidupan berbangsa dan bernegara. The Founding Fathers
menyadari ada tangtangan besar bagi bagsa Indonesia. Pertama, bagaimana
mendirikan Negara yang bersatu dan berdulat. Kedua, bagaimana membangun
bangsa. Dan Ketiga, bagaimana membangun karakter.[1]
Dalam implementasinya mendirikan Negara dan bangsa berlangsung relativ singkat
dan mudah bila dibandingkan dengan membangun karakter bangsa. Dibutuhkan
komitmen yang kuat dari berbagai elemen bangsa untuk menanamkan nilai karakter
kepada anak bangsa. Karena, proses membangun bangsa dan membentuk karakter
merupakan proses pekerjaan yang panjang yang harus di tata secara sistematis
dan diimplementasikan secara berkesinambungan dan dukungan melalui pemerhati
para pendidikan, cendidikiawan, politisi, bahkan setiap elemen masyarakat.
sebab, membangun karakter bukan sekedar mentransfer ilmu yang dilakukan oleh
para praktisi pendidikan, melainkan terkait dari dukungan lingkungan dan
keterlibatan semua pihak.
Pentingnya pembentukan karakter dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak bisa hanya dlihat dari konteks tantangan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melainkan ini juga dipahami karena memang dalam konteks berbangsa dan bernegara
sudah mengakar dasar-dasar yang kuat untuk melakukan proses pembentukan karakter anak bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya
pembentukan karakter ini dapat dipahami dari dua perspektif. Yaitu perspektif
interen yang merupakan landasan
filosofis berbangsa dan bernegara yang didukung oleh nilai-nilai agama. Dari
sisi lain, dari perspektif eksternal, pembentukan karakter menjadi penting
sebagai upaya mempertahankan diri dari tantangan bahkan ancaman nilai atau
budaya yang datang dari Negara lain. Bahkan, pembentukan karakter dari
perspektif ekstren merupakan upaya mengembangkan potensi diri sendiri
ditengah-tengah semrawutnya nilai-nilai sekuler. Karena itu, setiap anak bangsa
harus memiliki karakter sesuai dengan tujuan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), Dimana
landasan filosofis tersebut merupakan kristalisasi dari berbagai nilai, budaya,
adat bahkan agama yang berkembang di Indonesia.
Dalam pembukaaan Undang-Undang (UUD) 1945
ditegaskan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.Dalam versi amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang keempat tahun 2002,
pasal 31 ayat 3 menyebutkan:
Pememrintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur dalam undang-undang.“
Selanjutnya pada pasal 31 ayat 5 juga disebutkan bahwa“Pememrintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan untuk kemajuan tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[2]
Landasan filosofis ini menjadi dasar acuan
dalam menentukan proses dan tujuan pendidikan nasional. Bila awalnya tujuan
pendidikan diarahkan untuk mencerdasakan bangsa, namun hasil amandemen undang-undang dasar 1945 sebelumnya lebih menegaskan dan
fokus pada anak untuk meningatkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memajukan peradaban manusia serta untuk
memberikan kesejahteraan bagi manusia.
Dilihat dari perspektif ini, Negara sudah
memberikan dan mendukung dalam pembentukan karakter dengan indikator dengan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Karena itu, pembentukan karakter dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasakan kepada kepada filosofis
sebenarnya sudah sejalan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu pembentukan
karakter. Keimanan dan ketaqwaan adalah salah satu indikator karakter peserta
didik.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 dan UU SISDIKNAS Sangat mendasar dalam memberikan landasan filosofi
sebagai prisip dasar dalam pembangunan pendidikan. Filosofis pendidikan
nasional yang di dasari oleh filsafat pancasila adalah acuan dalam pembentukan
paradigma dan pendidikan pemberdayaan manusia seutuhnya, pendidikan
pembelajaran yang berorintasi pada
peserta didik, dimana pendidikan hanya sekedar memandang peserta didik sebagai “ Bahan Mentah” yang harus
dibentuk, sebagaimana sebuah produk pendidikan yang memiliki potensi, dinamik
dan punya keinginan dan cita-cita.
Landasan filosofis tersebut dijabarkan dalam
konsep pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional
No 20 tahun 2003, pasal 3 yang menegaskan bahwa :
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlakul karimah, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,dan menjadi warga
Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[3]
Bahkan
kementrian pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab sistem pendidikan
nasional bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut dengan mengacu pada
rencana pembangunan jangka menengah Nasional (RPJMN) TAHUN 2010-2014 dan Undang-Undang
nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
TAHUN 2005-2025.
Bila dilihat dari
urutan dan proses pendidikan yang tertuang dalam landasan filosofis dan
landasan konstitusional di atas, maka keimanan dan ketaqwaan menjadi inti dari
semua materi pendidikan. Dari keimanan dan ketaqwaan inilah, semuanya
dirumuskan dalam upaya menanamkan nilai, menanamkan karakter, mencerdaskan
masyarakat dan kesejahteraan bangsa. Karena, bila ditarik pemahaman pendidikan
yang dilandasakan dengan filosofis dan konstitusional tersebut, maka pendidikan
bukan hanya identik transfer ilmu yang dapat menjadi orang pintar secara
kognitif, akan tetapi pendidikan adalah peroses untuk membentuk karakter
bangsa agar lebih bermartabat dan
sejahtera.
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan karakter yang mempunyai
landasan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi
pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas merupakan sesuatu
yang tidak bisa ditawar tawar lagi, lebih-lebih untuk membentuk pendidikan
berkarakter. Spirit landasan filosofis dan konstitusional secara tidak langsung
menjadi landasan bagi setiap anak bangsa untuk berinisiatif ikut
menyelenggarakan membentuk model pendidikan karakter.
[1] Muchlis Samani dan
Haryono, op.,cit, h. 1
[2]UUD 1945 Hasil Amandemen Dan Proses
Amandemen UUD 1945 secara lengakap (pertama 1999- keempat 2002),
(Jakarta : Sinar Grafika, 2002), h. 58-59
[3]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar