Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Juli 2018

Dasar Pembentukan Karakter Dari perspektif Tujuan Pendidikan Islam


a.   Dasar Pembentukan Karakter Dari perspektif Tujuan Pendidikan Islam
Karakter merupakan kepribadian yang sudah dihiasi dengan sifat-sifat yang baik dan relativ stabil yang ditampilkan dalam kehidupan shari-hari berdasarkan nilai-nilai standar yang tinggi.[1] Sebuah perbuatan atau perlilaku yang tidak dianggap sebagai fenomena lahiriah semata. Melainkan merupakan pencerminan dari berbagai sifat yang terdapat pada diri seseorang. Dengan demikian, kemunculan karakter merupakan perwujudan dari kualitas berfikir dan kondisi batin seseorang,  dimana sebelumnya tertanam pada jiwa.  Sifat yang tertanam tidak muncul dengan sendirinya melainkan melalui proses pendidikan. Oleh karena itu karakter bukan sesuatu yang sudah ada sejak lama, akan tetapi ia merupakan sesuatu yang harus diusahakan dan dibiasakan melalui proses pendidikan yang baik dan terintegrasi.
Pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Wahjoetomo yang mengutip pendapat Kihajar Dewantara, merupakan pengajaran yang terpadu dan dipengaruhi oleh lingkungan peserta didik.[2] Di sinilah pentingnya pendidikan, ia merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan, terkait dengan pembentukan kepribadian. Bahkan pendidikan sangat penting untuk menentukan maju mundurnya suatu bangsa, karena pendidikanlah yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa. [3]
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk  mencapai, menciptakan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.[4] Pencapaian pendidikan dalam rangka mengantarkan  manusia mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat, tidak mungkin tercapai tujuan apabila tidak menjalani peroses pembinaan diri menjadi orang  yang mempunyai keimanan dan ketaqwaan.[5] Sedangkan menurut Samsul Nizar yang mengutip pendapat Hasan Langgulung bahwa tujuan pedidikan Islam adalah bagiamana mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, maupun akalnya secara dinamis. Proses pengembangan berbagai  potensi yang ada pada diri  manusia akan membentuk dan bentuk pribadi yang utuh  dan mendukungnya sebagai khlaifah dipermukaan bumi ini.[6]
Tujuan pendidkan Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003  tetang sistem pendidikan Nasioanl  dijelaskan bahwa :
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik. (fitrah peserta didik seperti ruh, fisik, kemauan dan akal) agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahas Esa, berakhlak mulia, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[7]
Berbagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri peserta didik (manusia) tentu tidak akan berhasil bila tidak berkesinambungan Kontiunitas sebuah proses harus tetap terjaga agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai. Keseimbangan pendidikan karakter ini harus terjadi berdasarkan lima prinsip diantaranya :
Pertama. Prinsip integrasi  (tauhid). Prinsip ini memandang bahwa adanya wujud kesatuan dunia akhirat. Oleh karena itu pendidikan meletakan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua,prinsip keseimbangan.prinsip ini merupakan konsekuensi prinsip integrasi. Keseimbangan yang porposional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan terapan, antara teori dan praktek, dan antara nilai yang menyagkut aqidah, syari’ah dan akhlak.
Ketiga, prinsip persamaan dan pembebasan.  Pendidikan islam adalah suatu upaya pembebasan manusia dari belenggun nafsu dunia menuju pada nilai-nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikan diharapkan mampu terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kejumudan.
Keempat, prinsip kontinuitas dan berkesinambungan. Prinsip ini mendasar pendiidkan sepanjang hayat (log life education). Sebab, dalam islam belajar adalah kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca al-Quran secara terus menerus dan mencakup aspek yang luas, maka murid akan tumbuh kesadaran diri dan lingkungannya. Dan yang lebih penting adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan.
Kelima, prinsip kemaslahatan dan keutamaan.Prinsip ini adalah turunan dari konsep tauhid, keseimbangan, persamaan dan kebebasan. Pendidikan Islam harus berprinsip bahwa ilmu harus dimanisfestasikan  dalam gerak langkah manusia, dalam  praksis social untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaannya. [8]
Kelima prinsip di atas tersebut menjadi sangat penting untuk memberikan rumusan, terkait dengan tujuan pendidikan Islam. Karena itu Pendidikan Islam harus melengkapi berbagai elemen guna mengaktualisasikan kelima prinsip di atas. Pembentukan karakter juga beroreintasikan kepada kelima prinsip tersebut, yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Sebab, pendidikan atau pembentukan karater harus dilakukan secara berkesinambungan, sehingga dapat menentukan karakter tersebut  dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil suatu  kesimpulan bahwa pembentukan karakter merupakan sebuah peroses  untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Yaitu, untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan ini akan tercapai apabila seseorang telah memiliki dan memelihara keimanan dan ketaqwaan kepada Allah., dimana keimanan dan ketaqwaan merupakan indikator dari karakter itu sendiri. Terdapat hubungan yang signifkan antara indikator karakter dengan pendidikan islam, maka pendidikan karakter memiliki dasar yang kuat dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
1.   Ruang Lingkup Pembentukan karakter
Pendidikan secara umum merupakan upaya untuk memberdayakan semua potensi diri yang ada pada manusia. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan secara utuh dan integral, karenanya pendidikan diarahkan untuk mematangkan manusia secara utuh yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketidakberhasilan pendidikan, salah satunya karena hanya mengejar salah satu dari dimensi tersebut dan mengabaikan dimensi yang lain. Bila pendidikan hanya mengejar kematangan dimensi kognitif dengan memaksimalkan proses transfer ilmu ke dalam otak, maka tentu belum sampai pada upaya untuk menciptakan kematangan dalam berbuat baik. Karenanya, penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik, meskipun sudah mempunyai pengetahuan tentang kebaikan tersebut adalah karena tidak berlatih untuk melakukan kebaikan.[9]
Terkait dengan lingkup pembentukan karakter ini, Abdul Majid dan Dian Andayani menjelaskan bahwa ada beberapa pilar pendidikan karakter dalam membentuk karakter diantarannya sebagai berikut:
1.    Moral Knowing (pengetahuan tentang kebaikan) yang meliputi:
a.    Kesadaran moral (moral awarenes)
b.    Pengetahuan tentang nilai-nilai (knowing moral values)
c.    Penentuan sudut pandang (perspective taking)
d.   Logika moral (moral reasoning)
e.    Keberanian mengambil menentukan sikap (Decision making)
f.      Dan pengenalan diri (self knowledge)
2.    Moral Loving atau Moral Feeling berarti penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap, terutama dalam hal kesadaran akan jati diri, yaitu:
a.    Percaya diri (self Esteen)
b.    Kepekaan terhadap derita orang lain (empathy)
c.    Cinta kebenaran (loving the good)
d.   Pengendalian diri (self control)
e.    Kerendahan hati (humility)
3.    Moral Doing/moral action, bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.[10]
Anak mengetahui bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik. Mencontek juga perbuatan yang tidak baik, akan tetapi banyak yang melakukannya. Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang tua atau guru harus bisa mengarahkan anak untuk bertindak konsisten antara pikiran dengan tindakannya.
 Berpedoman kepada tiga pilar pendidikan karakter diatas, berarti secara kognitif anak mengetahui (Moral Knowing), akan tetapi tidak berlatih melakukan (moral action). Untuk itu orang tua atau guru tidak cukup memberi pengetahuan tentang kebaikan, akan tetapi harus membimbing anak sampai pada tahap implementasi pada kehidupan kesehariannya.
Pada sisi lain, yang perlu disadari adalah mendidik kebiasan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai nilai-nilai kebaikan. Misalnya, seseorang tidak mencuri karena mengetahui sanksi hukumnya, bukan karena kinginannya untuk menghargai nilai kejujuran. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (moral feeling), yaitu keintaan untuk berbuat baik.
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberi komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian perlunya penekanan ketiga pilar ini dalam rangka anak mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebaikan.
Berkaitan dengan kompleknya lingkup pembentukan karakter, sehingga prosesnya mesti mencakup dan mengembangkan berbagai dimensi atau unsur-unsur secara kompleks, maka pendekatan yang digunakan harus bersifat multi dimensi pendekatan. Bahkan, proses pembentukan karakter dengan media pendidikan juga tidak bisa mempertimbangkan lingkungan dimana peserta didik berinteraksi. Karenanya, pihak yang mempunyai peran dalam pengembangan karakter meliputi lingkungan sekolah dengan berbagai unsur-unsur yang terkait dengan proses pendidikan, keluarga sebagai lingkungan inti peserta didik dan mayarakat sebagai lingkungan yang dapat mendukung bagi pembentukan karakter.
Disamping itu, pembentukan karakter peserta didik harus mengacu kepada pengembangan berbagai potensi atau unsur-unsur harkat dan martabat yang secara keseluruhan bersesuauaian dengna nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila) dan nilai-nilai yang dilandasi ajaran Islam. Sejalan dengan ini, Prayitno dan Afriva Khaidir memberikan perincian bahwa harkat dan martabat manusia tersebut meliputi tiga komponen, yaitu sebagai berikut:
1.    Hakikat manusia yang meliputi lima unsur, yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, paling sempurna, paling tinggi derajadnya, khalifah di muka bumi, dan penyandang HAM. Pembentukan karakter sepenuhnya mengacu kepada kelima unsur hakikat manusia itu.
2.    Dimensi kemanusiaan, meliputi lima dimensi, yaitu dimensi ketrahan (dengan kata knci kebneanran dan keluhuran), dimensi keindividuan (dengan kata kunci potensi dan perbedaan), dimensi kesosialan (dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan), dimenasi kesusilaan (dengan kata kunci nilai dan norma), dan dimensi keberagamaan (dengan kata kunci iman dan takwa). Penampilan kelima unsur dimensi kemanusiaan dalam kehidpan seharai-hari akan mencerminkan karakter individu yang bersangkutan.
3.    Pancadaya kemanusiaan, meliputi lima potensi dasar, yaitu daya takwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya. Melahirkan pengembangan seluruh unsur pancadaya inilah pribadi berkarakter dibangun.[11]
Berhubungan dengan panca daya kemanusiaan maka karakter yang ditanamkan disesuaiakan daya-daya yang ada dalam diri manusia. Pemerintah telah mengembangkan Desain Induk Pembangungan Karakter Bangsa (2010-2025 (Pemerintah Republik Indonesia, 2010), yang didasarkan pada Pancasila antara lain dapat dikemukakan berikut ini:
1.    Karakter yang bersumber dari hati, antara lain beriman dan bertakwa, bersyukur, jujur, adil, tertib, sabar, disiplin, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, punya rasa iba, berani mengambil resiko, pantang menyerah, menghargai lingkungan, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2.    Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, analitis, ingin tahu, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
3.    Karakter yang bersumber dari olah raga/ kinestetika antara lian bersih dan sehat, sportip, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, diterminatif, kopetitif, ceria, ulet dan gigih.
4.    Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, saling mengasihi, gotong royong, kebersamaan, ramah, peduli hormat, toleran, nasionalis, kosmopolit, (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air, (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Gambar1 : Desain Pembentukan Karakter Bangsa
Tahun 2010-2025[12]







 









Mencermati berbagai komponen pembentukan karakter di atas, maka pembentukan karakter adalah gambaran  upaya untuk membina berbagai unsur atau potensi yang terdapat dalam diri manusia, terutama yang terkait dengan keimanan dan ketakwaan. Karena dimensi keimanan dan ketakwaan menjadi hal yang mendasar dalam membina kepribadian manusia. Dimensi ini menjadi landasan untuk membina dimensi kemanusiaan yang meliputi kehidupan individu, sosial, aspek moralitas serta keberagamaan. Dengan demikian, pembentukan karakter harus meliputi pembinaan sejumlah dimensi kemanusiaan di atas. Secara metodologis tentu berbagai dimensi tersebut harus diberikan pembinaan yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.
4.    Fungsi Pembentukan Karakter
Mengingat ruang lingkup dan pentingnya pembentukan karakter terhadap peserta didik, terutama bila dikaitkan dengan hakekat manusia dan tujuan pendidikan Islam, maka pembentukan karakter menjadi sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan dalam kehidupan. Menurut penulis, pembentukan karakter menjadi sebuah proses yang relevan dalam mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan zaman. Karena itu, kerangka berfikir atau paradigma pembentukan  karakter sebagai proses pendidikan yang membutuhkan komitmen dan konsistensi dari berbagai piuhak harus terpadu dan terintagrasi antara fungsi pembentukan karakter dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengintegrasikan berbagai pilar pendidikan dan meliputi berbagai dimensi kependidikan, mulai dari aspek kognitif sampai pada aspek psikomotorik. Pilar pendidikan merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi peserta didik dalam membentuk karakter yang membentuk karakter yang terbentuk. Dalam artian, segala yang ada di sekitar peserta didik yang berupa peristiwa yang terjadi, kondisi masyarakat, terutama tempat yang dapat memberi perngaruh kuat dalam perkembangan jiwa anak, yaitu di tempat proses pendidikan berlangsung dan tempat bergaul sehari-hari.[13] Pilar pendidikan ini mencakup tiga wilayah pendidkan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan suatu kesatuan, dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut.[14] Keluarga merupakan komunitas pertama yang menjadi tempat bagi seseorang untuk belajar baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain lingkungan kelurgalah seseorang belajar tata nilai. Di dalam lingkungan kelaurga, pendidikan tidak mempunyai sistem tertentu sebagaimana di sekolah. Pendidikan dalam keluarga berlangsung sejalan dengan mengikuti kehidupan nyata, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak. Dengan demikian, kepentingan bagi anak berlangsung tidak secara sistematis,[15] yang tidak akan ditemukan daftar pelajaran secara tertulis dan resmi dalam bentuk yang sistematis.[16] Dengan demikian, pilar pendidikan lingkungan keluarga tumbuh dan berkembang secara manusiawi dalam mencapai kedewsaan. Namun demikian, anak senantiasa akan memperolah pengaruh mendasar dari lingkungan keluarga ini sebagai landasan pembentukan karakter.
Disamping keluarga, pilar kedua yang tidak  kalah penting proses pembentukan karakter adalah sekolah. Berbeda dengan keluarga, sekolah merupakan kegiatan kependidikan yang memiliki sistem tertentu. Dalam hal ini, di sekolah telah ditetapkan dasar-dasar dan tujuan pendidikan, yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi mewujudkan ketaatan kepada Allah. Di lingkungan inilah peserta didik dapat mencapai kemanfaatan dalam berbagai dimensi kehidupan, baik kognitif, afektif dan psikomotorik secara sistematis.[17] Kendatipun ada perbedaan bentuk lingkungannya. Namun mesti ada kesatuan pemahaman antara keluarga dan sekolah dalam memberikan kegiatan pendidikan kepada peserta didik agar tidak terjadi kontra produktif antara keduanya, sehingga menyebabkan kebingungan pada anak yang pada akhirnya pada proses pembentukan karakter. Secara lebih spesifik tujuan pendidikan karakter di sekolah mencakup:
a.    Membantu para siswa untuk mengembangkan potensi kebajikan mereka masing-masing secara maksimal dan mewujudkan dalam kebiasaan baik: baik dalam pikiran, sikap, hati, perkataan dan perbuatan.
b.    Membantu siswa menyiapkan diri menjadi warga negara yang baik.
c.    Dengan modal karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan dapat mengembangkan kebajikan dan potensi dirinya secara penuh dan membangun kehidupan yang baik, berguna dan bermakna.
d.   Dengan karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan mampu menghadapi tantangan yang muncul dari makin derasnya arus globalisasi dan pada saat yang sama mampu menjadikannnya sebagai peluang untuk perkembangan dan berkontribusi bagi masyarakat luas dan kemanusiaan.[18]
Pilar juga ikut memberikan pengaruh pembentukan karakter adalah lingkungan masyarakat. Anak-anak atau peserta didik adalah bagian dari makhluk sosial  yang tidak bisa mengelak sebagai anggota dari berbagai golongan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan sejumlah kelaurga, dimana di dalamnya terdapat aturan, hukum, adat kebiasaan atau tata tertib yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[19] Sebagai lingkungan yang memiliki ikatan kesatuan sosial, kebudayaan dan agama, masyarakat tentu juga tidak kalah penting menjadi bagian yang sangat memberikan pengaruh terhadap anak-anak atau peserta didik.[20] Ketiga pilar pendidikan tersebut tidak bisa saling menafikan, karena keberadaannya praktis dilalui oleh anak-anak atau peserta didik dalam kehidupan. Karena itulah, pembentukan karakter harus meliputi tiga pilar pendidikan sebagaimana dijelaskan diatas.
Pertimbangan lain dalam pembentukan karakter adalah dimensi hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan memiliki berbagai pptensi positif. Kedudukan dan keberadaan hakikat manusia yang memang memiliki kualitas dibandingkan makhluk lain, menjadi dasar pemahaman bahwa pendidikn bukan untuk menciptakan sesuatu yang belum ada dalam diri manusia, melainkan untuk mengembangkan potensi tersebut agar dapat teraktual dalam bentuk perilaku sehari-hari. Bahkan, bila dikaitkan dengan landasan normatif, yaitu al-Qur’an, maka hakikat tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah.[21] Aktualisasi dari pengabdian tersebut merupakan gambaran tercapainya indikator karakter dalam diri anak dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mempertimbangkan manusia sebagai makhluk yang telah mempunyai potensi (fitrah) dan tujuan pendidikan Islam merupakan dua hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan proses pembentukan karakter. Kedua dimensi ini tidak bias dilihat secara parsial, melainkan harus dipahami dalam lingkup integral. Keduanya harus dipahami dua sisi yang saling membutuhkan dan saling memberikan dukungan bagi kelancaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan untuk menjadi pengabdi Tuhan dan Khalifah di permukaan bumi atas dasar keimanan dan ketakwaan.Sedangkan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, memiliki tujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa untuk mendapatkan atau mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka fungsi pembentukan karakter tentu tidak bisa dilepaskan dari dua faktor tersebut, yaitu faktor manusia sebagai makhluk yang telah dianugerahkan berbagai potensi kemanusiaannya dan faktor pendidikan yang dijadikan sebagai media untuk mengaktualkan berbagai potensi tersebut agar bisa teraktual dalam kehidupan. Manusia dengan berbagai potensi positif yang ada di dalamnya tidak teraktual apabila tidak didukung oleh proses pembinaan secara berkesinambungan. Sejalan dengan hal itu, pendidikan dengan format kurikulum yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia juga secara konsisten harus mengarah dan mendukung upaya untuk mengaktualkan berbagai potensi tersebut secara baik dan mampu mengangkat sisi kemanusiaan manusia pada tingkat kemuliaan. Kemuliaan tidak diukur oleh nilai-nilai pragmais-hedonis, melainkan nilai-nilai yang tinggi didasarkan oleh agama, pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itulah, fungsi pembentukan karakter adalah untuk mengembangkan berbagai potensi dasar yang dimiliki manusia.[22]
Untuk mencapai tujuan pembentukan karakter tersebut, dalam perspektif pendidkkan, dibutuhkan kurikulum yang bersifat holistik atau kurikulum yang berbasis karakter tersebut mesti menyentuh berbagai dimensi kehidupan peserta didik atau harus memenuhi seluruh potensi positif yang telah diciptakan dalam diri manusia. Kurikulum pendidikan harus merefleksikan berbagai dimensi atau potensi, mulai dari kognitif, keterampilan atau dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.[23] Dengan demikian, pendekatan holistik dalam pembentukan karakter bukan sekedar tertuju pada pembinaan berbagai potensi kemanusiaan, bahkan juga mengarah pada upaya mempersiapkan diri anak terhadap fenomena sosial kontemporer agar anak betul-betul mampu berhadapan dengan persoalan hidupnya.
Fenomena sosial atau kejadian-kejadian alamiah yang diformat melalui kurikulum adalah salah satu cara untuk memberdayakan kemampuan ekslopratif siswa sebagai proses pembelajaran bermakna untuk membeirkan kemampuan dalam mencerdaskan sikap hidup.
Sebuah pembelajaran yang bersifat holistik dapat dirancang dan dilakukan dengan baik, apabila pembelajaran tersebut bersifat alami, nyata, dekat dengan kehdiupan diri dan guru yang melaksanakannya mempunyai konsep yang terpadu dengan baik.[24] Konsep ini merupakan salah satu upaya untuk memahami segala sesuatu dengan mencari makna. Pencarian siswa tentang sesuatu, sebenarnya menajdi kesempatan bagi siswa untuk memberdayakan berbagai potensi diri secara mandiri, sehingga pada akhirnya membentuk pemahaman secara utuh dengan mengembangkan kemampuan aspek fisik, emosi, sosial, kreatifitas, spiritual dan intelektual. Dengan demikian, pembentukan karakter juga harus memanfaatkan dan mengembangkan sifat dasar alamiah manusia dengan menjadikan fenomena kehidupan sebagai bahan pembelajaran. Bahkan, proses ini akan memberdayakan kemandirian siswa dalam menyikapi berbagai fenomena kehidupan berdasarkan karakter yang ditanamkan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka pembentukan karakter melalui kegiatan Rohis yang berbasis karakter sangat penting dan memiliki fungsi strategis dalam kehidupan peserta didik atau manusia pada umumnya. Bahkan, pembentukan karakter dalam bentuk pengembangan karakter merupakan basis untuk mencapai kesuksesan. Dengan demikian, pembentukan karakter bukan sekedar terfokus pada proses pembinaan potensi secara integral, bahkan leibh dari itu adalah untuk memberikan kemampuan peserta didik agar dapat sukses dalam kehdupannya. Sebab, salah satu peluang kesuksesan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan individu dalam memaknai segenap fenomena sosial sebagai peluang yang harus dimanfaatkan.
Bila dilihat dari perspektif manusia, maka pembentukan karakter harus mengarah kepada upaya untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti memuliakan manusia. Sebab, agama sendiri pada hakikatnya telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.[25] Kesempurnaan atau kemuliaan manusia bukan sekedar ditentukan oleh bentuk fisik bila dibandingkan dengan makhluk lain, akan tetapi kemuliaan itu ditenutkan oleh kemapuan untuk memberdayakan kemampuan untuk taat kepada penciptanya, yaitu untuk beriman dan beramal saleh.
Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan bahwa hakikat manusia meliputi kepada sejumlah unsur yang terdir dari beirman dan bertakwa kepad Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan paling sempurna, derajat paling tinggi, berstatus sebagai khalifah dibumi dan menyandang hak asasi manusia.[26] Sejumlah unsur-unsur tersebut secara potensial melekat pada diri manusia, akan tetapi mnasih membutuhkan proses aktualisasi yang memadai dan berkesinambungan. Pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan tersebut diharapkan dapat menjadi kepribadian atau disebut juga sebagai karakter, sehingga menempatkan manusia pada posisi mulia, bukan sekedar dihadapan manusia, tapi juga dalam pandangan Allah SWT.
Sejalan dengan pandangan di atas, Muchlas Samani dan Hariyanto juga menjelaskan bahwa pembentukan karakter dari perspektif hakikat manusia berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berfikir baik dan berperilaku baik.[27] Semua unsur atau sifat dasar yang berbentuk potensi diri, sebagaimana dijelaskan di atas, hendaknya berujung pada upaya untuk membina hati agar menjadi baik, membina pikiran agar terbiasa berpikiran positif, dan berupaya membiasakan diri dengan kebiasaan yang baik agar perilaku baik. Dengan demikian, pembentukan karakter yang berpusat kepada manusia berfungsi untuk memberdayakan dan mengembangkan berbagai potensi tersebut agar menjadi manusia yang berkarakter.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa pembentukan karakter memiliki fungsi untuk memberdayakan, membangun, mengembangkan, serta memperkuat berbagai potensi positif yang terdapat dalam diri manusia. Potensi yang dikembangkan tersebut meliputi hubungan manusia dengan Allah yang teraktual dalam bentuk keimanan dna ketakwaan kepada Allah. Hubungan manusia dengan manusia yang teraktual dalam bentuk kemampuan dalam mengembangkan dimensi individual, kesosialan, kesusilaan, bahkan keberagaman. Hubungan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan, yaitu kemampuan takwa, cipta, rasa, karsa dan karya.[28] Dengan demikian, pembentukan karakter memiliki fungsi yang sangat strategis dalam rangka memuliakan kemanusiaan manusia.
5.   Usaha Pembentukan Karakter
Secara etimologis, usaha merupakan kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan.[29] Tenaga dan pikiran merupakan dua unsur yang tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan karakter. Dalam pikiran terdapat berbagai program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan ia merupakan pelopor segalanya.[30] Pengalaman hidup terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, dimana ia didahului oleh kesadaran dan pemahaman yang akan menjadi karakter seseorang. Dalam proses pembiasaan, tersebut, badan atau fisik menjadi salah satu unsur yang juga tidak bisa diabaikan dalam sebuah usaha. Hal ini semakin menegaskan bahwa tenaga, pikiran dalam sebuah usaha. Hal ini semakin menegaskan bahwa tenaga, pikiran dan badan merupakan tiga unsur penting dalam proses pembentukan karakter.
Pembentukan karakter dalam sistem pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari sistem ideologi dan nilai. Ideologi menjadi basis pengajaran untuk menentukan bentuk dan arah pembentukan karakter dalam pendidikan Islam. Ini menegaskan bahwa karakter yang dimaksud dalam pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dimensi ideologi dalam Islam, yaitu nilai-nilai tauhid. Sistem ideologi inilah yang membedakan pembentukan karakter dalam pendidikan Islam menjadi berbeda sistem pendidikan non Islam.
Dimensi lain yang juga memberikan warna pembentukan karakter dalam pendidikan Islam adalah sistem nilai. Pembentukan karakter dalam konteks pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah menjadi landasan utama dan mencakup kebenaran mutlak yang bersifat universal. Bahkan kebenarannya berlaku untuk setiap tradisi dan zaman umat Islam. Sistem nilai ini juga yang membedakannya dengan sistem nilai yang dikembangkan oleh sistem pendidikan non muslim yang bersifat relatif, karena ia merupakan hasil pemikiran manusia pada zaman tertentu.
Sistem ideologi dan  nilai menjadi dua hal yang urgen dan mendasar dalam proses pembentukan karakter. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada upaya untuk membentuk karakter hendaknya didasarkan kepada dua sistem tersebut. Bahkan, dalam menjabarkan bentuk-bentuk karakter yang menjadi indikator pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari prinsip tauhid dan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an Sunnah. Dua sistem ini yang membedakan pembentukan karakter dalam pendidikan islam dengan pendidikan non muslim.
Dalam usaha pembentukan karakter terhadap peserta didik, maka berbagai komponen dalam pendidikan Islam harus dijiwai oleh dua sistem sebelumnya. Bahkan, dua sistem ini harus berfungsi demi menjaga dan menuntun pendidikan Islam, sehinggan pembentukan karakter dapat dilakukan dengan baik dan benar. Sejalan dengan ini, Ramayulis menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan dalam pembentukan karakter dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:
1.    Pendekatan pada internalisasi nilai dalam pembelajaran, yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
a.    Pengembangan Pengetahuan (Knowing)
b.    Pengembangan Keterampilan (Doing)
c.    Penanaman Nilai (Being)
2.    Mempergunakan berbagai pendekatan dalam proses pembelajaran
a.    Pendekatan keteladanan
b.    Pendekatan pembiasaan
c.    Pendekatan fungsional
3.    Menciptakan suasana keagamaan
a.    Mengenalkan kepada peserta didik semua perangkat tata nilai dan institusi yang ada di dalam masyarakat.
b.    Mengupayakan agar setiap tenaga kependidikan bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam
c.    Melakukan berbagai kegiatan yang dapat terciptanya suasana keagamaan
d.   Menciptakan hubungan yang islami dalam bentuk rasa saling toleransi, saling menghargai, saling menyayangi, saling membentuk dan mengakui eksistensi.
4.    Menyatukan visi dan persepsi semua tenaga kependidikan.[31]
Tesis ini akan diuraikan dengan mengacu kepada apa yang dijelaskan Ramayulis diatas. Penulis beranggapan bahwa pandangan di atas, lebih representatif dalam menggambarkan berbagai kegiataan yang diperlukan dalam usaha membentuk krakter peserta didik. Sebagai landasan teoritis, maka pandangan Ramayulis di atas, dijadikan dasar atau kerangka berfikir dalam menjabarkan bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan pada objek penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Pentingnya landasan teoritis ini untuk menjaga konsistensi penulisan agar lebih terarah dan bisa mencapai target penelitian yang telah ditentukan dalam batasan masalah.


[1] Prayitno dan Afriva Khaidir, Loc. Cit.
[2]Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, ( Jakarta : Gema insane, 2007), h.  21
[3]H. M. Arifin, Hubungan Timbale Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah Dan Keluarga, ( Jakarta ; Bulan Bintang, 1976), h. 110
[4]Abu Ahmad dan Uhbaity, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Melton Puter, tp. th), h. 68
[5]Omar  Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafaht Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bulan BIntang, 1979), h. 36
[6]Syamsul Nizar, Filsafat  Pendidikan  Islam Pendekata Historis Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), h. 36
[7] UU No. 20 Tahun, 2003 Tentang System Pendidikan Nasional (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 5-6
[8]Mohd. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam,  (Yogyakarta : LKIS, 2009), h. 32-33
[9] Abdul Majid dan Dian Andayani, op.cit., h. 31
[10]Ibid., h. 31-36
[11] Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 19-20
[12]Ibid
[13]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 147
[14]Zahara Idris, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992), h. 83
[15]Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1989), h. 8
[16]Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), h. 66
[17]Abdurrahman an Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 150
[18] Gede Raka dkk, op.cit., h. 47-48
[19] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 158
[20] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 44
[21]Q.S. Asz-Dzariyyat. 51:56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
[22] Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 9
[23] Masnur Muslich, op.cit., h. 32
[24]Ibid.
[25]Q.S. at-Tin  95:4-6: “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[26]Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 5
[27] Muchlas Samani dan Hayanto,op.cit., h. 9
[28]Prayitno dan Afriva Khaidir, Ioc.cit.
[29]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 997
[30]Abdul Majid dan Dian Andayani, Op.cit., h. 17
[31]Ramayulis, Dasar-dasar Pembentukan Karakter Peserta Didik dalam Konsep Pendidikan Islam, Makalah, Seminar Nasional “Integrasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter Untuk Membangun Peradaban Bangsa Berkualitas” di PPS Imam Bonjol Padang. (Padang: 25 November 2010), h. 11

Tidak ada komentar: