a. Dasar Pembentukan
Karakter Dari perspektif Tujuan Pendidikan Islam
Karakter merupakan
kepribadian yang sudah dihiasi dengan sifat-sifat yang baik dan relativ stabil
yang ditampilkan dalam kehidupan shari-hari berdasarkan nilai-nilai standar
yang tinggi.[1] Sebuah perbuatan atau perlilaku yang tidak
dianggap sebagai fenomena lahiriah semata. Melainkan merupakan pencerminan dari berbagai sifat
yang terdapat pada diri seseorang. Dengan demikian, kemunculan karakter
merupakan perwujudan dari kualitas berfikir dan kondisi batin seseorang, dimana sebelumnya tertanam pada jiwa. Sifat yang tertanam tidak muncul dengan
sendirinya melainkan melalui proses pendidikan. Oleh karena itu karakter bukan
sesuatu yang sudah ada sejak lama, akan tetapi ia merupakan sesuatu yang harus
diusahakan dan dibiasakan melalui proses pendidikan yang baik dan terintegrasi.
Pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh
Wahjoetomo yang mengutip pendapat Kihajar Dewantara, merupakan pengajaran yang
terpadu dan dipengaruhi oleh lingkungan peserta didik.[2]
Di sinilah pentingnya pendidikan, ia merupakan syarat mutlak yang tidak bisa
diabaikan, terkait dengan pembentukan kepribadian. Bahkan pendidikan sangat
penting untuk menentukan maju mundurnya suatu bangsa, karena pendidikanlah yang
akan mencerdaskan kehidupan bangsa. [3]
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan
untuk mencapai, menciptakan kebahagiaan
hidup didunia dan akhirat.[4]
Pencapaian pendidikan dalam rangka mengantarkan
manusia mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat, tidak mungkin
tercapai tujuan apabila tidak menjalani peroses pembinaan diri menjadi
orang yang mempunyai keimanan dan
ketaqwaan.[5]
Sedangkan menurut Samsul Nizar yang mengutip pendapat Hasan Langgulung bahwa
tujuan pedidikan Islam adalah bagiamana mengembangkan fitrah peserta didik,
baik ruh, fisik, maupun akalnya secara dinamis. Proses pengembangan
berbagai potensi yang ada pada diri manusia akan membentuk dan bentuk pribadi
yang utuh dan mendukungnya sebagai
khlaifah dipermukaan bumi ini.[6]
Tujuan pendidkan Islam ini sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tetang sistem pendidikan
Nasioanl dijelaskan bahwa :
Tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik. (fitrah
peserta didik seperti ruh, fisik, kemauan dan akal) agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahas Esa, berakhlak mulia, cakap
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.[7]
Berbagai upaya untuk mengembangkan potensi yang
ada pada diri peserta didik (manusia) tentu tidak akan berhasil bila tidak
berkesinambungan Kontiunitas sebuah proses harus tetap terjaga agar tujuan yang
diinginkan bisa tercapai. Keseimbangan pendidikan karakter ini harus terjadi berdasarkan
lima prinsip diantaranya :
Pertama.
Prinsip integrasi (tauhid). Prinsip ini
memandang bahwa adanya wujud kesatuan dunia akhirat. Oleh karena itu pendidikan
meletakan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua,prinsip
keseimbangan.prinsip ini merupakan konsekuensi prinsip integrasi. Keseimbangan
yang porposional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan
terapan, antara teori dan praktek, dan antara nilai yang menyagkut aqidah,
syari’ah dan akhlak.
Ketiga,
prinsip persamaan dan pembebasan.
Pendidikan islam adalah suatu upaya pembebasan manusia dari belenggun
nafsu dunia menuju pada nilai-nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia
dengan pendidikan diharapkan mampu terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan
dan kejumudan.
Keempat,
prinsip kontinuitas dan berkesinambungan. Prinsip ini mendasar pendiidkan
sepanjang hayat (log life education). Sebab, dalam islam belajar adalah
kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca al-Quran secara
terus menerus dan mencakup aspek yang luas, maka murid akan tumbuh kesadaran
diri dan lingkungannya. Dan yang lebih penting adalah kesadaran akan kebesaran
Tuhan.
Kelima,
prinsip kemaslahatan dan keutamaan.Prinsip ini adalah turunan dari konsep tauhid,
keseimbangan, persamaan dan kebebasan. Pendidikan Islam harus berprinsip bahwa
ilmu harus dimanisfestasikan dalam gerak
langkah manusia, dalam praksis social
untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaannya. [8]
Kelima prinsip di atas tersebut menjadi sangat
penting untuk memberikan rumusan, terkait dengan tujuan pendidikan Islam.
Karena itu Pendidikan Islam harus melengkapi berbagai elemen guna
mengaktualisasikan kelima prinsip di atas. Pembentukan karakter juga
beroreintasikan kepada kelima prinsip tersebut, yang harus dilakukan secara
berkesinambungan. Sebab, pendidikan atau pembentukan karater harus dilakukan
secara berkesinambungan, sehingga dapat menentukan karakter tersebut dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa pembentukan
karakter merupakan sebuah peroses untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam. Yaitu, untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Tujuan ini akan tercapai apabila seseorang telah memiliki
dan memelihara keimanan dan ketaqwaan kepada Allah., dimana keimanan dan
ketaqwaan merupakan indikator dari karakter itu sendiri. Terdapat hubungan yang
signifkan antara indikator karakter dengan pendidikan islam, maka pendidikan
karakter memiliki dasar yang kuat dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
Islam itu sendiri.
1.
Ruang
Lingkup Pembentukan karakter
Pendidikan secara umum merupakan upaya untuk memberdayakan semua potensi
diri yang ada pada manusia. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan secara utuh
dan integral, karenanya pendidikan diarahkan untuk mematangkan manusia secara
utuh yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ketidakberhasilan pendidikan, salah satunya karena hanya mengejar salah satu dari dimensi tersebut dan mengabaikan dimensi yang lain. Bila
pendidikan hanya mengejar kematangan dimensi kognitif dengan memaksimalkan
proses transfer ilmu ke dalam otak, maka tentu belum sampai pada upaya untuk
menciptakan kematangan dalam berbuat baik. Karenanya, penyebab ketidakmampuan
seseorang berlaku baik, meskipun sudah mempunyai pengetahuan tentang kebaikan
tersebut adalah karena tidak berlatih untuk melakukan kebaikan.[9]
Terkait dengan lingkup pembentukan karakter ini, Abdul Majid dan Dian
Andayani menjelaskan bahwa ada beberapa pilar pendidikan karakter dalam
membentuk karakter diantarannya sebagai berikut:
1. Moral Knowing (pengetahuan tentang kebaikan)
yang meliputi:
a. Kesadaran moral (moral awarenes)
b. Pengetahuan tentang nilai-nilai (knowing
moral values)
c. Penentuan sudut pandang (perspective
taking)
d. Logika moral (moral reasoning)
e. Keberanian mengambil menentukan sikap (Decision
making)
f. Dan pengenalan diri (self knowledge)
2. Moral Loving atau Moral Feeling berarti
penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap, terutama dalam hal kesadaran akan jati
diri, yaitu:
a. Percaya diri (self Esteen)
b. Kepekaan terhadap derita orang lain (empathy)
c. Cinta kebenaran (loving the good)
d. Pengendalian diri (self control)
e. Kerendahan hati (humility)
3. Moral Doing/moral action, bagaimana
membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.[10]
Anak mengetahui bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik. Mencontek juga
perbuatan yang tidak baik, akan tetapi banyak yang melakukannya. Jadi ada
kesenjangan antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukannya. Dengan
demikian orang tua atau guru harus bisa mengarahkan anak untuk bertindak
konsisten antara pikiran dengan tindakannya.
Berpedoman kepada tiga pilar
pendidikan karakter diatas, berarti secara kognitif anak mengetahui (Moral
Knowing), akan tetapi tidak berlatih melakukan (moral action). Untuk itu
orang tua atau guru tidak cukup memberi pengetahuan tentang kebaikan, akan
tetapi harus membimbing anak sampai pada tahap implementasi pada kehidupan
kesehariannya.
Pada sisi lain, yang perlu disadari adalah mendidik kebiasan baik saja
tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai nilai-nilai kebaikan. Misalnya, seseorang tidak mencuri
karena mengetahui sanksi hukumnya, bukan karena kinginannya untuk menghargai
nilai kejujuran. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga
aspek perasaan (moral feeling), yaitu keintaan untuk berbuat baik.
Salah satu cara
untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah dengan cara membangkitkan
kesadaran anak akan pentingnya memberi komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan.
Dengan demikian perlunya penekanan ketiga pilar ini dalam rangka anak mampu
memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebaikan.
Berkaitan
dengan kompleknya lingkup pembentukan karakter, sehingga prosesnya mesti
mencakup dan mengembangkan berbagai dimensi atau unsur-unsur secara kompleks, maka pendekatan yang digunakan harus
bersifat multi dimensi pendekatan. Bahkan, proses pembentukan karakter dengan
media pendidikan juga tidak bisa mempertimbangkan lingkungan dimana peserta
didik berinteraksi. Karenanya, pihak yang mempunyai peran dalam pengembangan
karakter meliputi lingkungan sekolah dengan berbagai unsur-unsur yang terkait dengan
proses pendidikan, keluarga sebagai lingkungan inti peserta didik dan mayarakat
sebagai lingkungan yang dapat mendukung bagi pembentukan karakter.
Disamping itu, pembentukan karakter peserta didik harus mengacu kepada
pengembangan berbagai potensi atau unsur-unsur harkat dan martabat yang secara
keseluruhan bersesuauaian dengna nilai-nilai luhur dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (Pancasila) dan nilai-nilai
yang dilandasi ajaran Islam. Sejalan dengan ini, Prayitno dan Afriva Khaidir
memberikan perincian bahwa harkat dan martabat manusia tersebut meliputi tiga
komponen, yaitu sebagai berikut:
1. Hakikat manusia yang meliputi lima unsur,
yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa,
paling sempurna, paling tinggi derajadnya, khalifah di muka bumi, dan
penyandang HAM. Pembentukan karakter sepenuhnya mengacu kepada kelima unsur
hakikat manusia itu.
2. Dimensi kemanusiaan, meliputi lima dimensi,
yaitu dimensi ketrahan (dengan kata knci kebneanran dan keluhuran), dimensi
keindividuan (dengan kata kunci potensi dan perbedaan), dimensi kesosialan
(dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan), dimenasi kesusilaan (dengan
kata kunci nilai dan norma), dan dimensi keberagamaan (dengan kata kunci iman
dan takwa). Penampilan kelima unsur dimensi kemanusiaan dalam kehidpan
seharai-hari akan mencerminkan karakter individu yang bersangkutan.
3. Pancadaya kemanusiaan, meliputi lima potensi
dasar, yaitu daya takwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya.
Melahirkan pengembangan seluruh unsur pancadaya inilah pribadi berkarakter
dibangun.[11]
Berhubungan dengan panca daya kemanusiaan maka karakter yang ditanamkan
disesuaiakan daya-daya yang ada dalam diri manusia. Pemerintah telah
mengembangkan Desain Induk Pembangungan Karakter Bangsa (2010-2025 (Pemerintah
Republik Indonesia, 2010), yang didasarkan pada Pancasila antara lain dapat
dikemukakan berikut ini:
1. Karakter yang bersumber dari hati, antara lain
beriman dan bertakwa, bersyukur, jujur, adil, tertib, sabar, disiplin, taat
aturan, bertanggung jawab, berempati, punya rasa iba, berani mengambil resiko,
pantang menyerah, menghargai lingkungan, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara
lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, analitis, ingin tahu, produktif,
berorientasi iptek, dan reflektif.
3. Karakter yang bersumber dari olah raga/
kinestetika antara lian bersih dan sehat, sportip, tangguh,
andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, diterminatif, kopetitif, ceria,
ulet dan gigih.
4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan
karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, saling mengasihi, gotong
royong, kebersamaan, ramah, peduli hormat, toleran, nasionalis, kosmopolit,
(mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air, (patriotis), bangga
menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos
kerja.
Gambar1 : Desain Pembentukan Karakter Bangsa
![]() |
Mencermati berbagai komponen pembentukan karakter di atas, maka pembentukan
karakter adalah gambaran upaya untuk
membina berbagai unsur atau potensi yang terdapat dalam diri manusia, terutama
yang terkait dengan keimanan dan ketakwaan. Karena dimensi keimanan dan
ketakwaan menjadi hal yang mendasar dalam membina kepribadian manusia. Dimensi
ini menjadi landasan untuk membina dimensi kemanusiaan yang meliputi kehidupan
individu, sosial, aspek moralitas serta keberagamaan. Dengan demikian,
pembentukan karakter harus meliputi pembinaan sejumlah dimensi kemanusiaan di
atas. Secara metodologis tentu berbagai dimensi tersebut harus diberikan
pembinaan yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.
4. Fungsi
Pembentukan Karakter
Mengingat ruang lingkup dan pentingnya pembentukan karakter terhadap
peserta didik, terutama bila dikaitkan dengan hakekat manusia dan tujuan
pendidikan Islam, maka pembentukan karakter menjadi sesuatu yang tidak bisa
dikesampingkan dalam kehidupan. Menurut penulis, pembentukan karakter menjadi
sebuah proses yang relevan dalam mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi
tantangan zaman. Karena itu, kerangka berfikir atau paradigma pembentukan karakter sebagai proses pendidikan yang
membutuhkan komitmen dan konsistensi dari berbagai piuhak harus terpadu dan
terintagrasi antara fungsi pembentukan karakter dengan tujuan pendidikan Islam
itu sendiri.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengintegrasikan
berbagai pilar pendidikan dan meliputi berbagai dimensi kependidikan, mulai dari
aspek kognitif sampai pada aspek psikomotorik. Pilar pendidikan merupakan
lingkungan yang dapat mempengaruhi peserta didik dalam membentuk karakter yang
membentuk karakter yang terbentuk. Dalam artian, segala yang ada di sekitar
peserta didik yang berupa peristiwa yang terjadi, kondisi masyarakat, terutama tempat yang
dapat memberi perngaruh kuat dalam perkembangan jiwa anak, yaitu di tempat
proses pendidikan berlangsung dan tempat bergaul sehari-hari.[13] Pilar pendidikan ini mencakup tiga wilayah
pendidkan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan suatu kesatuan, dimana anggota-anggotanya mengabdikan
diri kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut.[14] Keluarga merupakan komunitas pertama yang
menjadi tempat bagi seseorang untuk belajar baik dan
buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain lingkungan
kelurgalah seseorang belajar tata nilai. Di dalam lingkungan kelaurga,
pendidikan tidak mempunyai sistem tertentu sebagaimana di sekolah. Pendidikan
dalam keluarga berlangsung sejalan dengan mengikuti kehidupan nyata, baik
dilakukan dengan sengaja maupun tidak. Dengan demikian, kepentingan bagi anak
berlangsung tidak secara sistematis,[15] yang tidak akan ditemukan daftar pelajaran
secara tertulis dan resmi dalam bentuk yang sistematis.[16] Dengan demikian, pilar pendidikan lingkungan
keluarga tumbuh dan berkembang secara manusiawi dalam mencapai kedewsaan. Namun
demikian, anak senantiasa akan memperolah pengaruh mendasar dari lingkungan
keluarga ini sebagai landasan pembentukan karakter.
Disamping keluarga, pilar kedua yang tidak
kalah penting proses pembentukan karakter adalah sekolah. Berbeda dengan
keluarga, sekolah merupakan kegiatan kependidikan yang memiliki sistem tertentu.
Dalam hal ini, di sekolah telah ditetapkan dasar-dasar dan tujuan pendidikan,
yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi mewujudkan ketaatan kepada Allah. Di
lingkungan inilah peserta didik dapat mencapai kemanfaatan dalam berbagai
dimensi kehidupan, baik kognitif, afektif dan psikomotorik secara sistematis.[17] Kendatipun ada perbedaan bentuk
lingkungannya. Namun mesti ada kesatuan pemahaman antara keluarga dan sekolah
dalam memberikan kegiatan pendidikan kepada peserta didik agar tidak terjadi
kontra produktif antara keduanya, sehingga menyebabkan kebingungan pada anak
yang pada akhirnya pada proses pembentukan karakter. Secara lebih spesifik
tujuan pendidikan karakter di sekolah mencakup:
a. Membantu para siswa untuk mengembangkan
potensi kebajikan mereka masing-masing secara maksimal dan mewujudkan dalam
kebiasaan baik: baik dalam pikiran, sikap, hati, perkataan dan perbuatan.
b. Membantu siswa menyiapkan diri menjadi warga
negara yang baik.
c. Dengan modal karakter yang kuat dan baik, para
siswa diharapkan dapat mengembangkan kebajikan dan potensi dirinya secara penuh
dan membangun kehidupan yang baik, berguna dan bermakna.
d. Dengan karakter yang kuat dan baik, para siswa
diharapkan mampu menghadapi tantangan yang muncul dari makin derasnya arus
globalisasi dan pada saat yang sama mampu menjadikannnya sebagai peluang untuk
perkembangan dan berkontribusi bagi masyarakat luas dan kemanusiaan.[18]
Pilar juga ikut memberikan pengaruh pembentukan karakter adalah lingkungan
masyarakat. Anak-anak atau peserta didik adalah bagian dari makhluk sosial yang tidak bisa mengelak sebagai anggota dari
berbagai golongan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan
sejumlah kelaurga, dimana di dalamnya terdapat aturan, hukum, adat kebiasaan
atau tata tertib yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[19] Sebagai lingkungan yang memiliki ikatan
kesatuan sosial, kebudayaan dan agama, masyarakat tentu juga tidak kalah
penting menjadi bagian yang sangat memberikan pengaruh
terhadap anak-anak atau peserta didik.[20] Ketiga pilar pendidikan tersebut tidak bisa
saling menafikan, karena keberadaannya praktis dilalui oleh anak-anak atau
peserta didik dalam kehidupan. Karena itulah, pembentukan karakter harus
meliputi tiga pilar pendidikan sebagaimana dijelaskan diatas.
Pertimbangan lain
dalam pembentukan karakter adalah dimensi hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan
yang paling sempurna dan memiliki berbagai pptensi positif. Kedudukan dan
keberadaan hakikat manusia yang memang memiliki kualitas dibandingkan makhluk
lain, menjadi dasar pemahaman bahwa pendidikn bukan untuk menciptakan sesuatu
yang belum ada dalam diri manusia, melainkan untuk mengembangkan potensi
tersebut agar dapat teraktual dalam bentuk perilaku sehari-hari. Bahkan, bila dikaitkan
dengan landasan normatif, yaitu al-Qur’an, maka hakikat tujuan
diciptakan manusia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah.[21] Aktualisasi dari pengabdian tersebut merupakan gambaran
tercapainya indikator karakter dalam diri anak dalam bentuk keimanan dan
ketakwaan kepada Allah.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka mempertimbangkan manusia sebagai makhluk yang telah
mempunyai potensi (fitrah) dan tujuan pendidikan Islam merupakan dua hal yang
harus menjadi pertimbangan dalam menentukan proses pembentukan karakter. Kedua
dimensi ini tidak bias dilihat secara parsial, melainkan harus dipahami dalam
lingkup integral. Keduanya harus dipahami dua sisi yang saling membutuhkan dan
saling memberikan dukungan bagi kelancaran untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan untuk menjadi pengabdi Tuhan
dan Khalifah di permukaan bumi atas dasar keimanan dan ketakwaan.Sedangkan
pendidikan, khususnya pendidikan Islam, memiliki tujuan untuk menciptakan
manusia yang beriman dan bertakwa untuk mendapatkan atau mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itulah, maka fungsi pembentukan karakter tentu tidak
bisa dilepaskan dari dua faktor tersebut, yaitu
faktor manusia sebagai makhluk yang telah dianugerahkan berbagai potensi kemanusiaannya
dan faktor pendidikan yang dijadikan sebagai media untuk mengaktualkan berbagai
potensi tersebut agar bisa teraktual dalam kehidupan. Manusia dengan berbagai
potensi positif yang ada di dalamnya tidak teraktual apabila tidak didukung
oleh proses pembinaan secara berkesinambungan. Sejalan dengan hal itu,
pendidikan dengan format kurikulum yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia
juga secara konsisten harus mengarah dan mendukung upaya untuk mengaktualkan
berbagai potensi tersebut secara baik dan mampu mengangkat sisi kemanusiaan
manusia pada tingkat kemuliaan. Kemuliaan tidak diukur oleh nilai-nilai
pragmais-hedonis, melainkan nilai-nilai yang tinggi didasarkan oleh agama,
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itulah, fungsi pembentukan
karakter adalah untuk mengembangkan berbagai potensi dasar yang dimiliki
manusia.[22]
Untuk mencapai tujuan pembentukan karakter tersebut, dalam perspektif
pendidkkan, dibutuhkan kurikulum yang bersifat holistik atau kurikulum yang
berbasis karakter tersebut mesti menyentuh berbagai dimensi kehidupan peserta
didik atau harus memenuhi seluruh potensi positif yang telah diciptakan dalam
diri manusia. Kurikulum pendidikan harus merefleksikan berbagai dimensi atau
potensi, mulai dari kognitif, keterampilan atau dengan menampilkan tema-tema
yang menarik dan kontekstual.[23] Dengan demikian, pendekatan holistik dalam
pembentukan karakter bukan sekedar tertuju pada pembinaan berbagai potensi
kemanusiaan, bahkan juga mengarah pada upaya mempersiapkan diri anak terhadap
fenomena sosial kontemporer agar anak betul-betul mampu berhadapan dengan
persoalan hidupnya.
Fenomena sosial atau kejadian-kejadian alamiah yang diformat melalui
kurikulum adalah salah satu cara untuk memberdayakan kemampuan ekslopratif
siswa sebagai proses pembelajaran bermakna untuk membeirkan kemampuan dalam
mencerdaskan sikap hidup.
Sebuah pembelajaran yang bersifat holistik dapat dirancang dan dilakukan
dengan baik, apabila pembelajaran tersebut bersifat alami, nyata, dekat dengan
kehdiupan diri dan guru yang melaksanakannya mempunyai konsep yang terpadu
dengan baik.[24] Konsep ini merupakan salah satu upaya untuk
memahami segala sesuatu dengan mencari makna. Pencarian siswa tentang sesuatu,
sebenarnya menajdi kesempatan bagi siswa untuk memberdayakan berbagai potensi
diri secara mandiri, sehingga pada akhirnya membentuk pemahaman secara utuh
dengan mengembangkan kemampuan aspek fisik, emosi, sosial, kreatifitas,
spiritual dan intelektual. Dengan demikian, pembentukan karakter juga harus
memanfaatkan dan mengembangkan sifat dasar alamiah manusia dengan menjadikan
fenomena kehidupan sebagai bahan pembelajaran. Bahkan, proses ini akan
memberdayakan kemandirian siswa dalam menyikapi berbagai fenomena kehidupan
berdasarkan karakter yang ditanamkan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka pembentukan karakter melalui kegiatan Rohis yang berbasis karakter sangat penting dan memiliki fungsi
strategis dalam kehidupan peserta didik atau manusia pada umumnya. Bahkan,
pembentukan karakter dalam bentuk pengembangan karakter merupakan basis untuk
mencapai kesuksesan. Dengan demikian, pembentukan karakter bukan sekedar
terfokus pada proses pembinaan potensi secara integral, bahkan leibh dari itu adalah untuk memberikan kemampuan peserta didik agar dapat
sukses dalam kehdupannya. Sebab, salah satu peluang
kesuksesan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan individu dalam memaknai
segenap fenomena sosial sebagai peluang yang harus dimanfaatkan.
Bila dilihat dari perspektif manusia, maka pembentukan karakter harus mengarah
kepada upaya untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti
memuliakan manusia. Sebab, agama sendiri pada hakikatnya telah menempatkan
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.[25] Kesempurnaan atau kemuliaan manusia bukan
sekedar ditentukan oleh bentuk fisik bila dibandingkan dengan makhluk lain,
akan tetapi kemuliaan itu ditenutkan oleh kemapuan untuk memberdayakan
kemampuan untuk taat kepada penciptanya, yaitu untuk beriman dan beramal saleh.
Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan bahwa hakikat manusia
meliputi kepada sejumlah unsur yang terdir dari beirman dan bertakwa kepad
Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan paling sempurna, derajat paling tinggi,
berstatus sebagai khalifah dibumi dan menyandang hak asasi manusia.[26] Sejumlah unsur-unsur tersebut secara
potensial melekat pada diri manusia, akan tetapi mnasih membutuhkan proses
aktualisasi yang memadai dan berkesinambungan. Pembinaan yang dilakukan secara
berkesinambungan tersebut diharapkan dapat menjadi kepribadian atau disebut
juga sebagai karakter, sehingga menempatkan manusia pada posisi mulia, bukan
sekedar dihadapan manusia, tapi juga dalam pandangan Allah SWT.
Sejalan dengan pandangan di atas, Muchlas Samani dan Hariyanto juga
menjelaskan bahwa pembentukan karakter dari perspektif hakikat manusia
berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berfikir baik
dan berperilaku baik.[27] Semua unsur atau sifat dasar yang berbentuk
potensi diri, sebagaimana dijelaskan di atas, hendaknya berujung pada upaya
untuk membina hati agar menjadi baik, membina pikiran agar terbiasa berpikiran
positif, dan berupaya membiasakan diri dengan kebiasaan yang baik agar perilaku
baik. Dengan demikian, pembentukan karakter yang berpusat kepada manusia
berfungsi untuk memberdayakan dan mengembangkan berbagai potensi
tersebut agar menjadi manusia yang berkarakter.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa
pembentukan karakter memiliki fungsi untuk memberdayakan, membangun,
mengembangkan, serta memperkuat berbagai potensi positif yang terdapat dalam
diri manusia. Potensi yang dikembangkan tersebut meliputi hubungan manusia
dengan Allah yang teraktual dalam bentuk keimanan dna ketakwaan kepada Allah.
Hubungan manusia dengan manusia yang teraktual dalam bentuk kemampuan dalam mengembangkan
dimensi individual, kesosialan, kesusilaan, bahkan keberagaman. Hubungan
manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan, yaitu
kemampuan takwa, cipta, rasa, karsa dan karya.[28] Dengan demikian, pembentukan karakter
memiliki fungsi yang sangat strategis dalam rangka memuliakan kemanusiaan
manusia.
5. Usaha
Pembentukan Karakter
Secara etimologis, usaha merupakan kegiatan dengan mengerahkan tenaga,
pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan.[29] Tenaga dan pikiran merupakan dua unsur yang
tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan karakter. Dalam pikiran terdapat
berbagai program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan ia merupakan
pelopor segalanya.[30] Pengalaman hidup terbentuk dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, dimana ia didahului
oleh kesadaran dan pemahaman yang akan menjadi karakter seseorang. Dalam proses
pembiasaan, tersebut, badan atau fisik menjadi salah satu unsur yang juga tidak
bisa diabaikan dalam sebuah usaha. Hal ini semakin menegaskan bahwa tenaga,
pikiran dalam sebuah usaha. Hal ini semakin menegaskan bahwa tenaga, pikiran
dan badan merupakan tiga unsur penting dalam proses pembentukan karakter.
Pembentukan karakter dalam sistem pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan
dari sistem ideologi dan nilai. Ideologi menjadi basis pengajaran
untuk menentukan bentuk dan arah pembentukan karakter dalam pendidikan Islam.
Ini menegaskan bahwa karakter yang dimaksud dalam pendidikan Islam tidak bisa
dilepaskan dimensi ideologi dalam Islam, yaitu nilai-nilai tauhid. Sistem
ideologi inilah yang membedakan pembentukan karakter dalam pendidikan Islam
menjadi berbeda sistem pendidikan non Islam.
Dimensi lain yang juga memberikan warna pembentukan
karakter dalam pendidikan Islam adalah sistem nilai. Pembentukan karakter dalam
konteks pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip nilai yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah menjadi
landasan utama dan mencakup kebenaran mutlak yang bersifat universal. Bahkan
kebenarannya berlaku untuk setiap tradisi dan zaman umat Islam. Sistem nilai
ini juga yang membedakannya dengan sistem nilai yang dikembangkan oleh sistem
pendidikan non muslim yang bersifat relatif, karena ia merupakan hasil
pemikiran manusia pada zaman tertentu.
Sistem ideologi dan
nilai menjadi dua hal yang urgen dan mendasar dalam proses pembentukan
karakter. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada upaya untuk membentuk
karakter hendaknya didasarkan kepada dua sistem tersebut. Bahkan, dalam
menjabarkan bentuk-bentuk karakter yang menjadi indikator pendidikan karakter
tidak bisa dilepaskan dari prinsip tauhid dan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an
Sunnah. Dua sistem ini yang membedakan pembentukan karakter dalam
pendidikan islam dengan pendidikan non muslim.
Dalam usaha pembentukan karakter terhadap peserta didik,
maka berbagai komponen dalam pendidikan Islam harus dijiwai oleh dua sistem
sebelumnya. Bahkan, dua sistem ini harus berfungsi demi menjaga dan menuntun
pendidikan Islam, sehinggan pembentukan karakter dapat dilakukan dengan baik
dan benar. Sejalan dengan ini, Ramayulis menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan
dalam pembentukan karakter dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:
1. Pendekatan pada internalisasi nilai dalam
pembelajaran, yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
a. Pengembangan Pengetahuan (Knowing)
b. Pengembangan Keterampilan (Doing)
c. Penanaman Nilai (Being)
2. Mempergunakan berbagai pendekatan dalam proses
pembelajaran
a. Pendekatan keteladanan
b. Pendekatan pembiasaan
c. Pendekatan fungsional
3. Menciptakan suasana keagamaan
a. Mengenalkan kepada peserta didik semua
perangkat tata nilai dan institusi yang ada di dalam masyarakat.
b. Mengupayakan agar setiap tenaga kependidikan
bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam
c. Melakukan berbagai kegiatan yang dapat
terciptanya suasana keagamaan
d. Menciptakan hubungan yang islami dalam bentuk
rasa saling toleransi, saling menghargai, saling menyayangi, saling membentuk
dan mengakui eksistensi.
Tesis
ini akan diuraikan dengan mengacu kepada apa yang dijelaskan Ramayulis diatas.
Penulis beranggapan bahwa pandangan di atas, lebih representatif dalam
menggambarkan berbagai kegiataan yang
diperlukan dalam usaha membentuk
krakter peserta didik. Sebagai landasan teoritis, maka pandangan Ramayulis di
atas, dijadikan dasar atau kerangka berfikir dalam menjabarkan bentuk-bentuk
kegiatan yang dilakukan pada objek penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
Pentingnya landasan teoritis ini untuk menjaga konsistensi penulisan agar lebih
terarah dan bisa mencapai target penelitian yang telah ditentukan dalam batasan
masalah.
[1] Prayitno dan Afriva
Khaidir, Loc. Cit.
[2]Wahjoetomo,
Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, ( Jakarta
: Gema insane, 2007), h.
21
[3]H. M. Arifin, Hubungan
Timbale Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah Dan Keluarga, (
Jakarta ; Bulan Bintang, 1976), h. 110
[4]Abu Ahmad dan Uhbaity,
Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Melton Puter, tp. th), h. 68
[5]Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafaht
Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bulan BIntang, 1979), h. 36
[6]Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam Pendekata Historis Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Ciputat
Press, 2002), h. 36
[7] UU No. 20 Tahun, 2003
Tentang System Pendidikan Nasional (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h.
5-6
[8]Mohd. Roqib, Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta :
LKIS, 2009), h. 32-33
[13]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1994), h. 147
[14]Zahara Idris, Pengantar Pendidikan, (Jakarta:
Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992), h. 83
[16]Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
Aksara Baru, 1988), h. 66
[17]Abdurrahman an Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 150
[19] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 158
[21]Q.S. Asz-Dzariyyat. 51:56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
[23] Masnur Muslich, op.cit., h. 32
[24]Ibid.
[25]Q.S. at-Tin 95:4-6: “
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (Neraka), kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.
[26]Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 5
[28]Prayitno dan Afriva Khaidir, Ioc.cit.
[29]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 997
[31]Ramayulis, Dasar-dasar Pembentukan Karakter Peserta Didik
dalam Konsep Pendidikan Islam, Makalah, Seminar Nasional “Integrasi
Nilai-nilai Pendidikan Karakter Untuk Membangun Peradaban Bangsa Berkualitas”
di PPS Imam Bonjol Padang. (Padang: 25 November 2010), h. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar