Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian spiritual
Setelah
pada pembahasan sebelumnya, diuraikan tentang kecerdasan emosional yang
membantu seorang individu untuk mencapai keberhasilan hidup, kemudian muncul
kecerdasan spiritual (SQ) merupakan temuan terkini secara ilmiah. Wacana
kecerdasan spiritual merupakan temuan paling mutakhir di antara jenis kecerdasan
yang lain.
Kecerdasan
ini pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University.
SQ mulai populer pada awal abad dua puluh satu melalui tulisan Danar Zohar
dalam bukunya Spiritual Capital dan
berbagai tulisan lainnya. Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang
paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain.
Kecerdasan
spiritual terdiri dari dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan
adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama
masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Kecerdasan (Intelegence)
dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan
abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani
situasi-situasi baru.
Kata
spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh atau jiwa. Kata ini
berasal dari bahasa Latin, spiritus,
yaitu nafas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan yang membuat manusia
dapat hidup, bernafas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di
luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Spiritual juga
berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, dan moral. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, spiritual berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani dan
batin).[1]
Sementara
itu Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah
dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non
fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri sendiri. Suatu kesadaran yang
menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang dinamakan
sebagai sumber keberadaan manusia.[2]
2. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Ary Ginanjar
Agustian mengibaratkan kecerdasan spiritual sebagai God Spot
atau God Module “tempat tertentu di
dalam otak yang secara spesifik merespon segala sesuatu yang berhubungan dengan
nilai-nilai yang mengarah kepada spiritual keagamaan.
God
spot
merupakan pusat spiritual yang berlokasi diantara koneksi-koneksi syaraf yang
terletak di lobe temporal otak. God spot ini tidak membuktikan
eksistensi Tuhan, tetapi menunjukan bahwa otak telah mengembangkan atau
menjawab permasalahan puncak/akhir (ultimate question), untuk memiliki
atau menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas. [3]
Toto
Tasmara menyebutkan “kekuatan spiritual keagamaan” dengan istilah “kecerdasan
ruhaniah”. Menurut Toto yakni:
Jika
secara ilmiah telah ditetapkan bahwa kecerdasan spiritual yang berada pada God Spot merupakan fitrah fisikal yang
melekat pada manusia, maka kecerdasan ruhaniah (kekuatan spiritual kegamaan),
merupakan muatan yang ada didalamnya, yaitu kesaksian dan pengakuan keilahian.[4]
Hal
tersebut juga dijelaskan dalam firman Allah, Q.S, Al-A’raf:172;
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belulang anak cucuk
adam) keurunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka
(seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhan mu? “mereka menjawab”, betul (engkau
Tuhan Kami), kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari
kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).”(Depag, 2010: 343)
Tanpa
keilahian, seluruh kecerdasan dengan sagala derivasinya nilai kemanusiaan,
cinta, dan kreativitasnya hanyalah amalan-amalan yang mendebu, tidak mempunyai
makna secara sempurna. Kecerdasan spiritual versi barat masih berada pada
potensi imajinasi kreatif, sedangkan kecerdasan ruhaniah (kekuatan spiritual
keagamaan) memberikan arah yang jelas kemana dan bagaimana imajinasi kreatif
tersebut harus diarahakan.
Berman
(2001: 98) mengungkapkan bahwa Kecerdasan
spiritual dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan
tubuh. Berman juga mengatakan bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu
sesorang untuk dapat melakukan transendensi diri. Transendensi diri yang
dimaksud yaitu pendekatan diri kepada Sang Pencipta alam yakni Tuhan Yang Maha
Esa.[5] Spiritual keagamaan berarti kekuatan
yang bersifat Ilahiyah, esensi hidup, penuh dengan kebajikan, suatu ciri atau
atribut kesadaran yang mencerminkan nilai-nilai memanusiakan.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar
dan Marshal mencoba menyoroti hubungan antara agama dan kecerdasan spiritual.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa kecerdasan spiritual selalu berhubungan
dengan agama. Menurut keduanya kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Agama
merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan kecerdasan spiritual adalah
kemampuan internal, sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam.
Kecerdasan spiritual mampu
menghubungkan manusia dengan roh esensi di belakang semua agama. Orang yang kecerdasan
spiritualnya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam
beragama. Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall
tidak selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan, sebab menurut mereka seorang
yang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Bagi
mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup,
nilai-nilai dan keutuhan diri.
Kesemuanya tidak perlu berkait
dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar,
berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di sini tampak
bahwa Zohar dan Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara
mendapatkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Zohar dan Marshall
mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses
berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka
mempergunakan istilah kecerdasan spiritual.
Untuk lebih memahami apa itu
kecerdasan spiritual, penulis akan menguraikan beberapa pendapat, tentang
pengertian kecerdasan spiritual, yaitu:
a. Menurut Ary Ginanjar
Agustian (2001) mengartikan kecerdasan spiritual sangat berhubungan dengan
nilai-nilai Ilahiah yang merupakan substansi kekuatan spiritual keagamaan,
sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:
Kecerdasan
spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap jenis
prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah
menuju manusia yang seutuhnya hanif dan memiliki pola pikir tauhid
(integralistik) serta berprinsif karena Allah. Orang yang memiliki
kekuatan spiritual keagamaan berarti orang yang mampu mengaktualisasikan
nilai-nilai Ilahiyah sebagai manesfestasi dari aktivitasnya dalam kehidupan
sehari-hari dan berupaya mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dalam
kehidupan sebagai wujud dari pengalamanya terhadap tuntutan fitrah sebagai
mahkluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang berada diluar
jangkauan dirinya yaitu Maha Pencipta.[6]
b. Dilihat dari perspektif Islam Yahya Jaya mengatakan, “Kekuatan
spiritual keagamaan itu tediri dari 3 aspek yaitu keimanan, keislaman, dan
keihsanan, atau aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat, atau aqidah, syariah dan
akhlak”.[7]
c. Danah Zohar dan
Ian Marshall mengemukakan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan
memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai
bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa
memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah
kita akan pergi.[8]
d. Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas.[9]
Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat
fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas .
e. Kecerdasan
spiritual adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat
atau tidak berbuat. Kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang
membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spiritual membangunkan
orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
f. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berperan
sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita.[10]
Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan
spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat
menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan
yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari
keseluruhan. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih
positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.
Orang yang cerdas secara spiritual
tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia
menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada
warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada
situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Orang yang mempunyai
kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi
makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya.
Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan
melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Manusia yang memiliki kecerdasan
spiritual tinggi cenderung akan lebih bertahan hidup dari pada orang yang
berkecerdasan spiritual rendah. Banyak kejadian-kejadian bunuh diri karena
masalah yang sepele, mereka yang demikian itu tidak bisa memberi makna yang
positif dari setiap kejadian yang mereka alami dengan kata lain kecerdasan
spiritual mereka sangat rendah.[11]
Kecerdasan spiritual ini adalah
kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang
memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan
apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi
oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling
sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Kecerdasan
spiritual mampu mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang
mempunyai pemahaman kecerdasan spiritual yang
tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh,
dari sana ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang kecerdasan spiritual akan
memberi sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia
telah tenang karena aliran darah telah teratur maka individu akan dapat
berfikir secara optimal, sehingga ia lebih tepat dalam mengambil keputusan.
Manajemen
diri untuk mengolah hati dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya denga kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional, tetapi juga memerlukan kecerdasan
spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sangat berperan dalam
diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang dapat
sukses berkarya hanya dengan kecerdasan rasional (yang bekerja dengan rumus dan
logika kerja), melainkan orang perlu kecerdasan emosional agar merasa gembira,
dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggung jawab
dan life skill lainnya. Perlunya mengembangkan kecerdasan
spiritual agar ia merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur
dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu kecerdasan spiritual merupakan
kunci utama kesadaran dan dapat membimbing kecerdasan lainnya. Kemampuan untuk
mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri,
mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain.
3. Faktor-faktor Kecerdasan Spiritual
Menurut Sinetar otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan,
kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong
kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang
tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.[12] Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Ary
Ginanjar Agustian adalah:
a.
Inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri
(suara hati), seperti keterbukaan, tanggung jawab kepercayaan, keadilan, dan
kepedulian sosial
Zohar dan Marshall mengungkapkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu[14] :
a.
Sel saraf otak. Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan
lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes,
adaptif dan mampu mengorganisasikan diri.
b.
Titik Tuhan (God spot). Dalam
peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal
yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia
menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God
Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman
spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam
kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak,
seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
Selain dari faktor-faktor yang akan mengoptimalkan kecerdasan
spiritual, ada juga aspek-aspek dalam
kecerdasan spiritual yang harus diperhatikan, yaitu :
a.
Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata
hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin
yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
b.
Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan
dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan
terbaiknya.
c.
Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak
menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya
memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d.
Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang
lain di mata kita penting atau kita cintai.
e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau
berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada
orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.
Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan
gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan
panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi
kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.
4. Ciri-ciri Kecerdasan spiritual
Dilihat
perpektif Islam Yahya Jaya mengatakan kekuatan
spiritual keagamaan terlihat dari
3 yaitu “keimanan, keislaman, dan keihsanan, atau aqidah, ibadah dan akhlak
serta muamalat, atau akidah, syariah dan akhlak.[15]”
a.
Aqidah/Keimanan
Secara
etimologi, aqidah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata akada, yakidu, Aqadan dan Aqidatun. Akida berarti simpulan, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah
terbentuk menjadi akida berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata aqadan dan aqida adalah keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati
dan fikiran yang bersifat dan mengandung perjanjian.
Aqidah
merupakan sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Aqidah juga bisa disebut dasar atau fondasi
yang harus dimiliki oleh setiap munusia untuk mendekatkan diri kepada Rabb Sang
Maha Pencipta.
Aqidah
berorientasi kepada keimanan. Iman merupakan pengakuan, ucapan dan perasaan serta perbuatan, atau
dengan kata lain, iman adalah suatu pengakuan diri terhadap sesuatu, yang
diyakini, diucapkan dan dirasakan serta diwujudkan dalam bentuk tindakan atau
perbuatan. Keimanan perspektif islam memiliki dimensi-dimensi keimanan yang
disebut dengan rukun iman. Penjelasan tersebut juga dijelaskan Rasulullah SAW
dalam sabadanya sebagai berikut;
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا
لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَا الاِيْمَانُ قَالَ الاِيْمَانُ اَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالبَعْثِ
قَالَ مَا الاِسْلاَمُ قَالَ الاِسْلاَمُ اَنْ تَعْبُدَ اللهِ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ
وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّىَ الزَّكَاةَ المَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ
رَمَضَانَ قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ اَنْ تَعْبُدَ اللهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لمَْتَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
Abu Hurairah r.a
berkata; pada suatu ketika Nabi SAW duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang
seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu ?”Nabi menjawab, “Iman adalah
percaya Allah SWT, para malaikat-malaikatnya, dan akan berhadapan kepada Allah,
dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari kebangkitan, lalu bertanya,
apakah islam itu? jawab Nabi SAW, Islam adalah menyembah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan shalat, membayar
zakat, dan puasa pada bulan ramadhan, Lalu bertanya apakah ihsan? Rasulullah
SAW menjawab, ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-akan anda melihatanya,
maka jika tidak dapat melihatnya, ketahuilah bahwa Allah itu melihatmu”,…(HR.Bukhari)
Dari
keterangan hadis di atas, mendiskripsikan bahwasanya iman memiliki 6 dimensi
yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-kitab Allah,
iman kepada Rasul-rasul Allah, iman kepada hari Kiamat, dan iman kepada Qada’
dan Qadar. Dari 6 rukun iman tersebut merupakan indikator kekuatan spiritual
keagamaan dari aspek Aqidah/ Keimanan.
b. Ibadah/Keislaman
Ibadah menurut bahasa berasal dari
bahasa Arab yaitu abada berarti
merendahkan diri serta tunduk kepada Tuhan. Sedangkan menurut istilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang
dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (zahir).
Sedangkan
menurut penulis ibadah merupakan sikap dan perbuatan penuh ikhlas dan tulus
dalam melaksankan segala aktivitas yang bernilai kebaikan dan kebenaran yang
diridhai Allah. Seperti belajar karena Allah, bekerja karena Allah, tolong
menolong sesama manusia karena Allah, berdo’a karena Allah, dan segala bentuk
kegiatan ataupun aktivitas lainya yang dilandasi dengan ketulusan dan mengharap
ridha Allah.
Ibadah perspektif Islam menurut
sikap pelaksananya terbagi menjadi tiga bagian yaitu ibadah qalbiah (hati),
lisaniah (lisan), dan badaniah (anggota badan).
1) Ibadah qalbiah, yaitu sesuatu yang
memiliki rasa khauf (takut), raja’(mengharap), mahabbah(cinta),
tawakkal (berserah diri), raghbah (senang), dan rahbah
(takut) kepada Allah dan adanya rasa membutuhan akan Allah disisi manusia.
2) Ibadah lisaniah yaitu suatu sikap dengan
mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT dengan cara bertasbih, tahlil,
takbir, tahmid dan syukur dengan menyebut nama Allah SWT yang
maha sempurna.
3) Ibadah badaniah adalah suatu sikap dan
tindakan yang dilandasi penuh dengan ketulusan dan keihklasan yang mempunyai
rukun, syarat atau ketentuan bermunajat kepada Allah. Seperti shalat, puasa,
zakat, haji, dan jihad kepada Allah. (Islamhouse.com:
diunduh 17 Maret 2012).
Ibadah dari segi tujuan yaitu
berorintasi mengenal, mendekatkan dan pengabdian diri kepada Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya QS.Azhariat; 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya : dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku”,..(Depag:
2010: 1043)
Firman Allah SWT tersebut,
mendeskripsikan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar makhluk-Nya
mengabdi hanya kepada Allah SWT. Allah SWT Maha kaya, tidak membutuhkan ibadah
makhluk-Nya, akan tetapi makhluklah yang membutuhkan Allah, karena mereka
bergantung kepada Allah SWT, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada
Allah SWT, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan
selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan
barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya,
maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah SWT).
Dari keterangan di atas, orientasi
ibadah memiliki subtansi kehidupan. Dengan demikian sikap dan aktivitas yang
berwujud ibadah membentuk karakter dan nilai-nilai hikmah di antaranya yaitu:
a) Tunduk, patuh dan berserah diri kepada
Allah SWT
b) Menghadirkan rasa kedamaian dan
ketentraman
c) Mengahadirkan rasa sentosa dan
kesalamatan
Penjelasan di atas menyimpulkan
suatu padatan kata yang merangkum dari kesuruhan makna ibadah yaitu Islam. Dari
segi bahasa Islam berasal dari bahasa Arab asal kata aslama-yuslimu-islaman yang mempunyai makna majemuk dan komprehensip
bagi kemaslahatan manusia, yaitu tunduk, patuh, berserah diri, damai, sentosa,
kesalamatan, kesejahteraan dan kebahagian. Berikut penjelasan makna kata Islam
yang terjabar dalam alquran;
a)
Tunduk,
patuh dan berserah diri kepada Allah SWT
Islam adalah tunduk dan patuh atas
ketentuan serta berserah diri atas segala kebijakan dan ketetapan Allah SWT.
Allah SWT telah menciptakan alam semesta, kemudian menetapkan manusia
sebagai hambaNya yang paling besar perannya dimuka bumi. Manusia berinteraksi dengan
sesamanya, dengan alam semesta disekitarnya, kemudian berusaha mencari
jalan untuk kembali kepada Pencipta-Nya.
Takala salah
berinteraksi dengan Allah SWT, kebanyakan manusia beranggapan alam sebagai
Tuhannya sehingga mereka menyembah sesuatu dari alam. Ada yang
menduga-duga sehingga banyak di antara mereka yang tersesat. Ajaran yang
benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepadaNya alam
tunduk patuh berserah diri. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah;
112
4n?t/ ô`tB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u wur ì$öqyz öNÎgøn=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÊÊËÈ
Artinya: “Bahkan, barangsiapa aslama
(menyerahkan diri) sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat
pahala di sisi Tuhanya dan tika ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati”(Depag:
2010: 31)
Dari penjelasan tersebut
menjelaskan, Islam merupakan ketundukan kepada ketentuan Alah (sunnatullah)
yang terdapat pada ayat-ayat Allah di alam semesta (qauliyah)
maupun kitabullah yang tertulis (qauniyah).
b) Menghadirkan rasa ketentraman dan
kedamaian.
Islam adalah tuntunan Allah yang
menghadirkan ketentraman dan kedamaian. Dengan kasih sayang Allah menurunkan ad-dien (aturan hidup)
kepada manusia. Tujuanya agar manusia hidup teratur dan damai dalam
menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya. Aturan itu meliputi seluruh
bidang kehidupan baik politik, hukum, sosial, maupun budaya, dan
sebagainya. Dengan demikian, manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun dan
bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya. Sebagaimana Firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah: 38;
$oYù=è% (#qäÜÎ7÷d$# $pk÷]ÏB $YèÏHsd ( $¨BÎ*sù Nä3¨YtÏ?ù't ÓÍh_ÏiB Wèd `yJsù yìÎ7s? y#yèd xsù ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÌÑÈ
Artinya: Kami
berfirman, "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(Depaq, 2010:11)
c) Mengahadirkan rasa kesalamatan dan
kesejahteraan.
Islam merupakan tuntunan kehidupan
yang menghadirkan keselamatan dan, kesejahteraan. Sebagaimana sifatnya yang
bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia didunia dan
diakhirat. Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik dan
kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang
disebut Daarus Salaam. Allah
menyeru (manusia) ke Daarus Salaam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus
(Islam). Sebagaimana penjelasalan Firman
Allah dalam QS. Yunus: 25
ª!$#ur (#þqããôt 4n<Î) Í#y ÉO»n=¡¡9$# Ïökuur `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuÅÀ 8LìÉ)tFó¡B ÇËÎÈ
Artinya: Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan
menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)(Depaq, 2010:419)
Dilihat dari segi dimensi
tuntunanya Islam terdiri dari 5 dimensi yang dikenal dengan rukun Islam
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنىَِ
الإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلاَةَ وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةَ
وَالحَجِّ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ.
Artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah SAW, Bersabda; dasar (pokok-pokok)
Islam itu ada lima perkara yaitu; mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan
mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat,
menunaikan haji dan puasa pada bulan ramadhan.(HR. Bukhari.)
Dari keterangan
sabda Rasulullah tersebut menjelaskan yang termasuk dengan rukun islam terdiri
dari 5 yaitu: syahadataein, mendirikan shalat, menunaikan puasa, menunaikan
zakat, dan melaksanakan haji jika mampu. Dari kelima rukun Islam tersebut
menjadikan indikator kekuatan spiritual keagamaan dari aspek ibadah/keisalaman.
c.
Aklak/keihsanan
Akhlak
berasal dari bahasa Arab yaitu berasal dari kata Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) jama’ dari “Khuluqun” ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan
adat kebiasaan (al-adat), perangai, tabi’at(al-sajiyyat ), watak(al-thab),
adab/sopan santun (al-muru’at), dan agama (ad-din).
Al-Khalqu mengandung
arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau
yang jelek. Sedangkan kata ”al-Khuluqu”
mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi
sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela. Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya
“An-Nihayah“ telah menerangkan bahwa:
“Hakikat makna khuluqun (خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin
manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk
luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya).
Sedangkan
menurut istilah Al-Ghazali mengatakan akhlak adalah suatu sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan,
tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama. Jika sifat tersebut
melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal
dan norma agama dinamakan aklak yang baik. Tetapi jika melahirkan perbuatan
jahat, maka dinamakan akhlak buruk.
Yang
dimaksud dengan perbuatan baik yaitu segala tingkah laku, tabiat, watak,
perangai, yang benar, jujur, amanah, sabar, pemaaf, rendah hati dan sifat
keabaikan lainya. Sedangkan akhlak buruk yaitu sikap, tabiat, tingkah laku,
watak, perangai yang buruk seperti, sombong, dengki, dendam, khianat, dan sifat
buruk lainya.
Akhlak
yang baik merupakan sikap, watak, tabiat atau tingkah laku manusia yang
mencerminkan manusia yang memanusiakan sebagaimana tujuan dari ciptaaan Allah
SWT. Berakhlak mulia merupakan wujud dari keihsanan makhluk. Ihsan merupakan
puncak atau aplikasi dari sikap keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dalam
terminologi Islam, Ihsan
berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah
ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang
tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Ihsan
dianalogikan sebagai atap bangunan Islam. Rukun iman adalah pondasi, Rukun
Islam adalah bangunannya. Ihsan (perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi
sebagai pelindung bagi bangunan keislaman seseorang.
Jika
seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal Islam lainnya atan terpelihara dan
tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan Islam). Sebagaimana
dijelaskan sabda Rasulullah SAW;
,,,“Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” ..(H.R. Muslim)
Kata ihsan
(berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat
buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan
menahan diri dari dosa.
Ihsan hendaknya di implementasikan dalam kehidupan, baik terhadap
Allah, sesama insan, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun kepada makhluk lainya, agar
perwujudan sikap tersebut bermanfaat. Adapun sikap ihsan dalam kehidupan
sebaiknya menurut Jusuf Saleh Bazed,Jamaluddin Ahmad
dalam makalah seminar “mempertahankan
nilai-nilai syariah dan eksistensi rumah Sakit
Islam Jakarta di Padang (26 April 2009) menyebutkan memiliki 6 dimensi atau dikenal dengan 6 rukun ihsan
yaitu sebagai berikut;
Al‘amalu bi waktihi (bekerja tepat waktu), itqonul Amal (Kecermatan dalam melakukan
pekerjaan/ profesional), tartibu fil‘amal (tertib dalam bekerja), ashobru fil amal (Sabar dalam bekerja), A’malu bishidqi (bekerja harus dilandaskan
pada kebenaran), Ikhlas (Mengharap ridho Allah).
Dari penjelasan
tersebut menjelaskan bahwa rukun ihsan merupakan indikator dari sikap ihsan
dalam kehidupan.
Ada beberapa ciri-ciri kecerdasan spiritual, yang disampaikan oleh
para ahli, sebagai berikut :
a.
Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan
mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b.
Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai
kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c.
Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara
spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang
pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d.
Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain
saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat
memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan
serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu
visi dan mencari makna dibaliknya.[16]
e.
Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan
untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas
merdeka.
f.
Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain,
mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
Selain itu juga terdapat Prinsip kecerdasan spiritual ada 6 prinsip
dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
a.
Prinsip bintang (star
prinsiple) berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT, semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT, semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
b.
Prinsip malaikat (angel
principle) berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
c.
Prinsip kepemimpinan (leadership
principle), berdasarkan iman kepada rasul. Seorang pemimpin harus memiliki
prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya
Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d. Prinsip pembelajaran (learning principle) berdasarkan iman
kepada kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari
kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e.
Prinsip masa depan (visim
principle) berdasarkan iman kepada hari akhir. Berorientasi terhadap
tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu
karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat
balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
Prinsip keteraturan
(well organized principle)
berdasarkan iman kepada Qada dan Qodar. Setiap keberhasilan dan kegagalan,
semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha
dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah.[18]
[1] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2011), h. 1335.
[2] Mimi Doe dan Marsha
Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting.
Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak, (Jakarta: Kaifa, 2001), h.
122.
[4] Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (Transcendental Intellegensi) Membentuk Kepribadian yang
Bertanggunng Jawab, Professional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.
7.
[5] M. Berman, Developing SQ (Spiritual Intelligence) Throught ELT,
http://www.eltnesletter.com, (12 Juni 2011) h. 98.
[7] Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, Dalam
Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Bandung:
CV. Ruhama, 1994), h. 31
[8] Danah Zohar dan Ian
Marshall, Spiritual Intelligence. The
Ultimate Intellegence (Terjemahan. Astuti dkk), (Jakarta: Mizan, 2001),
h.11
[10] Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, (Jakarta:
Inisiasi Press, 2002), h.17.
[11] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral
Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 90.
[12] Marsha, Sinetar, Spiritual
Intelligence, (Kecerdasan Spiritual:
Belajar dari Anak yang mempunyai Kesadaran Dini, Terj. Soesanto
Boedidarmo), (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001), h. 19.
[13] Ary Ginanjar
Agustian, op. cit., h. 120.
[14] Danah Zohar dan Ian
Marshall, op. cit.,h. 21.
[15] Yahya Jaya, Konseling
Kekuatan Spiritual Keagamaan dan Ketuhanan, Konsepsi Lugmanu Hakim Tentang
Pelayanan Khusus Pendidikan Agama Islam, (Padang:
Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, 2011), h. 31.
[16] Danah Zohar dan Ian
Marshall, op. cit.,h. 27.
[18] Ary Ginanjar
Agustian, op. cit., h. 30.
2 komentar:
Sngat bermanfaat ilmunya..
Jangan lupa kunjungan baliknya sobat..
Wah terimakasih ilmunya gan
Mohon kunjung balik yaa🙏🙏
Posting Komentar