Cari Blog Ini

Kamis, 05 Juli 2018

Kecerdasan Spiritual untuk Hasil Belajar


Kecerdasan Spiritual
1.      Pengertian spiritual
Setelah pada pembahasan sebelumnya, diuraikan tentang kecerdasan emosional yang membantu seorang individu untuk mencapai keberhasilan hidup, kemudian muncul kecerdasan spiritual (SQ) merupakan temuan terkini secara ilmiah. Wacana kecerdasan spiritual merupakan temuan paling mutakhir di antara jenis kecerdasan yang lain.
Kecerdasan ini pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ mulai populer pada awal abad dua puluh satu melalui tulisan Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan berbagai tulisan lainnya. Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain.
Kecerdasan spiritual terdiri dari dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Kecerdasan (Intelegence) dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.
Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh atau jiwa. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yaitu nafas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan yang membuat manusia dapat hidup, bernafas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, dan moral. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, spiritual berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani dan batin).[1]
Sementara itu Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri sendiri. Suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang dinamakan sebagai sumber keberadaan manusia.[2]
2.      Pengertian Kecerdasan Spiritual
Ary Ginanjar Agustian mengibaratkan kecerdasan spiritual sebagai God Spot atau God Module “tempat tertentu di dalam otak yang secara spesifik merespon segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai yang mengarah kepada spiritual keagamaan.
God spot merupakan pusat spiritual yang berlokasi diantara koneksi-koneksi syaraf yang terletak di lobe temporal otak. God spot ini tidak membuktikan eksistensi Tuhan, tetapi menunjukan bahwa otak telah mengembangkan atau menjawab permasalahan puncak/akhir (ultimate question), untuk memiliki atau menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas. [3]



Toto Tasmara menyebutkan “kekuatan spiritual keagamaan” dengan istilah “kecerdasan ruhaniah”. Menurut Toto yakni:
Jika secara ilmiah telah ditetapkan bahwa kecerdasan spiritual yang berada pada God Spot merupakan fitrah fisikal yang melekat pada manusia, maka kecerdasan ruhaniah (kekuatan spiritual kegamaan), merupakan muatan yang ada didalamnya, yaitu kesaksian dan pengakuan keilahian.[4]
Hal tersebut juga dijelaskan dalam firman Allah, Q.S, Al-A’raf:172;

øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belulang anak cucuk adam) keurunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhan mu? “mereka menjawab”, betul (engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).”(Depag, 2010: 343)

Tanpa keilahian, seluruh kecerdasan dengan sagala derivasinya nilai kemanusiaan, cinta, dan kreativitasnya hanyalah amalan-amalan yang mendebu, tidak mempunyai makna secara sempurna. Kecerdasan spiritual versi barat masih berada pada potensi imajinasi kreatif, sedangkan kecerdasan ruhaniah (kekuatan spiritual keagamaan) memberikan arah yang jelas kemana dan bagaimana imajinasi kreatif tersebut harus diarahakan.
Berman (2001: 98) mengungkapkan bahwa Kecerdasan spiritual dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Berman juga mengatakan bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu sesorang untuk dapat melakukan transendensi diri. Transendensi diri yang dimaksud yaitu pendekatan diri kepada Sang Pencipta alam yakni Tuhan Yang Maha Esa.[5] Spiritual keagamaan berarti kekuatan yang bersifat Ilahiyah, esensi hidup, penuh dengan kebajikan, suatu ciri atau atribut kesadaran yang mencerminkan nilai-nilai memanusiakan.

Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti hubungan antara agama dan kecerdasan spiritual. Pada umumnya orang beranggapan bahwa kecerdasan spiritual selalu berhubungan dengan agama. Menurut keduanya kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Agama merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan internal, sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam.
Kecerdasan spiritual mampu menghubungkan manusia dengan roh esensi di belakang semua agama. Orang yang kecerdasan spiritualnya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama. Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan, sebab menurut mereka seorang yang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri.
Kesemuanya tidak perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di sini tampak bahwa Zohar dan Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual.
Untuk lebih memahami apa itu kecerdasan spiritual, penulis akan menguraikan beberapa pendapat, tentang pengertian kecerdasan spiritual, yaitu:
a.       Menurut Ary Ginanjar Agustian (2001) mengartikan kecerdasan spiritual sangat berhubungan dengan nilai-nilai Ilahiah yang merupakan substansi kekuatan spiritual keagamaan, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap jenis prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya hanif dan memiliki pola pikir tauhid (integralistik) serta berprinsif karena Allah. Orang yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan berarti orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah sebagai manesfestasi dari aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dalam kehidupan sebagai wujud dari pengalamanya terhadap tuntutan fitrah sebagai mahkluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang berada diluar jangkauan dirinya yaitu Maha Pencipta.[6]
b.      Dilihat dari perspektif  Islam Yahya Jaya mengatakan, “Kekuatan spiritual keagamaan itu tediri dari 3 aspek yaitu keimanan, keislaman, dan keihsanan, atau aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat, atau aqidah, syariah dan akhlak”.[7]
c.       Danah Zohar dan Ian Marshall mengemukakan kecerdasan spiritual sebagai  kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.[8]
d.      Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas.[9] Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas .
e.       Kecerdasan spiritual adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spiritual membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
f.       Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita.[10]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi cenderung akan lebih bertahan hidup dari pada orang yang berkecerdasan spiritual rendah. Banyak kejadian-kejadian bunuh diri karena masalah yang sepele, mereka yang demikian itu tidak bisa memberi makna yang positif dari setiap kejadian yang mereka alami dengan kata lain kecerdasan spiritual mereka sangat rendah.[11]
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Kecerdasan spiritual mampu mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai pemahaman kecerdasan spiritual yang tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang kecerdasan spiritual akan memberi sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah tenang karena aliran darah telah teratur maka individu akan dapat berfikir secara optimal, sehingga ia lebih tepat dalam mengambil keputusan.
Manajemen diri untuk mengolah hati dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya denga kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, tetapi juga memerlukan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sangat berperan dalam diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang dapat sukses berkarya hanya dengan kecerdasan rasional (yang bekerja dengan rumus dan logika kerja), melainkan orang perlu kecerdasan emosional agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggung jawab dan life skill lainnya. Perlunya mengembangkan kecerdasan spiritual agar ia merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu kecerdasan spiritual merupakan kunci utama kesadaran dan dapat membimbing kecerdasan lainnya. Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain.
3.      Faktor-faktor Kecerdasan Spiritual
Menurut Sinetar otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.[12] Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Ary Ginanjar Agustian adalah:
a.       Inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti keterbukaan, tanggung jawab kepercayaan, keadilan, dan kepedulian sosial
b.      Drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.[13]
Zohar dan Marshall mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi  kecerdasan spiritual yaitu[14] :
a.       Sel saraf otak. Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri.
b.      Titik Tuhan (God spot). Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
Selain dari faktor-faktor yang akan mengoptimalkan kecerdasan spiritual, ada juga aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yang harus diperhatikan, yaitu :
a.       Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
b.      Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
c.       Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d.      Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
e.       Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.
Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.
4.      Ciri-ciri Kecerdasan spiritual
Dilihat perpektif Islam Yahya Jaya  mengatakan kekuatan spiritual keagamaan terlihat dari 3 yaitu “keimanan, keislaman, dan keihsanan, atau aqidah, ibadah dan akhlak serta muamalat, atau akidah, syariah dan akhlak.[15]
a.       Aqidah/Keimanan
Secara etimologi, aqidah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata akada, yakidu, Aqadan dan Aqidatun. Akida berarti simpulan, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi akida berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata aqadan dan aqida adalah keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati dan fikiran yang bersifat dan mengandung perjanjian.
Aqidah merupakan sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Aqidah juga bisa disebut dasar atau fondasi yang harus dimiliki oleh setiap munusia untuk mendekatkan diri kepada Rabb Sang Maha Pencipta.
Aqidah berorientasi kepada keimanan. Iman merupakan pengakuan, ucapan dan perasaan serta perbuatan, atau dengan kata lain, iman adalah suatu pengakuan diri terhadap sesuatu, yang diyakini, diucapkan dan dirasakan serta diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perbuatan. Keimanan perspektif islam memiliki dimensi-dimensi keimanan yang disebut dengan rukun iman. Penjelasan tersebut juga dijelaskan Rasulullah SAW dalam sabadanya sebagai berikut;
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَا الاِيْمَانُ قَالَ الاِيْمَانُ اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالبَعْثِ قَالَ مَا الاِسْلاَمُ قَالَ الاِسْلاَمُ اَنْ تَعْبُدَ اللهِ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّىَ الزَّكَاةَ المَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ اَنْ تَعْبُدَ اللهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لمَْتَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

Abu Hurairah r.a berkata; pada suatu ketika Nabi SAW duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu ?”Nabi menjawab, “Iman adalah percaya Allah SWT, para malaikat-malaikatnya, dan akan berhadapan kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari kebangkitan, lalu bertanya, apakah islam itu? jawab Nabi SAW, Islam adalah menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan shalat, membayar zakat, dan puasa pada bulan ramadhan, Lalu bertanya apakah ihsan? Rasulullah SAW menjawab, ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-akan anda melihatanya, maka jika tidak dapat melihatnya, ketahuilah bahwa Allah itu melihatmu”,…(HR.Bukhari)  

Dari keterangan hadis di atas, mendiskripsikan bahwasanya iman memiliki 6 dimensi yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul Allah, iman kepada hari Kiamat, dan iman kepada Qada’ dan Qadar. Dari 6 rukun iman tersebut merupakan indikator kekuatan spiritual keagamaan dari aspek Aqidah/ Keimanan.
b.      Ibadah/Keislaman
Ibadah menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu abada berarti merendahkan diri serta tunduk kepada Tuhan. Sedangkan menurut istilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (zahir).
Sedangkan menurut penulis ibadah merupakan sikap dan perbuatan penuh ikhlas dan tulus dalam melaksankan segala aktivitas yang bernilai kebaikan dan kebenaran yang diridhai Allah. Seperti belajar karena Allah, bekerja karena Allah, tolong menolong sesama manusia karena Allah, berdo’a karena Allah, dan segala bentuk kegiatan ataupun aktivitas lainya yang dilandasi dengan ketulusan dan mengharap ridha Allah.
Ibadah perspektif Islam menurut sikap pelaksananya terbagi menjadi tiga bagian yaitu ibadah qalbiah (hati), lisaniah (lisan), dan badaniah (anggota badan).
1)      Ibadah qalbiah, yaitu sesuatu yang memiliki rasa khauf (takut), raja’(mengharap), mahabbah(cinta), tawakkal (berserah diri), raghbah (senang), dan rahbah (takut) kepada Allah dan adanya rasa membutuhan akan Allah disisi manusia. 
2)      Ibadah lisaniah yaitu suatu sikap dengan mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT dengan cara bertasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan menyebut nama Allah SWT yang maha sempurna.
3)      Ibadah badaniah adalah suatu sikap dan tindakan yang dilandasi penuh dengan ketulusan dan keihklasan yang mempunyai rukun, syarat atau ketentuan bermunajat kepada Allah. Seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad kepada Allah. (Islamhouse.com: diunduh 17 Maret 2012).
Ibadah dari segi tujuan yaitu berorintasi mengenal, mendekatkan dan pengabdian diri kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya QS.Azhariat; 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya : dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”,..(Depag: 2010: 1043)
Firman Allah SWT tersebut, mendeskripsikan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar makhluk-Nya mengabdi hanya kepada Allah SWT. Allah SWT Maha kaya, tidak membutuhkan ibadah makhluk-Nya, akan tetapi makhluklah yang membutuhkan Allah, karena mereka bergantung kepada Allah SWT, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah SWT, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah SWT).
Dari keterangan di atas, orientasi ibadah memiliki subtansi kehidupan. Dengan demikian sikap dan aktivitas yang berwujud ibadah membentuk karakter dan nilai-nilai hikmah di antaranya yaitu:
a)      Tunduk, patuh dan berserah diri kepada Allah SWT
b)      Menghadirkan rasa kedamaian dan ketentraman
c)      Mengahadirkan rasa sentosa dan kesalamatan
Penjelasan di atas menyimpulkan suatu padatan kata yang merangkum dari kesuruhan makna ibadah yaitu Islam. Dari segi bahasa Islam berasal dari bahasa Arab asal kata aslama-yuslimu-islaman yang mempunyai makna majemuk dan komprehensip bagi kemaslahatan manusia, yaitu tunduk, patuh, berserah diri, damai, sentosa, kesalamatan, kesejahteraan dan kebahagian. Berikut penjelasan makna kata Islam yang terjabar dalam alquran;
a)    Tunduk, patuh dan berserah diri kepada Allah SWT
Islam adalah tunduk dan patuh atas ketentuan serta berserah diri atas segala kebijakan dan ketetapan Allah SWT. Allah SWT telah menciptakan alam semesta, kemudian menetapkan manusia sebagai hambaNya yang paling besar perannya dimuka bumi. Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dengan alam semesta disekitarnya, kemudian berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Pencipta-Nya.
Takala salah berinteraksi dengan Allah SWT, kebanyakan manusia beranggapan alam sebagai Tuhannya sehingga mereka menyembah sesuatu dari alam. Ada yang menduga-duga sehingga banyak di antara mereka yang tersesat. Ajaran yang benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepadaNya alam tunduk patuh berserah diri. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah; 112
4n?t/ ô`tB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÊÊËÈ  
Artinya: “Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhanya dan tika ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”(Depag: 2010: 31)

Dari penjelasan tersebut menjelaskan, Islam merupakan ketundukan kepada ketentuan Alah (sunnatullah) yang terdapat pada ayat-ayat Allah di alam semesta (qauliyah) maupun kitabullah yang tertulis (qauniyah).

b)   Menghadirkan rasa ketentraman dan kedamaian.
Islam adalah tuntunan Allah yang menghadirkan ketentraman dan kedamaian. Dengan kasih sayang Allah menurunkan ad-dien (aturan hidup) kepada manusia. Tujuanya agar manusia hidup teratur dan damai dalam menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya. Aturan itu meliputi seluruh bidang kehidupan baik politik, hukum, sosial, maupun budaya, dan sebagainya. Dengan demikian, manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun dan bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 38;
$oYù=è% (#qäÜÎ7÷d$# $pk÷]ÏB $YèŠÏHsd ( $¨BÎ*sù Nä3¨YtÏ?ù'tƒ ÓÍh_ÏiB Wèd `yJsù yìÎ7s? y#yèd Ÿxsù ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÌÑÈ    

Artinya: Kami berfirman, "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(Depaq, 2010:11)

c)    Mengahadirkan rasa kesalamatan dan kesejahteraan.
Islam merupakan tuntunan kehidupan yang menghadirkan keselamatan dan, kesejahteraan. Sebagaimana sifatnya yang bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia didunia dan diakhirat. Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik dan kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang disebut Daarus Salaam. Allah menyeru (manusia) ke Daarus Salaam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam).  Sebagaimana penjelasalan Firman Allah dalam QS. Yunus: 25
ª!$#ur (#þqããôtƒ 4n<Î) Í#yŠ ÉO»n=¡¡9$# Ïökuur `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 8LìÉ)tFó¡B ÇËÎÈ  
Artinya: Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)(Depaq, 2010:419)

Dilihat dari segi dimensi tuntunanya Islam terdiri dari 5 dimensi yang dikenal dengan rukun Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنىَِ الإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلاَةَ وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةَ وَالحَجِّ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ.

                                   Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah SAW, Bersabda; dasar (pokok-pokok) Islam itu ada lima perkara yaitu; mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa pada bulan ramadhan.(HR. Bukhari.)

Dari keterangan sabda Rasulullah tersebut menjelaskan yang termasuk dengan rukun islam terdiri dari 5 yaitu: syahadataein, mendirikan shalat, menunaikan puasa, menunaikan zakat, dan melaksanakan haji jika mampu. Dari kelima rukun Islam tersebut menjadikan indikator kekuatan spiritual keagamaan dari aspek ibadah/keisalaman.
c.        Aklak/keihsanan
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu berasal dari kata Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) jama’ dari “Khuluqun” ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan (al-adat), perangai, tabi’at(al-sajiyyat ), watak(al-thab), adab/sopan santun (al-muru’at), dan agama (ad-din).
Al-Khalqu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ”al-Khuluqu” mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela. Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “An-Nihayah“ telah menerangkan bahwa: “Hakikat makna khuluqun (خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya).
Sedangkan menurut istilah Al-Ghazali mengatakan akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama. Jika sifat tersebut melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama dinamakan aklak yang baik. Tetapi jika melahirkan perbuatan jahat, maka dinamakan akhlak buruk.
Yang dimaksud dengan perbuatan baik yaitu segala tingkah laku, tabiat, watak, perangai, yang benar, jujur, amanah, sabar, pemaaf, rendah hati dan sifat keabaikan lainya. Sedangkan akhlak buruk yaitu sikap, tabiat, tingkah laku, watak, perangai yang buruk seperti, sombong, dengki, dendam, khianat, dan sifat buruk lainya.
Akhlak yang baik merupakan sikap, watak, tabiat atau tingkah laku manusia yang mencerminkan manusia yang memanusiakan sebagaimana tujuan dari ciptaaan Allah SWT. Berakhlak mulia merupakan wujud dari keihsanan makhluk. Ihsan merupakan puncak atau aplikasi dari sikap keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ihsan dalam bahasa Arab berarti "kesempurnaan" atau "terbaik."
Dalam terminologi Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Ihsan dianalogikan sebagai atap bangunan Islam. Rukun iman adalah pondasi, Rukun Islam adalah bangunannya. Ihsan (perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi sebagai pelindung bagi bangunan keislaman seseorang.
Jika seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal Islam lainnya atan terpelihara dan tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan Islam). Sebagaimana dijelaskan sabda Rasulullah SAW;
,,,“Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” ..(H.R. Muslim)
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa.
Ihsan hendaknya di implementasikan dalam kehidupan, baik terhadap Allah, sesama insan, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun kepada makhluk lainya, agar perwujudan sikap tersebut bermanfaat. Adapun sikap ihsan dalam kehidupan sebaiknya menurut Jusuf Saleh Bazed,Jamaluddin Ahmad  dalam makalah seminar “mempertahankan nilai-nilai syariah dan eksistensi rumah Sakit Islam Jakarta di Padang (26 April 2009) menyebutkan memiliki 6 dimensi atau dikenal dengan 6 rukun ihsan yaitu sebagai berikut;
Al‘amalu bi waktihi (bekerja tepat waktu), itqonul Amal (Kecermatan dalam melakukan pekerjaan/ profesional), tartibu fil‘amal (tertib dalam bekerja), ashobru fil amal (Sabar dalam bekerja), A’malu bishidqi (bekerja harus dilandaskan pada kebenaran), Ikhlas (Mengharap ridho Allah).

Dari penjelasan tersebut menjelaskan bahwa rukun ihsan merupakan indikator dari sikap ihsan dalam kehidupan.

Ada beberapa ciri-ciri kecerdasan spiritual, yang disampaikan oleh para ahli, sebagai berikut :
a.       Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b.      Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c.       Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d.      Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.[16]
e.       Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
f.       Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
g.      Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.[17]
Selain itu juga terdapat Prinsip kecerdasan spiritual ada 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
a.       Prinsip bintang (star prinsiple) berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT, semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
b.      Prinsip malaikat (angel principle) berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
c.       Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul. Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d.      Prinsip pembelajaran (learning principle) berdasarkan iman kepada kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e.       Prinsip masa depan (visim principle) berdasarkan iman kepada hari akhir. Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qada dan Qodar. Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah.[18]


[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2011), h. 1335.
[2] Mimi Doe dan Marsha Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting. Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak, (Jakarta: Kaifa, 2001), h. 122.
[3] Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 8
[4] Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (Transcendental Intellegensi) Membentuk Kepribadian yang Bertanggunng Jawab, Professional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 7.
[5] M. Berman, Developing SQ (Spiritual Intelligence) Throught ELT, http://www.eltnesletter.com, (12 Juni 2011) h. 98.
[6] Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 9
[7] Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Bandung: CV. Ruhama, 1994), h. 31
[8] Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Intelligence. The Ultimate Intellegence (Terjemahan. Astuti dkk), (Jakarta: Mizan, 2001), h.11
[9] Ary Ginanjar Agustian, op. cit., 13.
[10] Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), h.17.
[11] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 90.
[12] Marsha, Sinetar, Spiritual Intelligence, (Kecerdasan Spiritual: Belajar dari Anak yang mempunyai Kesadaran Dini, Terj. Soesanto Boedidarmo), (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001), h. 19.

[13] Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 120.
[14] Danah Zohar dan Ian Marshall, op. cit.,h. 21.
[15] Yahya Jaya, Konseling Kekuatan Spiritual Keagamaan dan Ketuhanan, Konsepsi Lugmanu Hakim Tentang Pelayanan Khusus Pendidikan Agama Islam, (Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, 2011), h. 31.
[16] Danah Zohar dan Ian Marshall, op. cit.,h. 27.
[17] Marsha, Sinetar, op. cit.,h. 30.
[18] Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 30.

2 komentar:

Adi Kusuma mengatakan...

Sngat bermanfaat ilmunya..

Jangan lupa kunjungan baliknya sobat..

Unknown mengatakan...

Wah terimakasih ilmunya gan

Mohon kunjung balik yaa🙏🙏