Cari Blog Ini

Kamis, 05 Juli 2018

Pembinaan Karakter


 Pembinaan Karakter
1. Pengertian Pembinaan Karakter
Sebelum penulis menjelaskan pengertian pembinaan karakter, terlebih dahulu dijelaskan pengertian pembinaan, pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke - dan akhiran - an, yang berarti bangun / bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.[1]
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan dari yang lain.[2] Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu Karasso, yang berarti cetak biru, format dasar atau sidik seperti dalam sidik jari. Pendapat lain yang menyatakan bahwa istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang  berarti membuat tajam atau membuat dalam.[3]
Secara terminologi, karakter dapat dipahami dalam berbagai pendekatan keilmuan. Dari perspektif psikologi, karakter disebut watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap, terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan sebagai ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi. Jadi karakter merupakan kepribadian yang sudah dihiasi sifat-sifat yang baik dan relatif stabil yang ditampilkan dalam satu perilaku berdasarkan nilai-nilai standar yang tinggi.[4]
Karakter menjadi sangat penting untuk diwujudkan, hal ini sejalan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
2. Dasar-dasar Pembinaan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energy positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan).
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:[5]
Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.
Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: Istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:[6]
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Ramayulis dalam buku Psikologi Agama, menjelaskan bahwa dalam kehidupan umat manusia, agama dan al-Quran berfungsi[7]:
1)      Sumber nilai dalam menjaga kesusilaan
Setiap manusia, baik secara individu maupun secara kolektif (bermasyarakat) akan tumbuh menjadi dewasa dan berkembang, sehingga perkembngan itu membutuhkan sebuah sistem nilai sebagi tuntunan untuk mengarahkan perbuatan itu untuk mencapai tujuan akhirnya.
2)      Sarana untuk mengatasi frustasi
Manusia tidak akan terlepasa dari persolan hidup, persoalan itu ada yang mudah diatasi dan tidak jarang persolan tersebut justru membingungkan sehingga menyebabkan kebingungan dan menyebabkan frutasi dalam hidup. Di sinilah fungsi al-Quran memberikan bimbingan agar seseorang tidak menemui jalan buntu yang berakibat pada frustasi dan stres.
3)   Sarana untuk mengatasi ketakutan
Setiap manusia pasti memiliki keterbatasan dalam mengetahui dan memprediksi berbagai persoalan dalam hidupnya. Fenomena kaya dan miskin adalah dua hal yang tidak bisa dielakan dalam kehidupan. Tidak jarang orang kaya takut jatuh miskin dan sebaliknya orang miskin takut karena tidak ada jaminan hidup. Semua fenomena ini merupakan ketakutan yang tidak pernah berujung, atau tidak ada objeknya. Karena itu, al-Quran memberikan solusi atas persolan yang muncul seperti dalam kehidupan sehari-hari.
4)   Sarana untuk memuaskan keingintahuan
Manusia adalah makhluk yang serba ingin tahu. Dalam proses pencarian tersebut, tentu tidak semua hal yang bisa diketahui oleh manusia. Namun terkadang keterbatasan tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dipecahkan sehingga terjadi kerisauan intelektual. Di sinilah fungsi al-Quran memberikan penjelasan tentang sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan logika manusia.
2. Usaha Pembinaan Karakter
Secara etimologis, usaha merupakan kegiatan dengan mengerahkan tenaga, fikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan.[8] Tenaga dan fikiran merupakan dua unsur yang tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan karakter. Dalam fikiran terdapat berbagai program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan ia merupakan pelopor segalanya.[9] Pengalaman hidup terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, dimana ia didahului oleh kesadaran dan pemahaman yang akan menjadi karakter seseorang. Dalam proses pembiasaan tersebut, badan atau fisik menjadi salah satu unsur yang juga tidak bisa diabaikan dalam sebuah usaha. Hal ini semakin menegaskan bahwa tenaga, fikiran dan badan merupakan tiga unsur penting dalam proses pembentukan karakter.
Pembinaan  karakter dalam sistem pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari sistem ideologi dan nilai. Ideologi menjadi basik penalaran untuk menentukan bentuk dan arah pembinaan Islam. Ini menegaskan bahwa karakter yang dimaksud dalam pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari dimensi ideologi dalam Islam, yaitu nilai-nilai tauhid. Sistem ideologi inilah yang membedakan pembinaan karakter dalam pendidikan Islam menjadi berbeda dengan sistem pendidikan non Islam.
Dimensi lain yang juga ikut memberikan warna dalam pembinaan karakter dalam pendidikan Islam adalah sistem nilai. Pembinaan karakter dalam konteks pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip nilai yang bersumber  dari al-Quran dan Sunnah.
Dalam usaha pembinaan karakter terhadapa peserta didik, maka berbagai komponen dalam pendidikan Islam harus dijiwai oleh dua sistem sebelumnya. Bahkan, dua sistem ini harus berfungsi demi menjaga dan menuntun pendidikan Islam, sehingga pembinaan karakter dapat dilakukan dengan baik dan benar, sejalan dengan ini bahwa Ramayulis menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan  dalam pembinaan karakter dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:[10]


1)      Penekanan pada internalisasi nilai pada pembelajaran, yang terdiri dari tiga bentuk yakni:
a) Pengembangan pengetahuan (knowing)
b) Pengembangan keterampilan (doing)
c) Penanaman nilai (value)
2)      Menciptakan suasana keagamaan
a) Mengenalkan kepada peserta didik semua perangkat tata nilai dan institusi yang ada di dalam masyarakat.
b) Mengupayakan agar setiap tenaga kependidikan bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
c) Melakukan berbagai kegiatan yang dapat terciptanya suasana keagamaan.
d) Menciptakan hubungan yang Islami dalam bentuk rasa saling toleransi, saling menghargai, saling menyayangi, saling membentuk dan mengakui eksisensi.
3. Tujuan Pembinaan Karakter
Pembinaan karakter bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu pancasila, meliputi: 1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berhati baik, berfikiran baik, dan berperilaku baik; 2) membangun bangsa yang berkarakter pancasila; 3) mengembangkan potensi potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangsa pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.[11]
Selanjutnya tujuan pendidikan karakter menurut Sudrajat adalah Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mcmpersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari? Dalam hal ini, Dharma Kesuma dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa pendidikan karakter dalam setting sekolah/madrasah memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian / kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Penguatan dan pengembangan memiliki makna, yaitu: a) pendidikan dalam setting sekolah/madrasah bukan sekedar sesuatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik/siswa, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian, b) Penguatan juga mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasaan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasan yang dilakukan sekolah/madrasah, baik dalam setting kelas maupun lingkungan sekolah/madrasah, dan c) adanya hubungan antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolá/madrasih dengan pembiasaan di rumah.
2) Mengoreksi perilaku peserta didik / siswa yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah/madrasah. Tujuan ini memiliki sasaran untuk meluruskan babagai perilaku siswa yang negatif menjadi positif. proses pelurusan dimaknai sebagai proses yang pedagogis, bukan proses yang dipaksakan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku yang negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan ketetadanan lingkungan sekolah/madrasah dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang sekolah/madrasah.
3) Membangun koneksi yang harmoflis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Proses pendidikan karakter harus hubkan dengan proses pendidikan di dalam keluarga, dan bukan hanya beitunlPu pada interaksi antara peserta didik/siswa dengan guru. Penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dan rentangan waktu.[12]
4) Mulyasa juga berpendapat mengenai tujuan pendidikan karakter, yaitu: Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan bertujuan pada pembentukan budaya sekolah / madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, Kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktekkan oleh semua warga sekolah” dan masyararakat sekitarnnya budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah/madrasah di mata masyarak luas.[13]
5) Berdasarkan pendapat di atas, memahami bahwa pendidikan karakter secara keseluruhan bertujuan untuk menghasilkan perilaku dan moral yang beradab, meningkatkan kualitas keilmuan, agar peserta didik lebih tangguh dan berkarakter untuk lebih bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keberhasilan pendidikan karakter semuanya terletak pada kesiapan dan dukungan dan seluruh komponen masyarakat. Karakter, watak dan citra sekolah/madrasah sangat ditentukan.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan praktek-praktek pendidikan dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri (ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan personal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.[14]
Ada beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai berikut :[15]
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya. Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya.
Dalam uraian di atas menggambarkan peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang ditiru oleh peserta didik.
Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.[16]
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu sebagai pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang dilakukannya di kelas dan luar kelas. Guru hendaknya diberikan hak penuh (hak mutlak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya.[17]
Guru hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif, dengan menggunakan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristik setiap peserta didik, serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku penentu kebijakan.
Pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri individu maupun bangsa. Tetapi penting untuk segera dikemukakan bahwa pendidikan karakter harusah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational network yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan  Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama, keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualitaskannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga dimana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi;saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya.[18]
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui membelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Lingkungan masyarakat luas juga memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektis Islam, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan  mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama.
Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
DIKTI menyatakan bahwa Pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[19]
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.[20]
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Menurut Mochtar Buchori, pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Sedangkan fungsi pendidikan karakter adalah sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
DIKTI menyatakan bahwa secara khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu :[21]
1.      Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
2.      Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
3.      Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Sedangkan menurut salah seorang pakar pendidikan Darmawan Iskandar Menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses yang terjadi secara terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. diantara Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa,  ada 18 unsur dan nilai yang mana diantaranya adalah : 1. Religius; 2. Jujur; 3. Toleransi; 4. Disiplin; 5. Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin Tahu; 10. Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13. Bersahabat atau Komuniktif; 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli Lingkungan; 17. Peduli Sosial, dan 18. Tanggung Jawab.
Sedangkan menurut Menurut UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:[22]
  1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya
  2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
  3. Kejujuran / amanah dan kearifan
  4. Hormat dan santun
  5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
  6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
  7. Kepemimpinan dan keadilan
  8. Baik dan rendah hati
  9. Toleransi kedamaian dan kesatuan


[1] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4 2008), h. 529
[2] Ibid., h. 623
[3] Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan Strategi, dan Langkah Praktis, (Jakarta: Erlangga Group, 2011), h. 17
[4] Ibid, H. 20
[5] Doni A Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 45-48
[6] Ibid., h. 50-51
[7] Ramayulis, Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 228-229                  
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 997
[9] Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit, h. 17
[10] Ramayulis, Dasar-dasar Pembentukan Karakter Peserta Didik dalam Konsep Pendidikan Islam, Makalah Seminar Nasional “Integrasi nilai-nilai Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa, (Padang: 25 November 2010), h. 11
[11] Tim Penyusun, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasioanl), 2011), h. 3
[12] Dharma Kusuma, op-cit, h. 9-11
[13] E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), cet. 1, h. 9
        [14] A.R, Tatang Hidayat, Inspiring Word,( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 22

[15] Muslich Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 33-35
[16]Ventola. 2012. Tujuan dan Fungsi Pendidikan. (Online). http://lapazinaction.blogspot.com/2012/03/tujuan-dan-fungsi pendidikan.html. diakses Senin,  28 Mei 2012. Pukul 21.05 WIB

[17] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, (Yogyakarta : Pedagogia, 2010), h. 67
[18] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 63
[19] Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Fondation.
http://doddywir.blogspot.com/pentingnya-pendidikan-karakter.
html (diakses tanggal 25 Mei 2014).
[20] Ibid., Abudin Nata, h. 54
Dunia Pendidikan, diakses pada tanggal 2 Juni 2014

[22] Ibid, UU No 20 Tahun 2003, h. 26

Tidak ada komentar: