Pembinaan Karakter
1. Pengertian Pembinaan Karakter
Sebelum penulis menjelaskan
pengertian pembinaan karakter, terlebih dahulu dijelaskan pengertian pembinaan, pembinaan berasal dari
kata “bina” yang mendapat awalan ke - dan akhiran - an, yang berarti bangun / bangunan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses,
perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.[1]
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan dari yang lain.[2]
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu Karasso, yang berarti
cetak biru, format dasar atau sidik seperti dalam sidik jari. Pendapat lain
yang menyatakan bahwa istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassein,
yang berarti membuat tajam atau
membuat dalam.[3]
Secara terminologi, karakter
dapat dipahami dalam berbagai pendekatan keilmuan. Dari perspektif psikologi,
karakter disebut watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau
kualitas yang tetap, terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan sebagai ciri
untuk mengidentifikasi seorang pribadi. Jadi karakter merupakan kepribadian
yang sudah dihiasi sifat-sifat yang baik dan relatif stabil yang ditampilkan
dalam satu perilaku berdasarkan nilai-nilai standar yang tinggi.[4]
Karakter menjadi sangat penting
untuk diwujudkan, hal ini sejalan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
2. Dasar-dasar Pembinaan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik
disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai
Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam
bentuk energy positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi
positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan
kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang
bersumber dari taghut (Setan).
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian
dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi
positif itu berupa:[5]
Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm,
ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada
manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang
sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali,
bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang
kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki
kekuatan luar biasa.
Ketiga, sikap dan perilaku etis.
Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan
kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif
tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi:
Istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang
yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs
al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini
dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena
memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity
(kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif
itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût
(nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana
pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati
nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya
yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan
energi positif, energi negatif terdiri dari:[6]
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa
kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik
(kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia
dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi
makhluk yang serba material (asfala sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran
jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa),
qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa
yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku
tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan
kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang
nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu
meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan
amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang
yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk,
nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang
bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela,
yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan
pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Ramayulis dalam buku Psikologi Agama, menjelaskan bahwa dalam
kehidupan umat manusia, agama dan al-Quran berfungsi[7]:
1)
Sumber nilai dalam menjaga
kesusilaan
Setiap manusia,
baik secara individu maupun secara kolektif (bermasyarakat) akan tumbuh menjadi
dewasa dan berkembang, sehingga perkembngan itu membutuhkan sebuah sistem nilai
sebagi tuntunan untuk mengarahkan perbuatan itu untuk mencapai tujuan akhirnya.
2)
Sarana untuk mengatasi frustasi
Manusia tidak
akan terlepasa dari persolan hidup, persoalan itu ada yang mudah diatasi dan
tidak jarang persolan tersebut justru membingungkan sehingga menyebabkan
kebingungan dan menyebabkan frutasi dalam hidup. Di sinilah fungsi al-Quran
memberikan bimbingan agar seseorang tidak menemui jalan buntu yang berakibat
pada frustasi dan stres.
3)
Sarana untuk mengatasi ketakutan
Setiap manusia
pasti memiliki keterbatasan dalam mengetahui dan memprediksi berbagai persoalan
dalam hidupnya. Fenomena kaya dan miskin adalah dua hal yang tidak bisa
dielakan dalam kehidupan. Tidak jarang orang kaya takut jatuh miskin dan
sebaliknya orang miskin takut karena tidak ada jaminan hidup. Semua fenomena
ini merupakan ketakutan yang tidak pernah berujung, atau tidak ada objeknya.
Karena itu, al-Quran memberikan solusi atas persolan yang muncul seperti dalam
kehidupan sehari-hari.
4)
Sarana untuk memuaskan
keingintahuan
Manusia adalah
makhluk yang serba ingin tahu. Dalam proses pencarian tersebut, tentu tidak
semua hal yang bisa diketahui oleh manusia. Namun terkadang keterbatasan
tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dipecahkan sehingga terjadi kerisauan
intelektual. Di sinilah fungsi al-Quran memberikan penjelasan tentang sesuatu
yang tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan logika manusia.
2. Usaha
Pembinaan Karakter
Secara
etimologis, usaha merupakan kegiatan dengan mengerahkan tenaga, fikiran atau
badan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan.[8]
Tenaga dan fikiran merupakan dua unsur yang tidak bisa diabaikan dalam proses
pembentukan karakter. Dalam fikiran terdapat berbagai program yang terbentuk
dari pengalaman hidupnya dan ia merupakan pelopor segalanya.[9]
Pengalaman hidup terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara
berulang-ulang, dimana ia didahului oleh kesadaran dan pemahaman yang akan
menjadi karakter seseorang. Dalam proses pembiasaan tersebut, badan atau fisik
menjadi salah satu unsur yang juga tidak bisa diabaikan dalam sebuah usaha. Hal
ini semakin menegaskan bahwa tenaga, fikiran dan badan merupakan tiga unsur
penting dalam proses pembentukan karakter.
Pembinaan karakter dalam sistem pendidikan Islam tidak
dapat dilepaskan dari sistem ideologi dan nilai. Ideologi menjadi basik penalaran
untuk menentukan bentuk dan arah pembinaan Islam. Ini menegaskan bahwa karakter
yang dimaksud dalam pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari dimensi
ideologi dalam Islam, yaitu nilai-nilai tauhid. Sistem ideologi inilah yang
membedakan pembinaan karakter dalam pendidikan Islam menjadi berbeda dengan
sistem pendidikan non Islam.
Dimensi lain
yang juga ikut memberikan warna dalam pembinaan karakter dalam pendidikan Islam
adalah sistem nilai. Pembinaan karakter dalam konteks pendidikan Islam tidak
bisa dilepaskan dari prinsip nilai yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Dalam usaha
pembinaan karakter terhadapa peserta didik, maka berbagai komponen dalam
pendidikan Islam harus dijiwai oleh dua sistem sebelumnya. Bahkan, dua sistem
ini harus berfungsi demi menjaga dan menuntun pendidikan Islam, sehingga pembinaan
karakter dapat dilakukan dengan baik dan benar, sejalan dengan ini bahwa
Ramayulis menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan dalam pembinaan karakter dapat dilakukan
dengan empat cara, yaitu:[10]
1)
Penekanan pada internalisasi
nilai pada pembelajaran, yang terdiri dari tiga bentuk yakni:
a) Pengembangan pengetahuan (knowing)
b) Pengembangan keterampilan (doing)
c) Penanaman nilai (value)
2)
Menciptakan suasana keagamaan
a) Mengenalkan
kepada peserta didik semua perangkat tata nilai dan institusi yang ada di dalam
masyarakat.
b) Mengupayakan
agar setiap tenaga kependidikan bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran
Islam.
c) Melakukan
berbagai kegiatan yang dapat terciptanya suasana keagamaan.
d) Menciptakan
hubungan yang Islami dalam bentuk rasa saling toleransi, saling menghargai,
saling menyayangi, saling membentuk dan mengakui eksisensi.
3. Tujuan Pembinaan Karakter
Pembinaan
karakter bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter
bangsa yaitu pancasila, meliputi: 1) mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang berhati baik, berfikiran baik, dan berperilaku baik; 2)
membangun bangsa yang berkarakter pancasila; 3) mengembangkan potensi potensi
warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangsa pada bangsa dan negaranya
serta mencintai umat manusia.[11]
Selanjutnya tujuan
pendidikan karakter menurut Sudrajat adalah Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu,
dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mcmpersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari? Dalam hal ini, Dharma Kesuma dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa pendidikan karakter
dalam setting sekolah/madrasah memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai
kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian / kepemilikan peserta didik
yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Penguatan dan pengembangan
memiliki makna, yaitu: a) pendidikan dalam setting sekolah/madrasah bukan sekedar sesuatu dogmatisasi nilai kepada
peserta didik/siswa, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi suatu nilai menjadi penting untuk
diwujudkan dalam perilaku keseharian, b) Penguatan juga mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasaan
yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasan yang dilakukan sekolah/madrasah, baik dalam setting kelas
maupun lingkungan
sekolah/madrasah, dan c) adanya hubungan antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di
sekolá/madrasih dengan pembiasaan di rumah.
2) Mengoreksi perilaku
peserta didik / siswa yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah/madrasah. Tujuan ini memiliki sasaran untuk meluruskan babagai perilaku
siswa yang negatif menjadi positif. proses pelurusan dimaknai sebagai proses yang
pedagogis, bukan proses yang dipaksakan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku yang negatif
diarahkan pada pola pikir anak, kemudian
dibarengi
dengan
ketetadanan lingkungan sekolah/madrasah dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang
sekolah/madrasah.
3) Membangun koneksi yang harmoflis
dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Proses pendidikan karakter harus hubkan dengan proses pendidikan di
dalam keluarga,
dan bukan hanya
beitunlPu pada interaksi antara peserta didik/siswa dengan guru. Penguatan perilaku
merupakan suatu hal yang
menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dan rentangan waktu.[12]
4) Mulyasa juga berpendapat
mengenai
tujuan pendidikan karakter, yaitu: Pendidikan karakter pada tingkat satuan
pendidikan bertujuan pada pembentukan budaya sekolah / madrasah, yaitu nilai-nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, Kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktekkan oleh semua warga
sekolah” dan masyararakat sekitarnnya budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah/madrasah di mata masyarak luas.[13]
5) Berdasarkan pendapat di
atas, memahami
bahwa pendidikan karakter secara
keseluruhan bertujuan untuk menghasilkan perilaku dan moral yang beradab, meningkatkan
kualitas keilmuan,
agar peserta didik lebih tangguh dan berkarakter untuk lebih bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keberhasilan pendidikan karakter semuanya terletak pada kesiapan dan dukungan dan
seluruh komponen masyarakat. Karakter, watak dan citra sekolah/madrasah
sangat ditentukan.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang
dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga
pendidik untuk melakukan praktek-praktek pendidikan dalam rangka mengembangkan
semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran di
kelas maupun melalui program pengembangan diri (ekstrakurikuler). Pengembangan
potensi peserta didik tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri
tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan personal (personal
skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta
didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik
di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru
merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru
bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku
seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan
kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung
jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan
bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan
pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama
dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.[14]
Ada beberapa strategi yang dapat
memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara
optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah,
sebagai berikut :[15]
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru
tidak seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh
peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang
mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga
peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata
pelajaran. Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep
pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya.
Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat
diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan
pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui
program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada
kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual,
kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang
kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan
terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta
didik), baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah
dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai
jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta
didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang tua
peserta didik dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk
kerjasama yang bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua peserta didik dan
masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan
pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta
didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan
oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi
peserta didik tersevut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat
manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa
yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya
merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun tidak
langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat
diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya.
Dalam uraian di atas menggambarkan peranan
guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan
sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan
evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru
merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik
yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang ditiru oleh
peserta didik.
Peran sebagai inspirator berarti seorang
guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan
potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus
mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri
peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki
kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh
kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas.
Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk
mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran
yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga
dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.[16]
Dengan demikian berdasarkan paparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk
mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau
memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu sebagai pengajar dan
pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga mendidik
dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang dilakukannya
di kelas dan luar kelas. Guru hendaknya diberikan hak penuh (hak mutlak) dalam
melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah
kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang paling
mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya.[17]
Guru hendaknya mengembangkan sistem
evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif, dengan menggunakan alat
dan bentuk penilaian essay dan wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat
dan bentuk penilaian seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristik setiap
peserta didik, serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan
berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari
proses pembentukan karakter positif. Ini akan terlaksana dengan lebih baik lagi
apabila didukung oleh pemerintah selaku penentu kebijakan.
Pendidikan karakter merupakan langkah
penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri individu maupun bangsa.
Tetapi penting untuk segera dikemukakan bahwa pendidikan karakter harusah
melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan
sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational network
yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini.
Berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang
baik memiliki empat ciri. Pertama, keluarga yang memiliki semangat (ghirah)
dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan
sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualitaskannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga dimana setiap anggotanya saling
menghormati dan menyayangi;saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari
segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah
dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam
pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya.[18]
Pembentukan watak dan pendidikan karakter
melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui
membelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Lingkungan masyarakat luas juga memiliki
pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika
untuk pembentukan karakter. Dari perspektis Islam, situasi kemasyarakatan
dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka
upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak
ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman
sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang
sama.
Tujuan pendidikan karakter semestinya
diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu
atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya,
untuk dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada
dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi
manusiawi.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
DIKTI menyatakan bahwa Pendidikan karakter
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[19]
Pendidikan
karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi
lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.[20]
Pendidikan
karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan
citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan
karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri
maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan
administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah
yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik
dijadikan sebagai best practices yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya. Melalui program ini
diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus
memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada
tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya
sekolah.
Menurut Mochtar
Buchori, pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan
nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP
perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.
Pendidikan
karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Sedangkan fungsi
pendidikan karakter adalah sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang
tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter berfungsi (1)
mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3)
meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan
karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan
media massa.
DIKTI menyatakan bahwa secara khusus
pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu :[21]
1. Pembentukan dan
Pengembangan Potensi
Pendidikan
karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga
negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik
sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
2. Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara
Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab
dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang
berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
3.
Penyaring
Pendidikan
karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan
menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter
manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Sedangkan menurut salah seorang pakar pendidikan Darmawan Iskandar
Menyatakan bahwa pendidikan merupakan
proses yang terjadi secara terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih
tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang
bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan
akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. diantara
Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa, ada 18 unsur dan nilai yang
mana diantaranya adalah : 1. Religius; 2. Jujur; 3. Toleransi; 4. Disiplin; 5.
Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin Tahu; 10.
Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13.
Bersahabat atau Komuniktif; 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli Lingkungan; 17. Peduli Sosial, dan 18.
Tanggung Jawab.
Sedangkan menurut Menurut UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya
adalah:[22]
- Cinta Tuhan dan segenap
ciptaannya
- Tanggung jawab, kedisiplinan
dan kemandirian
- Kejujuran / amanah dan
kearifan
- Hormat dan santun
- Dermawan, suka menolong dan
gotong royong/ kerjasama
- Percaya diri, kreatif dan
bekerja keras
- Kepemimpinan dan keadilan
- Baik dan rendah hati
- Toleransi kedamaian dan
kesatuan
[1] Tim
Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-4 2008), h. 529
[3] Saptono, Dimensi-dimensi
Pendidikan Karakter: Wawasan Strategi, dan Langkah Praktis, (Jakarta:
Erlangga Group, 2011), h. 17
[5] Doni A Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak
di Zaman Global, (Jakarta:
Grasindo,
2010), h. 45-48
[8] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 997
[10] Ramayulis, Dasar-dasar
Pembentukan Karakter Peserta Didik
dalam Konsep Pendidikan Islam, Makalah Seminar Nasional “Integrasi
nilai-nilai Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa, (Padang:
25 November 2010), h. 11
[11] Tim
Penyusun, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasioanl), 2011), h. 3
[15] Muslich Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.
33-35
[16]Ventola. 2012. Tujuan dan Fungsi Pendidikan. (Online). http://lapazinaction.blogspot.com/2012/03/tujuan-dan-fungsi
pendidikan.html. diakses
Senin, 28 Mei 2012. Pukul 21.05 WIB
[17] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari
Rumah, (Yogyakarta
: Pedagogia, 2010), h. 67
[18] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 63
[19] Megawangi, Ratna.
2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Fondation.
http://doddywir.blogspot.com/pentingnya-pendidikan-karakter. html (diakses tanggal 25 Mei 2014).
http://doddywir.blogspot.com/pentingnya-pendidikan-karakter. html (diakses tanggal 25 Mei 2014).
Dunia Pendidikan, diakses pada
tanggal 2 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar