Cari Blog Ini

Minggu, 10 Maret 2019

Anak Tunagrahita


A.    Anak Tunagrahita
1.      Pengertian Anak Tunagrahita
Anak yang menderita tunagrahita (terbelakang mental) adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual/IQ[1] dan ketrampilan penyesuaian diri dibawah rata-rata teman-teman seusianya. Cacat ini biasanya akan nampak jelas pada usia sekolah, karena di sekolah inilah anak banyak dituntut untuk kerja akademik.
Sedangkan pengertian secara umum dari gangguan ini adalah menunjuk pada suatu pola tingkah laku yang menyimpang dari norma jika dilihat dari pandangan sistem sosial. Perkembangan yang terganggu ini ditandai oleh penyimpangan dari keadaan normal. Gangguan perkembangan ini dapat terjadi secara perlahan-lahan, namun juga dapat terjadi secara mendadak, termasuk didalamnya jika terdapat anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. James D. Page memberikan definisi tentang retardasi mental “Mental deficiency is a condition of subnornal mental development, present at birthor early chilhood and characterized mainly by limited intellegence and social inadequency.”.[2] (Defisiensi mental adalah suatu kondisi perkembangan mental yang tidak normal, yang menggambarkan pada kelahiran atau tabiat awal anak terutama oleh intelegensi yang terbatas dan keadaan sosial yang tidak cukup).
Menurut Asosiasi Amerika untuk Defisiensi Mental (Komite Ad Hoc pada Terminologi dan Klasifikasi, 1992.p.s.). Retardasi mental adalah rendahnya fungsi intelektual umum kaitannya dalam hubungan dengan dua atau lebih faktor yang terdiri dari penyesuaian wilayah kemampuan : berkomunikasi, perlindungan diri, kehidupan di rumah, keahlian sosial, bermasyarakat, perintah diri, kesehatan dan keamanan, fungsi akademik, waktu luang dan pekerjaan. Retardasi mental dibuktikan sebelum usia 18 tahun.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa retardasi mental merupakan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama masa pertumbuhan. Saat munculnya gangguan ini dibatasi sampai umur 17 tahun. Artinya bila gangguan itu baru muncul sesudah umur 17 tahun, jadi sebelumnya individu tumbuh normal, maka harus dikategorikan sebagai gangguan mental organik.[4]
Anak seperti ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya rendah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Gangguan perilaku yang sangat menonjol pada anak ini adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya, tingkah lakunya kekanak-kanakkan dan tidak sesuai dengan umurnya.
2.      Ciri-ciri dan Sifat Anak Tunagrahita
Anak-anak dikatakan tergolong mental retarded jika taraf inteligensinya lebih rendah dari 70. Taraf inteligensi ini dapat digolongkan menjadi 3 golongan yakni taraf inteligensi idiot, embicil, dan debil yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Taraf Inteligensi Idiot
Individu pada taraf ini tidak dapat dilatih untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya sendiri dan tidak sanggup merawat dirinya sendiri. Tidak dapat melindungi dirinya terhadap bahaya, selalu harus dijaga karena mudah jatuh dan suka memakan benda apa saja yang berada di tangannya. Masih sering ngompol baik siang maupun malam dan umumnya harus dirawat seumur hidup.
b.      Taraf Inteligensi Embicil
Umumnya anak embicil dapat berpakaian dan makan sendiri. Fungsi bicaranya terganggu karena itu perlu dilatih secara sabar. Sebagian besar mereka masih dapat diajar membaca, menulis, dan mengerjakan pekerjaan keterampilan praktis.
c.       Taraf Inteligensi Debil
Mereka lebih mudah diajari untuk mengurus dirinya daripada anak idiot dan embicil. Mereka dapat membantu pekerjaan dapur dan pekerjaan lainnya yang tidak begitu menuntut berpikir, misalnya: menolong membawakan barang, membantu membersihkan rumah, dan keterampilan praktis lainnya.[5]
Penderita cacat mental (retardasi mental) pada umumnya memiliki kelainan, terutama pada kemampuan kognitifnya lambat. Besar kecilnya tergantung pada intelegensi yang dimiliki, sifat-sifatnya yang tampak adalah:
a.       Lambat belajar.
b.      Kemampuan mengatasi masalah kurang.
c.       Kurang bisa menghubungkan sebab akibat.
d.      Perbuatannya lucu.
e.       Kontrol motoriknya kurang.
f.       Kurang kemampuan dalam berkoordinasi.
g.      Mulut selalu menganga.
h.      Dalam memahami suatu pengertian memerlukan waktu yang lama.
i.        Kesulitan dalam sensoris.
j.        Hambatan dalam perkembangan bicara.[6]

3.      Faktor Penyebab Tunagrahita
a.       Faktor sebelum lahir
1)            Karena kekurangan nutrisi, infeksi dan luka-luka serta keracunan sewaktu bayi dalam kandungan.
2)            Sewaktu mengandung menderita penyakit, antara lain: kolera, typhus, malaria tropika kronis, gondok, syphilis, gabak, dan TBC, sehingga ada pengaruh buruk pada janin. Bagi yang lahir mungkin akan menderita Toximia, yaitu peristiwa keracunan pada darah sehingga terjadi gangguan pada sistem syaraf (Neuron).
3)            Terjadi intoksinasi (keracunan) pada janin oleh obat-obat penenang yang beracun, antara lain obat Tholidomide dan obat kontrasektif anti hamil yang sangat kuat yang mengandung racun.
4)            Ibu mengandung mengalami psikosa (gila) dapat pula mengalami panik, shock atau dalam keadaan takut, hal ini bisa menyebabkan pada janin berupa kelemahan mental.
5)            Kandungan terkena pukulan yang hebat sehingga menimbulkan kerusakan atau cacat pada janin dalam kandungan.[7]
b.      Faktor Ketika lahir
Pada saat lahir kepala bayi sering terganggu oleh tekanan-tekanan dari dinding rahim dan dapat menyebabkan pendarahan pada bagian dalam kepala janin. Tekanan-tekanan tersebut dapat disebabkan oleh:
1)         Kelahiran dengan bantuan tang (tangver lossing) yang sulit.
2)         Asphixia, yaitu lahir tanpa nafas disebabkan oleh adanya lendir dalam alat pernafasan bayi atau ibunya mendapat zat pembius yang terlalu banyak.
3)         Prematurity atau yang lahir sebelum masanya (waktunya).
4)         Primoginiture, yaitu kelahiran pertama, ada kemungkinan bayi menderita defek mental.[8]
c.       Faktor sesudah lahir (0 sampai dengan 3 tahun)
1)         Pengalaman-pengalaman traumatik, yaitu luka-luka pada kepala atau di kepala bagian dalam karena bayi pernah jatuh, terpukul atau bayi pernah pingsan lama.
2)         Kejang atau stuip, disebabkan anak menderita sakit dan panas badannya tinggi sekali.
3)          Infeksi pada otak atau selaput otak.
4)         Kekurangan nutrisi zat makanan dan vitamin.
5)         Faktor psikologis, yaitu anak kurang sekali mendapat perhatian dan cinta kasih, hal ini menyebabkan retardasi pertumbuhan dari segala fungsi-fungsi jasmaniah dan kejiwaanya terutama hambatan pada intelegensi dan emosinya.[9]
d.      Faktor Hereditas (keturunan)
1)         danya kelainan dalam “chromosome” atau “gene” kedua orang tuanya. Oleh adanya gen lemah mental dari kedua orang tuanya, dapat dimungkinkan anak yang lahir akan mengalami kondisi lemah mental.
2)         Adanya kelainan dalam “chromosome” atau “gene” dari salah satu orang tuanya, karena ada salah salah satu gen lemah mental dari orang tuanya, maka ada kemungkinan anaknya mengalami lemah mental.[10]
4.      Klasifikasi Tunagrahita
a.       Klasifikasi menurut Penyebabnya
Menurut penyebabnya anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi:
1)         Exogenous, yakni keterbelakangan yang diperoleh misalnya karena kerusakan pada bagian otak tertentu.
2)         Endogenous, yakni keterbelakangan karena diturunkan oleh keluarga dan kadang-kadang karena faktor kongenital.[11]
b.      Klasifikasi menurut Tujuan Pendidikan
Klasifikasi anak tuna mental untuk tujuan pendidikan merupakan usaha untuk menyederhanakan dan mengarahkan klasifikasi anak tersebut dalam hubungannya dengan sekolah dan kesejahteraan mereka. Menurut klasifikasi untuk tujuan pendidikan ini, anak tunagrahita dibagi menjadi:
1)         Anak tunagrahita mampu latih (feebleminded, mentally deficient).
2)         Anak tunagrahita mampu didik (mentally handicapped).
3)         Anak lambat belajar (slow learner).[12]
c.       Klasifikasi menurut Taraf Intelegensi
Berdasarkan taraf intelegensinya, orang-orang yang terbelakang mental dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1)      Idiot
Mereka adalah yang mempunyai taraf intelegensi paling rendah (IQ dibawah 20). Orang-orang dari gologan ini perkembangan jiwanya tidak akan lebih usia kejiwaan 3 tahun, sekalipun usianya sudah mencapai remaja atau dewasa. Mereka tidak dapat bicara,tidak dapat berjalan, sering mengompol dan harus ditolong selama hidupnya.
2)      Imbesil
Mereka yaitu yang mempunyai IQ 20 sampai dengan 50. Mereka mencapai taraf usia kejiwaan 3-7 tahun dan dapat diajari untuk memelihara diri sendiri dalam kebutuhan-kebutuhannya yang paling sederhana dan dapat menjaga diri sendiri dari bahaya, misalnya: ke kamar mandi, memakai baju sendiri, menghindari api, berteduh dari hujan, dan sebagainya. Mereka juga memerlukan bantuan orang lain seumur hidupnya.


3)      Debil atau Moron
Mereka mempunyai taraf intelegensi antara 50 sampai dengan 70. Keterbelakangan mereka tidak separah dua jenis diatas dan mereka dapat mencapai taraf usia kejiwaan 7,5-10,5 tahun. Mereka masih dapat diajari berhitung, menulis dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sedehana, sekalipun ini harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan makan waktu lama. Seorang debil yang mendapat latihan cukup tidak usah terus menerus bergantung pada orang lain, karena dengan ketrampilannya ia dapat mencari nafkah sendiri.
Dengan mengacu kepada ukuran tingkat fungsi intelektual umum yang dimanifestasikan dalam bentuk IQ, seseorang akan dianggap termasuk gologan berkemampuan subnormal bila mempunyai IQ yang kurang dari 70 menurut klasifikasi Terman atau bila memiliki IQ kurang dari 65 menurut klasifikasi Wechler.[13]
Adapun menurut APA (American Psychological Association) yang menempatkan tingkat retardasi mental mulai dari borderline sampai pada yang paling parah yaitu profound (Colomen and Bruen, Jr,1972). Secara lebih lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Retardasi Mental Borderline (IQ: 68-83)
Individu yang fungsi intelektualnya berada pada kategori garis batas (borderline) tidak dimasukkan dalam kategori subnormal, hanya saja mereka memiliki kemampuan terbatas untuk dapat memahami ide-ide terhadap apa yang telah mereka pelajari.
2)      Retardasi Mental Ringan (IQ: 52-67)
Klasifikasi ini diberikan kepada orang dewasa dengan fungsi intelektual setara dengan anak usia 8 sampai 11 tahun.
3)      Retardasi Mental Menengah (IQ : 36-51)
Individu ini tingkat intelektualnya tidak dapat berkembang melebihi tingkat intelektual anak-anak usia 4-7 tahun.
4)      Retardasi Mental Berat (IQ : 20-35)
Penderita ini tingkat intelegensinya berada antara 20-35 dan hidupnya sangat tergantung dengan orang lain.
5)      Retardasi Mental Parah (IQ < 20)
Pada penderita retardasi mental parah mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dan tidak mampu dilatih kecuali melakukan hal-hal yang sederhana.[14]



[1] Inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan dengan tepat segenap alat bantu dari fikiran guna penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Inteligensi juga merupakan keterampilan untuk memecahkan masalah, dan kemampuan untuk belajar dari pengalamanpengalaman. Kartini Kartono, Patologi Sosial 3, Gangguan-gangguan Kejiwaan (Jakarta : CV.Rajawali, 198), h. 105.
[2] James D. Page, Abnormal Psychology, Clinical Approach to Psychological Deviants, (New Delhi : Tata Mc. Graw Hill Publishing Company LTD, 1978), p. 354.
[3]Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (United States of America: Allyn and Bacon Company, 1995), sixth edition, p. 120.
[4] A. Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 76.
[5] Anwar Prabu Mangkunegara, Perkembangan Intelegensi Anak dan Pengukuran IQ-nya, (Bandung : Angkasa, 1993), h. 45.
[6] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 60.
[7] Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung : Mandar Maju,1989), h.31-32.
[8] Ibid,.
[9] Ibid., h. 34.
[10] Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, (Jakarta : CV Rajawali, 1991), h. 55.
[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pengertian-pengertian Dasar dalam Pendidikan Luar Biasa,(tt.p : t.p., t.t.), h.45.
[12] Ibid., h. 46
[13] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 145.
[14] Ibid., h. 146-148.

Tidak ada komentar: