Cari Blog Ini

Minggu, 10 Maret 2019

Suasana Keagamaan di Madrasah


A.      Suasana Keagamaan di Madrasah
1.                                                                            Pengertian Suasana Keagamaan di Madrasah
Keagamaan tidak identik dengan agama, mestinya orang yang beragama adalah orang yang religius juga. Namun banyak terjadi, penganut suatu agama yang gigih, tetapi dengan bermotivasi dagang atau peningkatan karir. Disamping itu, ada juga orang berpindah agama karena dituntut oleh calon mertuanya, yang kebetulan dia tidak beragama sama dengan yang dipeluk calon suami/istri. Dicari dan diharapkan bagi anak-anak kita adalah bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik. Yang dicari dan diharapkan untuk anak-anak adalah bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi hamba-hamba Allah yang beragama baik, namun sekaligus orang yang mendalami cita rasa religiusitasnya dan menciptakan damai murni karena fitrah religiusitasnya, meskipun dalam bidang keagamaannya masih kurang.
Sikap agamis pada anak-anak diperoleh dari kebiasaan (tradisi) dan lembaga (institution), anjuran imajinasi, pergerakan aktifitas, ide motorik melalui cara meniru (imitation). Namun sikap agamis dari para muda pada hakikatnya,salah satu keinginan alami untuk mengetahui arti dan pentingnya praktek-praktek ibadah adalah karena agama dapat membimbingnya dalam kehidupan di dunia.[1]
Inti beragama adalah masalah sikap didalam Islam, sikap beragama itu intinya adalah iman. Jadi, yang dimaksud beragama pada intinya ialah beriman, (dalam pembahasan mendalam, ditemukan bahwa iman itu adalah keseluruhan Islam tersebut). Jika kita membicarakan bagaimana cara mengajarkan agama Islam, maka inti pembicaraan kita adalah bagaiman cara mengajarkan agama Islam, maka inti pembicaraan kita adalah bagaimana menjadikan anak didik kita orang yang beriman. [2]
Untuk menanamkan iman, usaha-usaha inilah yang besar pengaruhnya.[3] Dengan adanya penciptaan suasana religius dapat menciptakan ketenangan, kedamaian, meningkatkan persaudaraan serta silaturrahim di antara pimpinan, karyawan, para guru dan para siswa, maka penciptaan suasana keagamaan di madrasah ini dimulai dengan mengadakan berbagai kegiatan keagamaan yang pelaksanaannya ditempatkan dilingkungan madrasah. Hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya jenis dan bentuk kegiatan keagamaan serta meningkatnya dukungan dari para siswa dan orang tua siswa.
Dengan demikian suasana keagamaan adalah keadaan yang terjadi disuatu lingkungan yang dibangun dari orang-orang yang hidup patuh dalam menjalankan ajaran agamanya baik dari segi akidah, ibadah dan akhlaknya yang mencerminkan kehidupanya. Mulai dari cara berpakaian, etika dalam pergaulan, tata krama berkata sampai pada tempat tinggalnya sendiri seluruhnya tergambar orang-orang yang tekun dalam menjalankan ajaran agamanya.
Suasana keagamaan dan praktek-praktek keagamaan dilaksanakan secara terprogram dan rutin (istiqomah) di madrasah, seperti menciptakan pembiasaan berbuat baik dan benar menurut ajaran agama dan menggunakan sarana sebagai tempat pelaksanaan kegiatan keagamaan secara terprogram. Dalam hal ini guru tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai keagamaan yang baik dan yang buruk, juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata dan siswa diminta memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai keagamaan tersebut. Kegiatan-kegiatan keagamaan dilaksanakan secara baik melalui kerjasama dan keterlibatan secara langsung antara guru agama dan guru bidang studi lainnya dengan menjadi tutor dan pembina pada kegiatan-kegiatan keagamaan.
Secara normatif, Basmar mengatakan bahwa salah satu upaya penanggulangan kenakalan remaja yang cukup efektif adalah dengan jalan menanamkan pendidikan agama dalam jiwa anak didik kita. Hal demikian dikarenakan pendidikan agama menurut Zakiyah Drajat, bukanlah sekedar memberikan pelajaran agama secara teratur dan sengaja oleh guru disekolah.[4] Lebih jauh dari itu menurutnya adalah penanaman jiwa agama yang dimulai dari pendidikan keluarga sejak kecil, dengan jalan membiasakan anak untuk berbuat baik.
2.    Model-model Penciptaan  Suasana keagamaan di Madrasah
Model adalah sesuatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan beserta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya. Ada beberapa macam model-model penciptaan suasana keagamaan, antara lain: (1). Model Struktural, yaitu penciptaan suasana keagamaan yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembangunan kesan, baik dari dunia luar atas kepemimpinan atau kebijakan  suatu lembaga pendidikan atau suatu organisasi. Model ini bersifat “top-down” yakni kegiatan dibuat atas prakarsa atau intruksi dari pejabat/pimpinan atasan. (2). Model Formal, yaitu penciptaan suasana keagamaan yang di dasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat saja atau  kehidupan rohani saja. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal, memiliki sikap comitment (keperpihakan) dan dedikasi (pengabdian yang tinggi terhadap agama yang dipelajarinya).Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang bersifat normative dan doktriner. (3). Model mekanik, penciptaan suasana religious yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek; dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai  kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
3.    Urgensi Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah
Untuk menciptakan seorang siswa yang mempunyai akidah yang kokoh, rajin dalam beribadah serta memiliki akhlak yang mulia, maka kita tidak akan hanya mengandalkan kepada pelajaran-pelajaran agama Islam yang diberikan seorang guru di dalam kelasnya saja. Karena kalau hanya mengandalkan mata pelajaran maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk itu perlu adanya kerjasama yang erat antar setiap guru mata pelajaran untuk saling membahu, tidak hanya sampai disana, kerjasam masyarakat dan keluarga serta para tokohpun sangat diperlukan.
3. Faktor Penunjang Dan Penghambat Dalam Penciptaan Suasana Keagamaan di Madraah
Sesuai dengan masalah yang telah diangkat oleh peneliti tentang penciptaan suasana religius, untuk mencapai target yang maksimal pastilah ada faktor penunjang dan penghambatnya di dalam rangka mengembangkan IMTAQ dan IPTEK.
a. Faktor Penunjang dalam Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah adalah:
1)        Tanggung Jawab Keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat terbentuk berdasarkan sukarela dan cinta yang asasi antara dua subyek manusia (suami-istri). Berdasarkan atas cinta kasih dan pengabdian yang luhur membina kehidupan sang anak. Oleh Ki Hajar Dewantoro dikatakan supaya orang itu (sebagai pendidik) mengabdi kepada sang anak. Motivasi pengabdian keluarga (orang tua) ini semata-mata demi cinta kasih yang kodrati. Di dalam suasana cinta dan kemesraan inilah proses pendidikan berlangsung seumur anak itu dalam tanggung jawab keluarga.[5] Keluarga adalah merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam keluargalah manusia dilahirkan, berkembang menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga akan selalu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti dan kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan yang diterima dalam kegiatan inilah yang akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya di sekolah.
Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga terhadap pendidikan anak-anaknya lebih bersifat pembentukan watak dan budi pekerti, latihan keterampilan dan pendidikan kesosialan, seperti tolong menolong, bersama-sama menjaga kebersihan rumah, menjaga kesehatan dan ketentraman rumah tangga dan sejenisnya.[6] Orang tua disini satu sisi sebagai motivator utama, satu sisi juga menjadi faktor kendala, selama orang tua mampu memberi motivasi yang tinggi kepada anaknya, itu menjadi factor pendukung. Orang tua juga mempunyai peran terhadap kesadaran keagamaan seseorang dalam hal meningkatkan kesadaran terhadap agama.
2)        Dukungan Guru
Pembina Lembaga sekolah ini meneruskan pembinaan yang telah diletakkan dasardasarnya dalam lingkungan keluarga. Sekolah menerima tanggung jawab pendidikan berdasarkan kepercayaan keluarga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menerima fungsi pendidikan berdasarkan asas-asas tanggung jawab yang meliputi :
a.  Tanggung jawab formal kelembagaan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku (undangundangpendidikan).
b. Tanggung jawab keilmuan berdasarkan bentuk, isi, tujuan dan tingkat pendidikan yang dipercayakan kepadanya oleh masyarakat dan Negara.
c.  Tanggung jawab fungsional ialah tanggung jawab professional pengelola dan pelaksana pendidikan (para guru, pendidik) yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-ketentuan jabatannya.
Tanggung jawab ini merupakan pelimpahan tanggung jawab dan kepercayaan orang tua (masyarakat) kepada sekolah dari para guru.[7] Dukungan dari guru-guru Pembina, selain itu para guru tidak hanya menyeluruh tapi mengajak siswa untuk mengerjakan sesuatu yang sudah ada dalam program ISMUBA misalnya sholat fardhu secara berjama’ah di masjid atau bentuk kegiatan lainnya.
3)        Fasilitas/Sarana Prasarana Penunjang
Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Kelas harus diusahakan sebagai laboratorium belajar bagi pelajar. Artinya kelas harus menyediakan berbagai sumber belajar seperti buku pelajaran, alat peraga dan lain-lain.
Di samping itu, harus diusahakan agar pelajar diberi kesempatan untuk berperan sebagai bember belajar. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pengajaran disekolah adalah karakteristik sekolah itu sendiri. Karakteristik sekolah berkaitan dengan disiplin sekolah, perpustakaan yang ada disekolah, letak geografis sekolah, lingkungan sekolah, estetika dalam arti sekolah memberikan perasaan nyaman dan kepuasan belajar, bersih, rapih, dan teratur.[8]
4)        Perbaikan Sistem Secara Berkeseimbangan
Upaya untuk melakukan perbaikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan cara seperti ini, maka akan diperoleh hasil yang secara bertahap akan mengalami peningkatan kualitas tersebut. Di evaluasi sehingga menimbulkan kualitas-kualitas baru yang lebih baik. Sistem yang berlaku di sekolah. Sistem ini merupakan factor pendukung yang sangat berpengaruh. Sekolah sudah mempunyi perangkat yang mapan dari segi tatanan, aturan, sangsi semua tinggal menjalankan saja.
5)    Adanya Tata Tertib yang Sudah Mapan.
Jika sekolah merupakan lingkungan yang menengahi antara lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat luas dimana seseorang hidup. Bergerak dan melakukan interaksi dengan orang lain untuk saling mempengaruhi, maka tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa segala tanggung jawab itu hanya ada dipundak salah satu dari ketiga lingkungan tersebut, yakni lingkungan rumah, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
6)    Kurikulum.
Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan karena kurikulum adalah circle or instruction, dimana di dalam kurikulum itu tergambar secara jelas dan terencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajar-mengajar. Menurut M. Arifin kurikulum adalah segala mata pelajaran yang dipelajari dan juga semua pengalaman yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang dilakukan oleh anak didik. Dengan demikian kurikulum harus didesain berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan manusia anak didik dan isinya terdiri dari pengalaman yang edukatif, eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Oleh sebab itu Kementerian Agama hanya memberi semacam rambu-rambu  yang harus ada dalam kurikulum pendidikan agama Islam, tidak sampai menyentuh ke substansi materi.
Kurikulum yang disusun Kementerian Agama harus dibuat sangat terbentuk sehingga sangat memungkinkan untuk guru dapat melakukan omporvisasi terhadap kurikulum tersebut. Untuk menyempurnakan kurikulum, biarkan guru bidang studi bekerja sama dengan NGO dan Institusi Agama di sekitar sekolah dimana guru itu mangajar.
Dengan demikian lingkungan di sekitar sekolah akan mempunyai rasa memiliki dan merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan ataupun kegagalan proses pendidikan. [9] Dengan cara seperti ini tidak ada lagi pihak yang “sembunyi tangan” dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan proses pendidikan agama Islam di sekolah. Karena pada dasarnya institusi keagamaan disekitar sekolah lebih memahami realitas kehidupan keagamaan masyarakatnya ketimbang guru bidang studinya. Sehingga yang diberikan di sekolah merupakan jawaban, ataupun pemenuhan kebutuhan keagamaan masyarakat.
b. Faktor Penghambat dalam Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah adalah :
1)    Masyarakat Sekitar Madrasah
Masyarakat dilingkungan sekolah sebagai lingkungan yang turut mewarnai karakteristik para peserta didik, baik kemungkinan bersifat positif da negatif, diharapkan mampu melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan sekolah, dengan tugas :
a. Turut melakukan pengawasan terhadap para peserta didik yang di indikasikan melakukan penyimpangan sikap dan perilaku melanggar hukum.
b. Membantu menciptakan lingkungan yang aman, damai dan religius.
c. Mendorong terciptanya kerjasama yang baik, khususnya dalam pembinaaan kegiatan keagamaan.
d. Memberikan masukan (saran) dan kritik terhadap pembinaan keagamaan di sekolah.[10]
2)    Tenaga Pengajar Yang Terbatas
Sama dengan teori barat, pendidikan Islam merupakan tanggung jawab siapa saja dalam perkembangan anak didik. Tugas pendidikan yang sekarang ini hampir ditumpahkan semuanya kepada guru dalam perspektif Islam adalah mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik baik potensi psikomotor, kognitif maupun potensi efektif.
Guru menempati peranan suci dalam mengelolah kegiatan pembelajaran.Untuk setiap jenjang satuan pendidikan (SD-SMU) kemampuan professional guru itu tidak diukur dari kemampuan intelektualnya an sich, melainkan juga dituntut untuk memiliki keunggulan dalam aspek moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggung jawab dan keluasan wawasan pendidikannya dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Keluasan wawasan ini dicirikan dengan tumbuhnya semangat keterbukaan dalam profesi (professional transparancy), keluasan dan diverifikasi layanan (services) dalam menunaikan tugas profesionalnya.[11]
1)        Masyarakat Sekitar madrasah
Masyarakat dilingkungan sekolah sebagai lingkungan yang turut mewarnai karakteristik para peserta didik, baik kemungkinan bersifat positif da negatif, diharapkan mampu melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan sekolah, dengan tugas:
a.  Turut melakukan pengawasan terhadap para peserta didik yang di indikasikan melakukan penyimpangan sikap dan perilaku melanggar hukum.
b. Membantu menciptakan lingkungan yang aman, damai dan religius.
c. Mendorong terciptanya kerjasama yang baik, khususnya dalam pembinaaan kegiatan keagamaan.
d. Memberikan masukan (saran) dan kritik terhadap pembinaan keagamaan di madrasah.[12]
2)    Pada Tahap Awal Proses Penanaman Nilai, Anak diperkenalkan Akan Tatanan Hidup Bersama.
Tatanan hidup bersama dalam masyarakat tidak selalu seiring dengan tatanan yang ada dalam keluarga. Pada tahap awal anak diperkenalkan pada nilai hidup secara instruksional, lalu semakin lama diperkenalkan pada penalarannya, tahap demi tahap. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak, maka semakin mendalam unsur pemahaman, argumentasi dan penalarannya.


[1] . Mujammil Qomar dkk, Meniti Jalan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 109
[2]. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 124
[3] . Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam,.  Ibid. hlm. 197

[4] . Zakiyah Darajat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Bulan-Bintang, 1995), hlm.180
[5] . Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha- Usaha Nasional, 1988), hlm. 16.

[7] Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha-Usaha Nasional, 1988), hlm. 16.
[8]  Depag RI, Kendali Mutu Pendidikan (Jakarta: Tim DJ PAI, 2003), hlm. 81
[9] . Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 57
[10] . Fuad Hasan, Op. Cit.., hlm. 61
[11] . Fuad Hasan,. Ibid, hlm. 24
[12] . Fud Fuad Hasan, op. cit.,  h. 61

Tidak ada komentar: