1.
Kurikulum
Pendidikan Pesantren
Dalam tradisi pesantren, biasanya pendirian
pesantren di prakarsai oleh usaha mandiri kiai, sehingga masing-masing
pesantren memiliki ciri khusus yang biasanya sesuai dengan selera sang kiai.
Disamping itu kategori pesantren dapat dilihat dari berbagai perspektif antara
lain dari kurikulum yang dipakai, tingkat kemajuan dan kemodernisasian,
keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sistem pendidikannya.
Dari segi kurikulum
pesantren menurut M. Arifin dibedakan menjadi tiga bentuk; pertama pesantren
modern, pesantren takhassus (khusus ilmu alat, ilmu fikih, ilmu
tafsir/hadis, tasauf/thariqat, dan qira’at al-Qur’an, dan pesantren
kombinasi antara modern dan khusus. Selain itu pesantren juga bisa dilihat dari
berbagai aspek lainnya, seperti dari keterbukaan terhadap perubahan, sistem
pendidikan yang dikembangkan, apakah memiliki santri yang belajar dan tinggal
bersama kiai atau dengan bentuk madrasah dan kurikulum tertentu serta pesantren
yang hanya berupa asrama sedangkan kiai hanya sebagai pengawas dan Pembina
mental.
Selain itu pesantren juga
memiliki berbagai unsur yang terdapat dalam pengelolaannya, mulai dari kiai
sebagai pendidik dan pemegang kekuasaan pesantren, santri yang memiliki
berbagai karakter sesuai dengan model pesantren yang ada, dan semua sarana dan
prasarana pesantren mulai dari mesjid, asrama dan sebagainya. Dan khusus
pengajian kitab kuning atau dikombinasikan dengan umum.
Pelaksanaan kurikulum
pendidikan pesantren menurut Nurcholish Madjid dapat dilihat dari keahlian yang
dimiliki oleh lulusannya, yaitu berorientasi pada penguasaan beberapa keahlian,
antara lain nahwu/sharaf yang mengkaji tata bahasa dan gramatika bahasa
Arab, ilmu fiqih yang membahas tentang hukum-hukum syari’at, ilmu aqidah yang
membahas tentang kepercayaan dan keyakinan seorang muslim dan ilmu tasawuf
yaitu ilmu tentang pendalaman keimanan dan keIslaman.[1]
2.
Proses
Belajar Mengajar Pada Pesantren
Dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren
terdapat komponen penting layaknya komponen pendidikan. Komponen minimal pada
pesantren biasanya memiliki kiai yang mendidik dan mengajar, dan santri yang
belajar serta mesjid, meskipun akan terdapat perbedaan pada masing-masing
pesantren sesuai dengan variannya.
Kiai atau ustatz merupakan tokoh sentral dalam
pesantren. Peran yang dimiliki kiai tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar,
namun juga sebagai pemegang kendali manejerial pesantren. Kiai disebut alim
bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai
menjadi panutan bagi semua santri, bahkan masyarakat secara luas, sehingga
posisi kiai sebagai pemimpin ilmiah, sprittual, sosial dan administrasi.
Kepemimpinan pesantren jauh lebih berat dari
kepemimpinan organisasi lainnya, sebab tingkat kontinuitas dan koneksitas antar
komponen pesantren jauh lebih berat. Kondisi tersebut menuntut agar
kepemimpinan pesantren lebih bersifat kolaboratif dan efektif. Beberapa
indikator yang mesti dikembangkan dalam kepemimpinan pesantren antara lain:
a.
Kecerdasan. Aspek
kecerdasan sangat diperlukan dalam kepemimpinan terutama kemampuan dalam menemukan
langkah-langkah yang tak diduga saat menghadapi masa-masa sulit.
b.
Kedewasaan
dan keluasan hubungan sosial. Kematangan berpikir dan bersikap besar
dipengaruhi oleh kedewasaan berpikir dan hubungan sosial yang dilakukan.
c.
Motivasi
diri dan dorongan berprestasi. Hakikatnya setiap pemimpin memiliki motivasi
yang kuat untuk berprestasi dan dorongan untuk mempertahankan motivasi untuk
tetap berprestasi.
d.
Sikap-sikap
hubungan kemanusiaan. Kepemimpinan
seseorang dalam keberhasilannya dipengaruhi oleh pengakuan dan penghormatan
terhadap orang lain sehingga berpihak kepada mereka dalam kebijakannya.[2]
Sedangkan santri merupakan peserta didik atau
objek pendidikan pada pesantren. Pada masa dulu pola hubungan santri dengan
kiai memiliki kebiasaan tertentu, bahkan memberikan penghormatan yang
berlebihan kepada kiai, sehingga menjadikan santri pasif karena khawatir
kehilangan berkah. Namun perkembangan belakangan ini menunjukkan bahwa sudah
terjadi perubahan dalam pola hubungan tersebut. Santri sudah memiliki sifat
kritis dan mempertanyakan hal-hal yang menjadi pemikirannya.
Beberapa ciri khusus yang menonjol dalam
hubungan kiai dan santri pada pesantren antara lain :
a.
Adanya
hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
b.
Adanya
kepatuhan santri kepada kiai.
c.
Hidup
hemat dan penuh kesederhanaan.
d.
Kemandirian.
e.
Jiwa
tolong menolong dan suasana persaudaraan.
f.
Kedisiplinan.
g.
Berani
menderita untuk mencapai suatu tujuan.
h.
Pemberian
ijazah.[3]
Ciri khas yang menonjol tersebut masih berlaku
pada pesantren murni tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah
mendorong terjadinya perubahan terus menerus pada sebagian besar pesantren.[4]
Maka dapat disimpulkan sikap santri terhadap kiai kepada dua hal yaitu, pertama,
sikap taat dan patuh yang sangat tinggi kepada kiainya, tanpa pernah membantah,
sikap ini dimiliki oleh santri lulusan pesantren saja. Kedua, sikap taat
dan patuh sepantasnya, ada para santri yang memperoleh pendidikan umum.[5]
Santri sebagai komponen utama dalam pengelolaan
pesantren mesti mendapatkan perhatian yang lebih serius, karena sebagian besar
program pesantren berorientasi pada pemberdayaan santri sebagai peserta didik.
Beberapa prinsip dalam pengelolaan santri pesantren antara lain:[6]
a.
Prinsip
koordinatif yaitu jalur koordinatif dan kesinambungan peran, mulai dari
kiai/pengasuh, pengurus/guru, pengurus asrama, pengurus kamar.
b.
Prinsip
konsultatif yaitu peranan supervisi secara menyeluruh dari pengelola lembaga
dalam menghadapi problem santri.
c.
Prinsip partisipatif
yaitu melibatkan secara total pada seluruh kegiatan dan aktifitas pesantren
sehingga timbul rasa kepemilikan dan kebanggaan terhadap pesantren.
d.
Prinsip
kekompakan dan tanggung jawab. Universalitas dan humanitas merupakan ciri utama
kehidupan pesantren, maka pengorganisasian santri merupakan salah satu aspek
untuk menghilangkan kcemburuan terhadap sesama santri.
Sedangkan metode pembelajaran, pesantren
memiliki ciri utama, antara lain :
a.
Metode wetonan
yaitu metode pembelajaran dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk
mengelilingi kiai, mendengar, menyimak kitab dan mencatat apa yang disampaikan
oleh kiai pada waktu-waktu tertentu.
b.
Sorongan yaitu
metode pembelajaran dimana santri menghadap kiai satu persatu mengulang
pelajarannya.
Metode hafalan yaitu
suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang
dipelajarinya.[7]
[1]
Nurcholish madjid, op. cit., h. 7-9
[2] Miftah
Thoha, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 251-252
[3]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 56
[4] Samsul
Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 289
[5] Mujamil
Qomar, op. cit., h. 21
[6] Amin
Haedari dan M. Ishom Elsaha, Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),
h. 44-46
[7] Abuddin
Nata (ed.), Sejatah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Grasindo, 2001), h. 105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar