Cari Blog Ini

Jumat, 05 April 2019

Kurikulum Pendidikan Pesantren


1.    Kurikulum Pendidikan Pesantren
Dalam tradisi pesantren, biasanya pendirian pesantren di prakarsai oleh usaha mandiri kiai, sehingga masing-masing pesantren memiliki ciri khusus yang biasanya sesuai dengan selera sang kiai. Disamping itu kategori pesantren dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain dari kurikulum yang dipakai, tingkat kemajuan dan kemodernisasian, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sistem pendidikannya.
Dari segi kurikulum pesantren menurut M. Arifin dibedakan menjadi tiga bentuk; pertama pesantren modern, pesantren takhassus (khusus ilmu alat, ilmu fikih, ilmu tafsir/hadis, tasauf/thariqat, dan qira’at al-Qur’an, dan pesantren kombinasi antara modern dan khusus. Selain itu pesantren juga bisa dilihat dari berbagai aspek lainnya, seperti dari keterbukaan terhadap perubahan, sistem pendidikan yang dikembangkan, apakah memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai atau dengan bentuk madrasah dan kurikulum tertentu serta pesantren yang hanya berupa asrama sedangkan kiai hanya sebagai pengawas dan Pembina mental.
Selain itu pesantren juga memiliki berbagai unsur yang terdapat dalam pengelolaannya, mulai dari kiai sebagai pendidik dan pemegang kekuasaan pesantren, santri yang memiliki berbagai karakter sesuai dengan model pesantren yang ada, dan semua sarana dan prasarana pesantren mulai dari mesjid, asrama dan sebagainya. Dan khusus pengajian kitab kuning atau dikombinasikan dengan umum.
Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren menurut Nurcholish Madjid dapat dilihat dari keahlian yang dimiliki oleh lulusannya, yaitu berorientasi pada penguasaan beberapa keahlian, antara lain nahwu/sharaf yang mengkaji tata bahasa dan gramatika bahasa Arab, ilmu fiqih yang membahas tentang hukum-hukum syari’at, ilmu aqidah yang membahas tentang kepercayaan dan keyakinan seorang muslim dan ilmu tasawuf yaitu ilmu tentang pendalaman keimanan dan keIslaman.[1] 
2.    Proses Belajar Mengajar Pada Pesantren
Dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren terdapat komponen penting layaknya komponen pendidikan. Komponen minimal pada pesantren biasanya memiliki kiai yang mendidik dan mengajar, dan santri yang belajar serta mesjid, meskipun akan terdapat perbedaan pada masing-masing pesantren sesuai dengan variannya.
Kiai atau ustatz merupakan tokoh sentral dalam pesantren. Peran yang dimiliki kiai tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, namun juga sebagai pemegang kendali manejerial pesantren. Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai menjadi panutan bagi semua santri, bahkan masyarakat secara luas, sehingga posisi kiai sebagai pemimpin ilmiah, sprittual, sosial dan administrasi.
Kepemimpinan pesantren jauh lebih berat dari kepemimpinan organisasi lainnya, sebab tingkat kontinuitas dan koneksitas antar komponen pesantren jauh lebih berat. Kondisi tersebut menuntut agar kepemimpinan pesantren lebih bersifat kolaboratif dan efektif. Beberapa indikator yang mesti dikembangkan dalam kepemimpinan pesantren antara lain:
a.    Kecerdasan. Aspek kecerdasan sangat diperlukan dalam kepemimpinan terutama kemampuan dalam menemukan langkah-langkah yang tak diduga saat menghadapi masa-masa sulit.
b.    Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial. Kematangan berpikir dan bersikap besar dipengaruhi oleh kedewasaan berpikir dan hubungan sosial yang dilakukan.
c.    Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Hakikatnya setiap pemimpin memiliki motivasi yang kuat untuk berprestasi dan dorongan untuk mempertahankan motivasi untuk tetap berprestasi.
d.   Sikap-sikap hubungan kemanusiaan.  Kepemimpinan seseorang dalam keberhasilannya dipengaruhi oleh pengakuan dan penghormatan terhadap orang lain sehingga berpihak kepada mereka dalam kebijakannya.[2]
Sedangkan santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan pada pesantren. Pada masa dulu pola hubungan santri dengan kiai memiliki kebiasaan tertentu, bahkan memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiai, sehingga menjadikan santri pasif karena khawatir kehilangan berkah. Namun perkembangan belakangan ini menunjukkan bahwa sudah terjadi perubahan dalam pola hubungan tersebut. Santri sudah memiliki sifat kritis dan mempertanyakan hal-hal yang menjadi pemikirannya.
Beberapa ciri khusus yang menonjol dalam hubungan kiai dan santri pada pesantren antara lain :
a.    Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
b.    Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
c.    Hidup hemat dan penuh kesederhanaan.
d.   Kemandirian.
e.    Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
f.     Kedisiplinan.
g.    Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
h.    Pemberian ijazah.[3]
Ciri khas yang menonjol tersebut masih berlaku pada pesantren murni tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus menerus pada sebagian besar pesantren.[4] Maka dapat disimpulkan sikap santri terhadap kiai kepada dua hal yaitu, pertama, sikap taat dan patuh yang sangat tinggi kepada kiainya, tanpa pernah membantah, sikap ini dimiliki oleh santri lulusan pesantren saja. Kedua, sikap taat dan patuh sepantasnya, ada para santri yang memperoleh pendidikan umum.[5]
Santri sebagai komponen utama dalam pengelolaan pesantren mesti mendapatkan perhatian yang lebih serius, karena sebagian besar program pesantren berorientasi pada pemberdayaan santri sebagai peserta didik. Beberapa prinsip dalam pengelolaan santri pesantren antara lain:[6]
a.    Prinsip koordinatif yaitu jalur koordinatif dan kesinambungan peran, mulai dari kiai/pengasuh, pengurus/guru, pengurus asrama, pengurus kamar.
b.    Prinsip konsultatif yaitu peranan supervisi secara menyeluruh dari pengelola lembaga dalam menghadapi problem santri.
c.    Prinsip partisipatif yaitu melibatkan secara total pada seluruh kegiatan dan aktifitas pesantren sehingga timbul rasa kepemilikan dan kebanggaan terhadap pesantren.
d.   Prinsip kekompakan dan tanggung jawab. Universalitas dan humanitas merupakan ciri utama kehidupan pesantren, maka pengorganisasian santri merupakan salah satu aspek untuk menghilangkan kcemburuan terhadap sesama santri.
Sedangkan metode pembelajaran, pesantren memiliki ciri utama, antara lain :
a.    Metode wetonan yaitu metode pembelajaran dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk mengelilingi kiai, mendengar, menyimak kitab dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai pada waktu-waktu tertentu.
b.    Sorongan yaitu metode pembelajaran dimana santri menghadap kiai satu persatu mengulang pelajarannya.
Metode hafalan yaitu suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.[7]


[1] Nurcholish madjid, op. cit., h. 7-9
[2] Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 251-252
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 56
[4] Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 289
[5] Mujamil Qomar,  op. cit., h. 21
[6] Amin Haedari dan M. Ishom Elsaha, Pesantren dan Madrasah  Diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 44-46
[7] Abuddin Nata (ed.),  Sejatah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2001), h. 105-106

Tidak ada komentar: