1.
Sejarah
Pesantren di Indonesia
Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan
tentang siapa pendiri pesantren pertama kali di Indonesia. Sebagian menyebutkan
Syekh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat sebagai pendiri pesantren pertama di
Jawa, sebagian lain menyebutkan Sunan Ampel atau Raden Rahmat di Kembang Kuning
Surabaya dan bahkan ada yang menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati sebagai
pendiri pertama di Cirebon. Terlepas dari perdebatan tentang pendiri pesantren
di Nusantara, setidaknya pesantren dalam perjalanannya sudah mengambil posisi
yang sangat penting dalam sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional sampai
hari ini.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan
menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, bahkan misi yang kedua ini
lebih menonjol. Hal itu terlihat dari lokasi berdirinya pesantren tepat pada
posisi yang memungkinkan terjadinya benturan antara nilai-nilai yang dibawanya
dengan nilai-nilai yang telah mengakar pada masyarakat setempat, bahkan hal itu
masih berlangsung sampai abad ke 19 dan 20.
Pesantren terus berkembang sambil menghadapi
rintangan demi rintangan, hingga masuk pada masa penjajahan Belanda dan Jepang
di Nusantara. Pada masa penjajahan Belanda pendidikan Islam ditekan dan
diskreditkan, termasuk pondok pesantren, karena menurut Belanda pesantren
sangat jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi maju menjadi sekolah-sekolah
modern, sehingga mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang tidak ada
kaitannya dengan sekolah yang sudah ada.[1]
Langkah selanjutnya yang diambil Belanda
terhadap pesantren adalah dengan menghalangi perkembangan pesantren sehingga
berpengaruh pada perkembangan penyebaran Islam secara normal. Pada tahun 1882
Belanda membentuk Pristeranden yang bertugas mengawasi pengajaran agama
Islam pada pesantren-pesantren. Bahkan berlanjut dengan keluarnya Ordonasi 1905
yang bertugas mengawasi pesantren dan mengatur izin bagi guru-guru agama yang
akan mengajar.[2]
Pada masa penjajahan
Jepang pesantren berhadapan dengan imprealis baru dengan perlawanan kiai-kiai
pesantren yang diawali oleh Kiai Hasyim Asy’ary terhadap Saikere yaitu
penghormatan kepada Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu
dengan membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00,
sehingga mereka ditangkap dan di penjarakan,[3] sehingga muncul perlawanan dari para kiai dan santri
untuk melawan Jepang dengan gerakan bawah tanah. Usaha yang dilakukan santri
tersebut berhasil bahkan berlanjut dengan perhatian yang diberikan oleh Jepang
kepada pemimpin Islam (kiai) dengan mendirikan Kantor UrusanAgama (KUA),
Masyumi dan Hizbullah.
Kemudian pada masa kemerdekaan, pendidikan berkembang
lebih maju, termasuk pendidikan Islam, namun pada masa ini pendidikan madrasah
mendapatkan momentumnya yang secara tidak langsung berpengaruh negatif pada
pendidikan pesantren. Sampai memasuki masa Orde Baru pesantren
berjalan normal kembali sampai memasuki tahun 1970-an dengan berkembangnya
sekularisasi, namun kesadaran pesantren terhadap perubahan-perubahan juga
menjadi evaluasi untuk merubah pendekatan ideologis kepada pendekatan kultural
[1] Enung K
Rukiati dan Fenti Hikmawati, op. cit., h. 107
[2] Mujamil
Qomar, op.cit., h. 12
[3] Ibid,
h. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar