Cari Blog Ini

Jumat, 05 April 2019

Sejarah Pesantren di Indonesia


1.    Sejarah Pesantren di Indonesia
Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan tentang siapa pendiri pesantren pertama kali di Indonesia. Sebagian menyebutkan Syekh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat sebagai pendiri pesantren pertama di Jawa, sebagian lain menyebutkan Sunan Ampel atau Raden Rahmat di Kembang Kuning Surabaya dan bahkan ada yang menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pertama di Cirebon. Terlepas dari perdebatan tentang pendiri pesantren di Nusantara, setidaknya pesantren dalam perjalanannya sudah mengambil posisi yang sangat penting dalam sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional sampai hari ini.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, bahkan misi yang kedua ini lebih menonjol. Hal itu terlihat dari lokasi berdirinya pesantren tepat pada posisi yang memungkinkan terjadinya benturan antara nilai-nilai yang dibawanya dengan nilai-nilai yang telah mengakar pada masyarakat setempat, bahkan hal itu masih berlangsung sampai abad ke 19 dan 20.
Pesantren terus berkembang sambil menghadapi rintangan demi rintangan, hingga masuk pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Nusantara. Pada masa penjajahan Belanda pendidikan Islam ditekan dan diskreditkan, termasuk pondok pesantren, karena menurut Belanda pesantren sangat jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi maju menjadi sekolah-sekolah modern, sehingga mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang tidak ada kaitannya dengan sekolah yang sudah ada.[1]
Langkah selanjutnya yang diambil Belanda terhadap pesantren adalah dengan menghalangi perkembangan pesantren sehingga berpengaruh pada perkembangan penyebaran Islam secara normal. Pada tahun 1882 Belanda membentuk Pristeranden yang bertugas mengawasi pengajaran agama Islam pada pesantren-pesantren. Bahkan berlanjut dengan keluarnya Ordonasi 1905 yang bertugas mengawasi pesantren dan mengatur izin bagi guru-guru agama yang akan mengajar.[2]
Pada masa penjajahan Jepang pesantren berhadapan dengan imprealis baru dengan perlawanan kiai-kiai pesantren yang diawali oleh Kiai Hasyim Asy’ary terhadap Saikere yaitu penghormatan kepada Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu dengan membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap dan di penjarakan,[3] sehingga muncul perlawanan dari para kiai dan santri untuk melawan Jepang dengan gerakan bawah tanah. Usaha yang dilakukan santri tersebut berhasil bahkan berlanjut dengan perhatian yang diberikan oleh Jepang kepada pemimpin Islam (kiai) dengan mendirikan Kantor UrusanAgama (KUA), Masyumi dan Hizbullah.
Kemudian pada masa kemerdekaan, pendidikan berkembang lebih maju, termasuk pendidikan Islam, namun pada masa ini pendidikan madrasah mendapatkan momentumnya yang secara tidak langsung berpengaruh negatif pada pendidikan pesantren. Sampai memasuki masa Orde Baru pesantren berjalan normal kembali sampai memasuki tahun 1970-an dengan berkembangnya sekularisasi, namun kesadaran pesantren terhadap perubahan-perubahan juga menjadi evaluasi untuk merubah pendekatan ideologis kepada pendekatan kultural


[1] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, op. cit., h. 107
[2] Mujamil Qomar, op.cit., h. 12
[3] Ibid, h. 13

Tidak ada komentar: