Cari Blog Ini

Jumat, 05 April 2019

Peralihan Pondok Pesantern Tradisional Menuju Modern


1.    Peralihan Pondok Pesantern Tradisional Menuju Modern
Modernisasi Pendidikan Islam muncul dalam berbagai ragam dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan setting sosio-historis yang melingkupi para modernis. Dalam berbagai upaya modernisasi itulah, pendidikan merupakan sarana yang paling ampuh dan utama. Melalui pendidikan inilah transfer nilai-nilai dan ajaran Islam dapat dilakukan secara terencana dan sistematis.
Modernisasi pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan ummat Islam saat ini dan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalam melahirkan suatu peradaban Islam yang modern.[1] Namun demikian modernisasi pendidikan Islam tidaklah dapat dirasakan hasilnya pada satu dua hari saja namun memerlukan suatu proses yang panjang yang setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.[2]
Mengingat pentingnya modernisasi pendidikan Islam, maka setiap lembaga pendidikan Islam haruslah mendapatkan penanganan yang serius, setidaknya ini untuk menghasilkan para pemikir dan intelektual yang handal dan mempunyai peran sentral dalam pembangunan. Modernisasi dalam pendidikan Islam pertama kali harus tertuju kepada tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yang meliputi tujuan tertinggi yaitu sebagai suatu proses pendidikan yang akan menghasilkan peserta didik yang beribadah kepada-Nya dan sebagai khalîfah di muka bumi yang dijabarkan menjadi tujuan umum dan secara operasional dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan Islam secara institusional, kurikuler[3] maupun tujuan instruksional. Misalnya pada saat ini kurikulum yang diberlakukan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka perumusan tujuan itu harus mengacu kepada kompetensi tertentu yang harus dimiliki melalui pembelajaran bidang studi tertentu.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat Indonesia dengan menggunakan sistem asrama (pondok) yang santrinya menerima pendidikan dan pengajaran agama islam melalui pengajian kitab-kitab keislaman klasik dan/atau pendidikan madrasah di bawah kepemimpinan dan asuhan oleh seorang atau beberapa kiai yang berciri khas independen dan penuh kesederhanaan.
A. Wahid Zaini menyatakan bahwa meskipun banyak pihak yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren merupakan peniruan sistem pendidikan Hindu dan Budha, namun secara konseptual dan operasional telah dikenal pada masa Rasulullah SAW. Rasulullah telah melaksanakan pendidikan Islam dengan sistem pembelajaran langsung guna mencetak kader-kader penerus kepemimpinan Islam Dengan pendidikan yang diselenggarakan Rasulullah itu maka muncullah para Sahabat dan Tâbi’în yang ahli dalam berbagai disiplin agama Islam baik tafsir, hadits, fiqh, dan lain-lain.[4]
Jusuf Amir Faisal menyatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tujuan yang secara primordial adalah; pertama, mencetak kader-kader ulama yang paham dan ahli dalam suatu atau lebih bidang ilmu keislaman, seperti fiqh, aqidah, tasawwuf, bahasa Arab, dan lain-lain. Kelompok ini adalah mereka yang nantinya tampil sebagai pemimpin umat yang dapat menguasai ilmu-ilmu agama Islam yang sekaligus dapat mengimplementasikannya dalam suatu tatanan peradaban masyarakat yang Islami. Kedua, mencetak para muslim yang dapat melaksanakan ajaran agamanya. Dengan ini lulusan pesantren diharapkan agar dapat melaksanakan ajaran Islam secara baik meskipun mereka tidak dapat sampai pada tingkat ulama, sehingga mereka dapat mengembangkan suatu peradaban dalam perspektif Islam. Pada komunitas ini lebih ditekankan pada aspek praktis. Ketiga, mencetak tenaga yang memiliki keterampilan dan keahlian yang relevan dengan terbentuknya masyarakat beragama, yang dapat mengintegrasikan keahlian dan keterampilannya dalam kerangka pikir dan kerangka kerja yang Islami.[5]
Senada dengan hal di atas tujuan pendidikan Islam di pesantren, menurut rumusan Tim Direktorat Kelembagan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1986 tentang Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren, adalah : (1) menguasai ilmu agama dan mampu melahirkan insan-insan yang mutafaqquh fî al-dîn, (2) menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan tekun, ikhlas semata-mata untuk berbakti kepada Allah SWT, (3) mampu menghidupkan Sunnah Rasulullah dan meyebarkan ajaran Islam secara kâffah, (4) berakhlak luhur, berpikir kritis, berjiwa dinamis dan istiqamah, (5) berjiwa besar, kuat mental dan fisik, hidup sederhana, tahan uji., beribadah, tawadhu’, kasih sayang terhadap sesama, mahabbah dan tawakkal kepada Allah SWT.[6]
Untuk mencapai tujuan yang disebutkan diatas, perlu dirumuskan pembaharuan sistem pendidikan pesantren pada aspek organisasi, kurikulum dan metologi pembelajaran. Berkaitan aspek organisasi pesantren harus disusun pola organisasi yang jelas, terstruktur, dengan menganut prinsip-prinsip inovasi organisasi pendidikan pesantren sebagai berikut:
1.    Fokus pada tujuan Pesantren harus mampu menentukan fokus tujuan organisasi sehingga diketahui dengan jelas oleh semua anggota organisasi. Melalui fokus tujuan tersebut masing-masing pihak memposisikan diri untuk mencapai tujuan yang merupakan arah digerakkannya organisasi.
2.    Adikuasi komunikasi Pesantren harus dapat mengembangkan komunikasi multi level atau multi dimensi (atas bawah, samping, kiri dan kanan). Komunikasi harus dibangun vertikal dan horizontal dengan komponen-komponen yang menyeluruh yang tidak hanya terbatas pada lingkungan internal organisasi itu sendiri, dengan membangun komunikasi langsung melalui pertemuan-pertemuan.
3.    Pertimbangan kekuatan optimal Pesantren harus dapat mempertimbangkan di dalamnya perimbangan kekuatan pada semua unit dan lini organisasinya, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan organisasi. Disamping itu untuk melakukan kolaborasi antara unit karena merasa adanya ketergantungan antar mereka.
4.    Dimensi moral Dimensi moral berkaitan erat dengan perhatian terhadap respon masing-masing pribadi berpengaruh kepada organisasi pesantren. Respon individu dalam setiap organisai tidak sama. Kebijakan organsiasi pesantren harus dapat membuka respon-respon masingmasing-anggota dan melaksanakan respon-respon tersebut, dan inilah yang disebut dimensi moral dalam organisasi.
5.    Adaptasi diperlukan dalam realisasi hubungan organisasi pesantren dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Jika terjadi ketidaksesuaian maka harus ada pemecahan masalah (problem solving) dan pengaturan kembali (reformulation) melalui beberapa pendekatan baru yang melibatkan lingkungan dan pesantren.[7]
 Aspek lain yang menjadi concern dalam pembaharuan pesantren adalah reorientasi kurikulum sebagai salah satu komponen pembelajaran. Kurikulum memegang peranan penting dalam proses pendidikan serta merupakan suatu rencana kegiatan yang memberikan pedoman kepada pengajaran[8]. Atau secara praktis kurikulum dipandang sebagai serangkaian mata pelajaran yang harus ditempuh/dikuasai oleh anak didik untuk mencapai suatu tingkatan pendidikan.
Sementara itu kurikulum pesantren menganut sistem dan pola beragam yang disesuaikan dengan tipe dan karakteristik pesantren itu. Untuk pesantren tradisional, pembelajaran pesantren didominasi dengan pengkajian terhadap kitab-kitab keislaman klasik yang lebih banyak didominasi oleh fiqh, aqidah, tasawuf dan bahasa Arab.[9] Sementara pesantren yang telah mengenal pendidikan madrasah umumnya menerapkan kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama,[10] sebagian lagi ada pesantren yang membuka sekolah umum, meskipun ada sebagian kecil pesantren yang menggunakan kurikulum sendiri.
Berkaitan dengan perubahan dan perkembangan pesantren di atas, perlu merumuskan kembali kurikulum pembelajarannya dengan tetap berada dalam koridor sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren secara umum. Dengan kata lain pesantren harus selalu menjaga nilainilai/prinsip prinsip dan karakteristik pendidikan pesantren dengan tetap mengarah pada tujuan pendidikan Islam secara umum dan tujuan pendidikan pesantren secara khusus. Juga tak kalah pentingnya, pesantren harus selalu melakukan inovasi.
Ada beberapa tawaran berkaitan dengan pengembangan kurikulum pendidikan pesantren, diantaranya yang dinyatakan Jusuf Amir Faisal, yaitu :
1.    Pada level Madrasah Ibtidiyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan ditambah dengan keterampilan dasar.
2.    Pada level Madrasah Tsanawiyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan keterampilan terapan.
3.    Pada level Madrasah Aliyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan aliran pemikiran ilmu Islam, berupa implementasi nilai Islam dalam kehidupan berbudaya.
4.    Pada level takhashshush meliputi keahlian keterampilan khusus (spesialisasi, pemecahan dan aplikasi nilai Islam dalam kehidupan dan dakwah bi lisân al- maqâl dan bi lisân al-hâl).[11]
Ide senada juga pernah dilontarkan oleh Wahjoetomo, mantan Rektor Universitas Merdeka Malang, yang mengusulkan sebuah bentuk sintesa antara dimensi-dimensi positif pendidikan pesantren dengan sistem perguruan tinggi, yang sebut ia sebagai Perguruan Tinggi Pesantren (PTP). PTP dimaksudkan untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang menguasai pengetahuan umum sekaligus agama yang dilengkapi dengan ketermpilan keahlian tertentu.yang menitikberatkan pada sikap dan perilaku keagamaan bukan sekadar pengetahuan keagamaan.[12] Meskipun gagasan tersebut menghadapi berbagai tantangan (ketersediaan tenaga pengajar, dana dan lain-lain), namun setidaknya sudah merupakan upaya integrasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Aspek pembaharuan pendidikan pesantren lainnya adalah metodologi pembelajaran di pesantren, dengan menggunakan metode pengajaran variatif–disamping metode pengajaran konvensional, sorogan dan bandongan. Ada beberapa metode yang dapat menumbuhkan inovasi pendidikan di pesantren, yaitu :
a.         Metode demonstrasi.
yaitu metode yang digunakan dalam pengajaran yang menggabungkan penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian peralatan, barang dan benda dengan menjelaskan cara-cara menggunakan peralatan, hal-hal yang harus diperhatikan, alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan, pentingnya dilakukan setahap demi setahap.
b.         Metode sosiodrama dan bermain peran.
Kedua metode ini dapat dilakukan dengan bersamaan atau saling bergantian. Sosiodrama dapat diartikan sebagai tingkah laku manusia dalam hubungn dengan masyarakatnya. Sedangkan bermain peran berarti anak didik memainkan suatu peranan, yang berupa perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat.
c.         Metode diskusi.
Metode ini sebagai suatu pendekatan dari anak didik dalam memecahkan berbagai masalah secara analistis dan ditinjau dari berbagai titik pandangan. Tujuan dari metode ini adalah menemukan pemecahan masalah, suatu pertemuan pendapat atau suatu kompromi yang disepakati bersama sebagai gambaran dari gagasan-gagasan terbaik yang diperoleh dari pembicaraan bersama.
d.        Metode Kerja Kelompok.
Metode pengajaran ini adalah penyajian materi dengan cara pemberian tugas-tugas untuk mempelajari sesuatu kepada kelompok-kelompok belajar yang sudah ditentukan dalam rangka mencapai tujuan.

e.         Studi kemasyarakatan.
Metode ini menjadikan masyarakat sebagai sumber pengalaman belajar yang luas. Oleh karenya pesantren tidak hanya menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat tapi menjadikan masyarakat sebagai sumber belajar yang harus digali dan diperbaiki.[13]
Pembaharuan pendidikan pesantren dalam berbagai aspeknya memerlukan dukungan semua pihak, baik itu pihak internal pesantren, dan juga stakeholder, yaitu semua pihak yang terkait dan berkepentingan terhadap kemajuan pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dukungan ini dapat dimulai dengan penghilangan stigma buruk terhadap pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, pendidikan yang tertutup dan sulit berkembang Dukungan lainnya berupa pengadaan dana operasional, sarana dan prasarana pendidikan serta perlakuan terhadap pesantren dan alumninya yang fair dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan dalam memasuki dunia kerja.



[1] Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Isam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hlm. 6
[2] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984).
[3] Tujuan Kurikuler adalah tujuan pendidikan Islam berdasarkan kepada kurikulum yang digunakan dalam pendidikan Islam. Ini dapat dijabarkan dari tujuan pendidikan Nasional, yang secara yuridis formal dirumuskan dan ditetapkan melalui peraturan yang berlaku
[4] 17A.Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakt Indonesia” dalam Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal, ed. M. Nazim Zuhdi, et.al (Surabaya: Sunan Ampel Surabaya Press, 1999), hlm. 77
[5] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Inszani Press,1995), hlm.182
[6] M. Ardi Rasyid, ”Pertumbuhan dan Perkembangan pondok Pesantren di Indonesia,” Akademika, Majalah STAIN Jurai Siwo Metro (Vol 8, Nomor 01, 2003), hlm. 88
[7] Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan, Relevansi dan Rekonstruksi Kurikulum (Jambi: SAPA Project, Cetakan I, 2004) hlm.74-77
[8] Elvi Muawanah, Pelakasanaan Kurikulum Agama Islam Melalui Akumulasi Pendekatan Pembelajaran Kurukulum Agama di Madrasah Aliyah al Islam Jerosan Mlarak Ponorogo, (Laporan Penelitian, STAIN Tulung Agung, 2002), hlm. 11.
[9] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm.16.
[10] Faisal, Reoreintasi, Of,Cit, hlm. 185. 24
[11] Ibid., hlm.192
[12] M. Affan Hasyim, ”Konvergensi Pesantren dan Perguruan Tingg,i”, dalam Dinamika (Edisi 1 Juli 2003), hlm.90.
[13] Zakiyah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Bagais Depag RI, 2001), hlm.164.

Tidak ada komentar: