1.
Peralihan Pondok Pesantern Tradisional Menuju Modern
Modernisasi Pendidikan Islam muncul dalam
berbagai ragam dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan setting
sosio-historis yang melingkupi para modernis. Dalam berbagai upaya modernisasi
itulah, pendidikan merupakan sarana yang paling ampuh dan utama. Melalui
pendidikan inilah transfer nilai-nilai dan ajaran Islam dapat dilakukan secara
terencana dan sistematis.
Modernisasi pendidikan adalah salah satu
pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan
ummat Islam saat ini dan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu,
modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalam melahirkan suatu
peradaban Islam yang modern.[1]
Namun demikian modernisasi pendidikan Islam tidaklah dapat dirasakan hasilnya
pada satu dua hari saja namun memerlukan suatu proses yang panjang yang
setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.[2]
Mengingat pentingnya modernisasi pendidikan
Islam, maka setiap lembaga pendidikan Islam haruslah mendapatkan penanganan
yang serius, setidaknya ini untuk menghasilkan para pemikir dan intelektual
yang handal dan mempunyai peran sentral dalam pembangunan. Modernisasi dalam
pendidikan Islam pertama kali harus tertuju kepada tujuan pendidikan Islam itu
sendiri, yang meliputi tujuan tertinggi yaitu sebagai suatu proses pendidikan
yang akan menghasilkan peserta didik yang beribadah kepada-Nya dan sebagai
khalîfah di muka bumi yang dijabarkan menjadi tujuan umum dan secara
operasional dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan Islam secara
institusional, kurikuler[3]
maupun tujuan instruksional. Misalnya pada saat ini kurikulum yang diberlakukan
adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka perumusan tujuan itu harus
mengacu kepada kompetensi tertentu yang harus dimiliki melalui pembelajaran
bidang studi tertentu.
Pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat Indonesia
dengan menggunakan sistem asrama (pondok) yang santrinya menerima pendidikan
dan pengajaran agama islam melalui pengajian kitab-kitab keislaman klasik
dan/atau pendidikan madrasah di bawah kepemimpinan dan asuhan oleh seorang atau
beberapa kiai yang berciri khas independen dan penuh kesederhanaan.
A. Wahid Zaini menyatakan bahwa meskipun banyak
pihak yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren merupakan peniruan sistem
pendidikan Hindu dan Budha, namun secara konseptual dan operasional telah
dikenal pada masa Rasulullah SAW. Rasulullah telah melaksanakan pendidikan
Islam dengan sistem pembelajaran langsung guna mencetak kader-kader penerus
kepemimpinan Islam Dengan pendidikan yang diselenggarakan Rasulullah itu maka
muncullah para Sahabat dan Tâbi’în yang ahli dalam berbagai disiplin agama
Islam baik tafsir, hadits, fiqh, dan lain-lain.[4]
Jusuf Amir Faisal menyatakan bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tujuan yang secara primordial adalah; pertama,
mencetak kader-kader ulama yang paham dan ahli dalam suatu atau lebih bidang
ilmu keislaman, seperti fiqh, aqidah, tasawwuf, bahasa Arab, dan lain-lain. Kelompok
ini adalah mereka yang nantinya tampil sebagai pemimpin umat yang dapat
menguasai ilmu-ilmu agama Islam yang sekaligus dapat mengimplementasikannya
dalam suatu tatanan peradaban masyarakat yang Islami. Kedua, mencetak
para muslim yang dapat melaksanakan ajaran agamanya. Dengan ini lulusan
pesantren diharapkan agar dapat melaksanakan ajaran Islam secara baik meskipun
mereka tidak dapat sampai pada tingkat ulama, sehingga mereka dapat
mengembangkan suatu peradaban dalam perspektif Islam. Pada komunitas ini lebih
ditekankan pada aspek praktis. Ketiga, mencetak tenaga yang memiliki
keterampilan dan keahlian yang relevan dengan terbentuknya masyarakat beragama,
yang dapat mengintegrasikan keahlian dan keterampilannya dalam kerangka pikir
dan kerangka kerja yang Islami.[5]
Senada dengan hal di atas
tujuan pendidikan Islam di pesantren, menurut rumusan Tim Direktorat Kelembagan
Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1986 tentang Standarisasi
Pengajaran Agama di Pondok Pesantren, adalah : (1) menguasai ilmu agama dan
mampu melahirkan insan-insan yang mutafaqquh fî al-dîn, (2) menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan tekun, ikhlas semata-mata untuk berbakti
kepada Allah SWT, (3) mampu menghidupkan Sunnah Rasulullah dan meyebarkan
ajaran Islam secara kâffah, (4) berakhlak luhur, berpikir kritis, berjiwa
dinamis dan istiqamah, (5) berjiwa besar, kuat mental dan fisik, hidup
sederhana, tahan uji., beribadah, tawadhu’, kasih sayang terhadap sesama,
mahabbah dan tawakkal kepada Allah SWT.[6]
Untuk mencapai tujuan yang disebutkan diatas,
perlu dirumuskan pembaharuan sistem pendidikan pesantren pada aspek organisasi,
kurikulum dan metologi pembelajaran. Berkaitan aspek organisasi pesantren harus
disusun pola organisasi yang jelas, terstruktur, dengan menganut
prinsip-prinsip inovasi organisasi pendidikan pesantren sebagai berikut:
1.
Fokus
pada tujuan Pesantren harus mampu menentukan fokus tujuan organisasi sehingga
diketahui dengan jelas oleh semua anggota organisasi. Melalui fokus tujuan
tersebut masing-masing pihak memposisikan diri untuk mencapai tujuan yang
merupakan arah digerakkannya organisasi.
2.
Adikuasi
komunikasi Pesantren harus dapat mengembangkan komunikasi multi level atau
multi dimensi (atas bawah, samping, kiri dan kanan). Komunikasi harus dibangun
vertikal dan horizontal dengan komponen-komponen yang menyeluruh yang tidak
hanya terbatas pada lingkungan internal organisasi itu sendiri, dengan
membangun komunikasi langsung melalui pertemuan-pertemuan.
3.
Pertimbangan
kekuatan optimal Pesantren harus dapat mempertimbangkan di dalamnya perimbangan
kekuatan pada semua unit dan lini organisasinya, sehingga dapat memberikan
kontribusi bagi kemajuan organisasi. Disamping itu untuk melakukan kolaborasi
antara unit karena merasa adanya ketergantungan antar mereka.
4.
Dimensi
moral Dimensi moral berkaitan erat dengan perhatian terhadap respon
masing-masing pribadi berpengaruh kepada organisasi pesantren. Respon individu
dalam setiap organisai tidak sama. Kebijakan organsiasi pesantren harus dapat
membuka respon-respon masingmasing-anggota dan melaksanakan respon-respon
tersebut, dan inilah yang disebut dimensi moral dalam organisasi.
5.
Adaptasi
diperlukan dalam realisasi hubungan organisasi pesantren dengan tuntutan
perkembangan lingkungan. Jika terjadi ketidaksesuaian maka harus ada pemecahan
masalah (problem solving) dan pengaturan kembali (reformulation) melalui
beberapa pendekatan baru yang melibatkan lingkungan dan pesantren.[7]
Aspek
lain yang menjadi concern dalam pembaharuan pesantren adalah reorientasi
kurikulum sebagai salah satu komponen pembelajaran. Kurikulum memegang peranan
penting dalam proses pendidikan serta merupakan suatu rencana kegiatan yang
memberikan pedoman kepada pengajaran[8].
Atau secara praktis kurikulum dipandang sebagai serangkaian mata pelajaran yang
harus ditempuh/dikuasai oleh anak didik untuk mencapai suatu tingkatan
pendidikan.
Sementara itu kurikulum pesantren menganut
sistem dan pola beragam yang disesuaikan dengan tipe dan karakteristik
pesantren itu. Untuk pesantren tradisional, pembelajaran pesantren didominasi
dengan pengkajian terhadap kitab-kitab keislaman klasik yang lebih banyak
didominasi oleh fiqh, aqidah, tasawuf dan bahasa Arab.[9]
Sementara pesantren yang telah mengenal pendidikan madrasah umumnya menerapkan
kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama,[10]
sebagian lagi ada pesantren yang membuka sekolah umum, meskipun ada sebagian
kecil pesantren yang menggunakan kurikulum sendiri.
Berkaitan dengan perubahan dan perkembangan
pesantren di atas, perlu merumuskan kembali kurikulum pembelajarannya dengan
tetap berada dalam koridor sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren secara
umum. Dengan kata lain pesantren harus selalu menjaga nilainilai/prinsip
prinsip dan karakteristik pendidikan pesantren dengan tetap mengarah pada
tujuan pendidikan Islam secara umum dan tujuan pendidikan pesantren secara
khusus. Juga tak kalah pentingnya, pesantren harus selalu melakukan inovasi.
Ada beberapa tawaran berkaitan dengan
pengembangan kurikulum pendidikan pesantren, diantaranya yang dinyatakan Jusuf
Amir Faisal, yaitu :
1.
Pada
level Madrasah Ibtidiyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan ditambah
dengan keterampilan dasar.
2.
Pada
level Madrasah Tsanawiyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan keterampilan
terapan.
3.
Pada
level Madrasah Aliyah meliputi pembelajaran ilmu keislaman dan aliran pemikiran
ilmu Islam, berupa implementasi nilai Islam dalam kehidupan berbudaya.
4.
Pada level takhashshush
meliputi keahlian keterampilan khusus (spesialisasi, pemecahan dan aplikasi
nilai Islam dalam kehidupan dan dakwah bi lisân al- maqâl dan bi lisân al-hâl).[11]
Ide senada juga pernah dilontarkan oleh
Wahjoetomo, mantan Rektor Universitas Merdeka Malang, yang mengusulkan sebuah
bentuk sintesa antara dimensi-dimensi positif pendidikan pesantren dengan
sistem perguruan tinggi, yang sebut ia sebagai Perguruan Tinggi Pesantren
(PTP). PTP dimaksudkan untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang menguasai
pengetahuan umum sekaligus agama yang dilengkapi dengan ketermpilan keahlian
tertentu.yang menitikberatkan pada sikap dan perilaku keagamaan bukan sekadar
pengetahuan keagamaan.[12]
Meskipun gagasan tersebut menghadapi berbagai tantangan (ketersediaan tenaga
pengajar, dana dan lain-lain), namun setidaknya sudah merupakan upaya integrasi
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Aspek pembaharuan pendidikan pesantren lainnya
adalah metodologi pembelajaran di pesantren, dengan menggunakan metode
pengajaran variatif–disamping metode pengajaran konvensional, sorogan dan
bandongan. Ada beberapa metode yang dapat menumbuhkan inovasi pendidikan di
pesantren, yaitu :
a.
Metode
demonstrasi.
yaitu metode yang digunakan dalam pengajaran
yang menggabungkan penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian
peralatan, barang dan benda dengan menjelaskan cara-cara menggunakan peralatan,
hal-hal yang harus diperhatikan, alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan,
pentingnya dilakukan setahap demi setahap.
b.
Metode
sosiodrama dan bermain peran.
Kedua metode ini dapat dilakukan dengan
bersamaan atau saling bergantian. Sosiodrama dapat diartikan sebagai tingkah
laku manusia dalam hubungn dengan masyarakatnya. Sedangkan bermain peran
berarti anak didik memainkan suatu peranan, yang berupa perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat.
c.
Metode
diskusi.
Metode ini sebagai suatu pendekatan dari anak
didik dalam memecahkan berbagai masalah secara analistis dan ditinjau dari
berbagai titik pandangan. Tujuan dari metode ini adalah menemukan pemecahan
masalah, suatu pertemuan pendapat atau suatu kompromi yang disepakati bersama
sebagai gambaran dari gagasan-gagasan terbaik yang diperoleh dari pembicaraan
bersama.
d.
Metode
Kerja Kelompok.
Metode pengajaran ini adalah penyajian materi
dengan cara pemberian tugas-tugas untuk mempelajari sesuatu kepada
kelompok-kelompok belajar yang sudah ditentukan dalam rangka mencapai tujuan.
e.
Studi
kemasyarakatan.
Metode ini menjadikan masyarakat sebagai sumber
pengalaman belajar yang luas. Oleh karenya pesantren tidak hanya menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat tapi menjadikan masyarakat sebagai sumber
belajar yang harus digali dan diperbaiki.[13]
Pembaharuan pendidikan pesantren dalam berbagai
aspeknya memerlukan dukungan semua pihak, baik itu pihak internal pesantren,
dan juga stakeholder, yaitu semua pihak yang terkait dan berkepentingan
terhadap kemajuan pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dukungan ini dapat
dimulai dengan penghilangan stigma buruk terhadap pesantren yang dianggap
sebagai lembaga pendidikan tradisional, pendidikan yang tertutup dan sulit
berkembang Dukungan lainnya berupa pengadaan dana operasional, sarana dan
prasarana pendidikan serta perlakuan terhadap pesantren dan alumninya yang fair
dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan dalam memasuki dunia kerja.
[1] Syed
Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Isam,
terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hlm. 6
[2] Fazlur
Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984).
[3] Tujuan
Kurikuler adalah tujuan pendidikan Islam berdasarkan kepada kurikulum yang
digunakan dalam pendidikan Islam. Ini dapat dijabarkan dari tujuan pendidikan
Nasional, yang secara yuridis formal dirumuskan dan ditetapkan melalui
peraturan yang berlaku
[4]
17A.Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakt
Indonesia” dalam Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal, ed. M. Nazim Zuhdi, et.al
(Surabaya: Sunan Ampel Surabaya Press, 1999), hlm. 77
[5] Jusuf
Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Inszani
Press,1995), hlm.182
[6] M. Ardi
Rasyid, ”Pertumbuhan dan Perkembangan pondok Pesantren di Indonesia,”
Akademika, Majalah STAIN Jurai Siwo Metro (Vol 8, Nomor 01, 2003), hlm. 88
[7] Lias
Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan, Relevansi dan Rekonstruksi Kurikulum
(Jambi: SAPA Project, Cetakan I, 2004) hlm.74-77
[8] Elvi Muawanah, Pelakasanaan Kurikulum Agama Islam
Melalui Akumulasi Pendekatan Pembelajaran Kurukulum Agama di Madrasah Aliyah al
Islam Jerosan Mlarak Ponorogo, (Laporan Penelitian, STAIN Tulung Agung, 2002),
hlm. 11.
[9]
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai
(Jakarta: LP3ES, 1994), hlm.16.
[11] Ibid.,
hlm.192
[12] M.
Affan Hasyim, ”Konvergensi Pesantren dan Perguruan Tingg,i”, dalam
Dinamika (Edisi 1 Juli 2003), hlm.90.
[13] Zakiyah
Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara dan
Dirjen Bagais Depag RI, 2001), hlm.164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar