1. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja
Pembahasan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu (remaja) erat
kaitannya dengan beberapa aliran psikologi yang pernah membicarakan persoalan
tersebut. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aliran psikologi, yaitu: aliran
nativisme, empirisme dan konvergensi.
a.
Aliran Nativisme
Nativisme (nativism) adalah sebuah doktrin filosofis yang
berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini
adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman. Aliran filsafat nativisme
konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan
kacamata hitam. Sebab para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa
perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan
pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan pandangan tersebut
"pesimisme pedagogis".[1]
Aliran nativisme hingga saat ini masih berpengaruh di kalangan
beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang
dipandang sebagai nativis adalah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli
linguistik yang sangat terkenal saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan
penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses
belajar, tetapi juga (yang lebih penting) oleh adanya "biological
predisposition" (kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir.[2]
Namun demikian Chomsky tidak menafikan sama sekali peranan belajar dan
pengalaman berbahasa, juga lingkungan. Baginya, semua ini ada pengaruhnya,
tetapi pengaruh pembawaan bertata bahasa jauh lebih besar lagi bagi
perkembangan bahasa manusia.
b.
Aliran
Empirisme
Aliran ini adalah kebalikan dari nativisme.[3]
Doktrin aliran empirisme yang termasyhur adalah "tabularasa", sebuah
istilah Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank
slate/blank tablet). Doktrin tabularasa menekankan arti penting pengalaman,
lingkungan, dan pendidikan, dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata
bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan
pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para
penganut empirisisme (bukan empirisme) menganggap setiap anak lahir seperti
tabularasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak
menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/lingkungan yang
mendidiknya.[4]
c.
Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi (convergence) merupakan gabungan
antara empirisme dan nativisme. Aliran
ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai
faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama
konvergensi bernama Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof dan
psikolog Jerman.[5]
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut "personalisme",
sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplin-disiplin
ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan
asas personalisme adalah "personologi" yang mengembang-kan teori
komprehensif (luas dan lengkap) tentang kepribadian manusia.[6]
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia,
Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada
lingkungan/pengalaman, juga tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi
berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaan tidak
berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor
pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan manusia
yang sesuai dengan harapan.[7]
Mencermati lebih jauh aliran konvergensi di atas, perkembangan remaja
pasti bergantung pada pembawaan dan lingkungan pendidikannya. Sampai batas
tertentu aliran ini dapat diterima, tetapi tidak secara mutlak. Sebab ada satu
hal lagi yang perlu dicatat yakni potensi psikologis tertentu yang tersimpan
rapi dalam diri setiap remaja dan sulit diidentifikasi.
Hasil proses perkembangan remaja tidak dapat dijelaskan hanya dengan
menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan remaja bukan karena
pembawaan dan lingkungan saja, karena remaja tidak hanya dikembangkan oleh
kedua faktor tersebut akan tetapi juga oleh diri remaja itu sendiri. Setiap
orang, termasuk remaja memiliki potensi self direction dan self
discipline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti dan
menolak sesuatu (aturan atau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak
mengembangkan dirinya. Hasilnya remaja tersebut memiliki potensi psikologis
tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan
tertentu.
Berdasarkan
pemaparan ketiga aliran filosofis di atas dapat dipahami setidaknya ada dua
faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja, yaitu: pertama, faktor
intern, yakni faktor yang ada dalam diri remaja itu sendiri yang meliputi
pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya
sendiri. Kedua, faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di
luar diri remaja yang meliputi: lingkungan (khususnya pendidikan) dan
pengalaman berinteraksi remaja itu dengan lingkungannya.
[1]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2008), cet.ke-14, h. 44
[3]Tokoh aliran empirisme ini adalah John Locke (1632-1704). Nama asli
aliran ini adalah "The School of British Empiricism" (aliran
empirisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir
Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
"environmentalisme" (aliran lingkungan) dan psikologi bernama "environmental
psychology" (psikologi lingkungan yang relatif masih baru. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar