Cari Blog Ini

Kamis, 01 Agustus 2019

Konsep Tungku Tigo Sajarangan Mengenai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah


  1. Konsep Tungku Tigo Sajarangan Mengenai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
            Dalam masyarakat Minangkabau terdapat pula nilai-nilai dasar yang sejak dulu tetap dipertahankan dan dijalankan dengan baik. Nilai-nilai dasar tersebut meliputi tiga hal penting, yaitu agama, adat, dan pengetahuan. Ketiga nilai-nilai dasar itu mempunyai kaitan erat satu sama lain. Semua upaya membangun masyarakat Minangkabau dari dulu sampai sekarang harus didasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut.
            Masing-masing nilai dasar itu dijalankan dan dikembangkan oleh pimpinan yang terdapat dalam masyarakat. Pimpinan dalam masalah agama adalah alim ulama, pimpinan dalam masalah adat adalah ninik mamak, dan dalam pengetahuan adalah cerdik pandai. Ketiga pimpinan masyarakat ini dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satunya tidak berfungsi maka masyarakat Minangkabau akan mengalami kemunduran dan boleh jadi akan terjadi kerusakan moral dalam masyarakat tersebut.[1]
            Adat berarti "kebiasaan" atau "tradisi" masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun-temurun. Basandi berarti "bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu itu menjadi kokoh". Syara berarti "agama Islam". Kitabullah berarti "al-Qur'an dan sekaligus Sunnah Rasulullah SAW sebagai penjelas dari AI-Qur'an". Dengan demikian, maka adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah berarti adat Minangkabau bersendikan Syari'at Islam dan Syari'at Islam bersendikan Kitabullah.[2] "Adat basandi syarak, syara basandi kitabullah" (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah (al-Qur'an). Diperkuat lagi dengan ungkapan, seperti: Syarak mangato adaik mamakai (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya).[3]
            Dalam ungkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah tersebut sama sekali tidak ada disebutkan yang satu di atas yang lain. Tidak ada dikatakan hukum adat berada di bawah hukum syari'at, hukum syara di bawah hukum adat atau sebaliknya, melainkan disebutkan bersendi.[4]
            Masyarakat Minangkabau menganut falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang merupakan konsep serta kerangka acuan seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Sekarang terlihat bahwasanya kebiasaan menabung di Bank Konvensional sudah sangat membudaya, sementara budaya tersebut tidak lagi relevan dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, karena bunga di bank konvensional sudah dinyatakan secara jelas kalau bunga itu termasuk dalam kategori riba yang diharamkan.
            Tungku tigo sajarangan merupakan salah satu sendi pokok kehidupan adat Minangkabau sifat kekeluargaan dan tolong menolong. Kepemimpinan tali tigo sapilin selalu dapat mencerminkan kekompakan dan dapat menampung hal-hal yang baru, yang asli, dan yang mutakhir jika itu berfaedah dalam masyarakat. Ketentuan ini dibenarkan oleh ungkapan adat “cupak usali, cupak buatan, kato daulu ditapati, kato kudian kato bucari”
Sehubungan dengan hadirnya bank Syari'ah dengan produk-produknya yang terbebas dari unsur riba, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam landasan teoritis pada Bab II. Maka dari persoalan ini dibutuhkan peran tungku tigo sajarangan untuk mengajak serta mempengaruhi anak kemenakan maupun masyarakat untuk kembali memahami tentang keberadaan bank konvensional yang tidak lagi relevan dengan falsafah tersebut, dan kemudian untuk bisa pindah menabung ke bank Syari'ah, dalam rangka berhati-hati serta menjaga kemurnian ajaran Islam.


[1] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 78
[2] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 21
[3] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 13
[4] Herman Sihombing, Op.cit, h. 49

Tidak ada komentar: