- Konsep Tungku Tigo Sajarangan Mengenai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Dalam masyarakat Minangkabau terdapat pula
nilai-nilai dasar yang sejak dulu tetap dipertahankan dan dijalankan dengan
baik. Nilai-nilai dasar tersebut meliputi tiga hal penting, yaitu agama, adat,
dan pengetahuan. Ketiga nilai-nilai dasar itu mempunyai kaitan erat satu sama lain. Semua
upaya membangun masyarakat Minangkabau dari dulu sampai sekarang harus didasarkan
pada nilai-nilai dasar tersebut.
Masing-masing nilai dasar itu dijalankan dan dikembangkan
oleh pimpinan yang terdapat dalam masyarakat. Pimpinan dalam masalah agama
adalah alim ulama, pimpinan dalam masalah adat adalah ninik mamak, dan dalam
pengetahuan adalah cerdik pandai. Ketiga pimpinan masyarakat ini dalam
menjalankan peran dan tanggungjawabnya saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan. Apabila salah satunya tidak berfungsi maka masyarakat Minangkabau
akan mengalami kemunduran dan boleh jadi akan terjadi kerusakan moral dalam masyarakat tersebut.[1]
Adat berarti "kebiasaan" atau
"tradisi" masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara
turun-temurun. Basandi berarti "bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu itu menjadi
kokoh". Syara’ berarti "agama Islam". Kitabullah berarti "al-Qur'an dan
sekaligus Sunnah Rasulullah SAW sebagai penjelas dari AI-Qur'an". Dengan
demikian, maka adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah berarti
adat Minangkabau bersendikan Syari'at Islam dan Syari'at Islam bersendikan
Kitabullah.[2] "Adat
basandi syarak, syara’ basandi kitabullah" (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah
(al-Qur'an). Diperkuat lagi dengan ungkapan, seperti: Syarak mangato adaik
mamakai (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya).[3]
Dalam ungkapan adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah tersebut sama sekali tidak ada disebutkan yang satu di
atas yang lain. Tidak ada dikatakan hukum adat berada di bawah hukum syari'at,
hukum syara’ di bawah hukum adat atau sebaliknya, melainkan disebutkan bersendi.[4]
Masyarakat Minangkabau
menganut falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang
merupakan konsep serta kerangka acuan seseorang untuk melaksanakan sesuatu.
Sekarang terlihat bahwasanya kebiasaan menabung di Bank Konvensional sudah
sangat membudaya, sementara budaya tersebut tidak lagi relevan dengan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, karena bunga di bank
konvensional sudah dinyatakan secara jelas kalau bunga itu termasuk dalam
kategori riba yang diharamkan.
Tungku tigo sajarangan merupakan salah satu sendi pokok
kehidupan adat Minangkabau sifat kekeluargaan dan tolong menolong. Kepemimpinan
tali tigo sapilin selalu dapat mencerminkan kekompakan dan dapat menampung
hal-hal yang baru, yang asli, dan yang mutakhir jika itu berfaedah dalam
masyarakat. Ketentuan ini dibenarkan oleh ungkapan adat “cupak usali, cupak
buatan, kato daulu ditapati, kato kudian kato bucari”
Sehubungan
dengan hadirnya bank Syari'ah dengan produk-produknya yang terbebas dari unsur
riba, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam landasan teoritis pada Bab II.
Maka dari persoalan ini dibutuhkan peran tungku tigo sajarangan untuk mengajak
serta mempengaruhi anak kemenakan maupun masyarakat untuk kembali memahami
tentang keberadaan bank konvensional yang tidak lagi relevan dengan falsafah
tersebut, dan kemudian untuk bisa pindah menabung ke bank Syari'ah, dalam
rangka berhati-hati serta menjaga kemurnian ajaran Islam.
[1] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 78
[3] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 13
[4] Herman Sihombing, Op.cit, h. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar