B.
Konsep Tungku Tigo Sajarangan
- Konsep Tungku Tigo Sajarangan
Kepemimpinan adat di Minangkabau dikenal dengan
nama kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan. Secara sederhana bentuk
kepemimpinan ini dijalankan oleh tiga unsur dalam masyarakat, yaitu: Ninik
Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Kepemimpinan ini dalam wujud nyatanya
adalah bahwa masyarakat secara umum dibina, dibimbing, dan diarahkan oleh ketiga
unsur itu. Hal-hal yang berkaitan erat dengan adat istiadat, baik mengenai harta pusaka, urusan anak kemenakan,
jual beli, gadai, perkara, dan sebagainya, pada dasarnya diurus dan
diselesaikan oleh para ninik mamak pada kaum masing-masing. Hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan dibina, dibimbing dan
diarahkan oleh para alim ulama dan pembinaan itu tidak terbatas hanya pada
anggota kaum saja, tapi untuk seluruh anggota masyarakat. Hal yang sama berlaku
bagi kepemianpinan Cadiak Pandai. Para cendikiawan bukanlah milik satu kaum
saja. Tetapi milik bersama seluruh masyarakat, walaupun secara adat ia termasuk
dan anak kemenakan seorang penghulu dari suku tertentu.[1]
Penamaan Tungku Tigo Sajarangan pada
hakikatnya adalah sebuah Kiasan. Secara tradisional, tungku itu terdiri dari
tiga buah batu yang sama tingginva dan baru akan berfungsi sebagai tungku
tempat memasak apabila memang lengkap ketiganya.
Yang dimaksud dengan Ninik Mamak atau penghulu adalah
kepala atau pimpinan sebuah suku, dan sebuah suku biasanya terdiri dari
beberapa buah paruik. Kata paruik kemudian lebih dikenal dengan kata
"kaum" setelah agama Islam datang ke Minangkabau, sehingga penghulu
itu lebih praktis disebut kepala kaum.[2]
Seorang penghulu harus mempunyai budi yang dalam
bicaro yang haluieh, aranya orang yang akan jadi penghulu itu mestinya
dipih oleh kaum yang laki-laki dan perempuan yang telah baligh berakal, adalah
orang yang berbudi pekerti, sopan santun, ramah-tamah, rendah hati. Karena itu semua akan menjadi tauladan oleh anak-kemenakan
yang dipimpinnya. Seperti kata pepatah:
Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi, ran indah iyolah baso [3]
Maksud dari bicaro nan haluieh adalah
bcrbudi pekerti, hendaklah orang yang mempunyai bicara nan halus, yakni
pemikiran-pemikiran yang baik, cerdas, dan disiplin serta bertanggung jawab dan
berada di atas jalan kebenaran.[4]
Idrus Hakimy Dt. Rajo
Penghulu di dalam bukunya Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau menyatakan
bahwa syarat-syarat untuk menjadi seorang penghulu itu ada 6 Kriteria:
a. Baligh berakal
b. Berbudi Baik
c. Beragama Islam
d. Dipilih oleh ahli waris menurut tali ibu (tali
darah menurut adat sepakat ahli waris), nan silingkuan cupak adat, nan
sapayung sapatagak
e. Mewarisi gelar soko. Dan mempunyai
harta pusaka
f. Sanggup mengisi adat menuang limabago menurut
adat nagari setempat, badiri penghulu sepakat waris, badiri adat sepakat
nagari
g. Pancasilais sejati
Peranan Niniak Mamak di Minangkabau
dalam sistem pemerintahan nagari dimainkan secara menyeluruh tetapi terbagi.
Inilah ciri khas dari Minangkabau. Dimana terdapat peranan formal maupun non
formal dalam kepemimpinan. Dari
pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan niniak mamak adalah suatu gelar di Minangkabau yang diberikan kepada
seorang laki-laki yang di dahulukun selangkah dan ditinggikan seranting dalam
satu perut dan suku dengan tidak mengambil ukurun umurnya baik muda maupun tua,
atau dengan kata lain disebut dengan penghulu suku.
Jelaslah bahwa antara niniak mamak
dengan penghulu itu ada dua pengertian yang punya arti sama, hanya letak
perbedaannya pada penyebutan gelar saja, kadangkala orang menyebutnya dengan
penghulu.
Menurut Idrus Hakimy fungsi niniak mamak adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai anggota masyarakat
Sebagai anggota
masyarakat, maksudnya adalah, di samping ia sebagai niniak mamak, juga
merupakan anggota masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama
dengan anggota masyarakat lainnya.
2. Sebagai seorang bapak
dalam keluarganya sendiri
Sebagai bapak dalam
keluarganya sendiri, berarti dia merupakn pimpinan dari anak istrinya dan
bertanggung jawab atas kebutuhan-kebutuhan, baik moril maupun materil.
3. Sebagai seorang pimpinan
atau mamak dalam sukunya
4. Sebagai seorang pimpinan
atau mamak dalam sukunya, berarti ia mempunyai kedudukan tertinggi dalam
kaumnya dan juga bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
5. Sebagai seorang sumando
Sebagai seorang sumando di
atas rumah istrinya, berarti ia hanya bisa berbuat sebagaimana layaknya seorang
sumando, walaupun di tengah-tengah kaumnya sebagai seorang mamak dan niniak
mamak.
6. Sebagai niniak mamak dalam
nagarinya.
Sebagai niniak mamak dalam
nagarinya, ia sebagai seorang niniak mamak atau sebagai pimpinan non formal
dalam masyarkat dimana ia berada. Demikianlah fungsi demikianlah fungsi yang
melekat pada niniak mamak di Minangkabau dalam masyarakat yang harus
dipertanggungjawabkannya.
Alim
ulama adalah pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan agama, yaitu orang
yang dianggap alim. Seorang yang alim adalah orang yang memiliki ilmu yang luas
dan memiliki keimanan.keberadaannya di masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini
diuangkapkan dalam adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Adanya alim ulama di dalam masyarakat Minangkabau membidangi agama
islam/syarak. Penghulu atau ninik mamak membidangi adat.
Sementara ulama memainkan peranan penting
menyangkut masalah-masalah keagamaan. Mereka menjadi tempat bertanya bagi masyarakat untuk
menyelesaikan semua persoalan agama yang dihadapi. Untuk itu, para ulama
ditempatkan pada posisi yang tinggi di kalangan masyarakat Minangkabau.
Sebagai orang yang mengerti dan memahami Islam, peran ulama
dalam membina dan mencerdaskan masyarakat diperkuat dengan falsafah Minangkabau yang berbunyi: Adat basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah. Syara' yang
dimaksud dalam ungkapan ini adalah agama Islam. Semua ketentuan yang terdapat
dalam adat Minangkabau harus sejalan dan berdasarkan ajaran Islam yang
bersumber pada Kitabullah. Sesuai dengan ketentuan Islam, yang berhak dan
menentukan ketetapan agama tersebut adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk
menjabarkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, peran ulama sangat penting. Oleh karena itu, ulama disebut
sebagai Warasatu al Anbiya' (pewaris para Nabi). Dengan demikian,
kedudukan ulama di Minangkabau cukup kuat dilandaskan pada ketentuan Islam dan adat sekaligus. Seiring dengan pengetahuan
agamanya yang luas, ulama dipandang sebagai orang yang mengetahui dengan baik
tentang ajaran Islam. Atas dasar ini, mereka mempunyai otoritas yang sah dalam
menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka pula yang berwenang menjelaskan kepada masyarakat tentang yang halal dan
haram, serta apa yang boleh dan terlarang dilakukan masyarakat. Gambaran tentang peran dan kedudukan ulama di
kalangan masyarakat Minangkabau dapat diamati dari pepatah berikut:
Alim ulama suluah bendang,
Nan tahu dihala dengan haram,
Nan tahu disyah dengan bata,
Nan tahu syariat jo hakikat [5]
Dengan pengetahuan fikih (hukum) ini, ulama
menetapkan apa yang halal dan haram dilakukan masyarakat Minangkabau. Di
samping itu, ulama dipandang pula sebagai orang yang tidak hanya mengetahui
tentang masalah halal dan haram, tetapi juga mengetahui masalah dosa dan pahala
serta tentang urutan yang ada dalam Islam. Dalam konteks ini, ulama mempunyai peran untuk membedakan halal dan
haram, menentukan sunat dan fardu, menjelaskan syah dan batal serta menerangkan
dosa dan pahala. Dari penjelasan di atas
ulama yang penulis maksud bukan hanya sebagai seorang mubaligh, tetapi seorang
ulama adalah orang yang mempunyai pengetauhan tentang fiqih, fasih berbahasa
arab, kaedah-kaedah fiqih, hafal dan paham isi kandungan al-Quran.
Selanjumya, mereka membimbing masyarakat
Minangkabau agar menjalankan agama Islam dengan baik, mendorong mereka
meninggalkan perbuatan maksiat, dosa, dan takhayul, khurafat, dan bid'ah. Tugas
ini memang merupakan kewajiban ulama kapan dan dimanapun mereka berada. Namun, secara khusus, upaya
memberantas khurafat, takhayul dan bid'ah pernah popular di Minangkabau setelah
pulangnya beberapa orang haji asal Minang dari tanah suci Mekkah. Ketiga orang haji itu adalah Huji Miskin dari Pandai Sikek,
Haji Abdul Rahman dari Piobang dan Haji Muhamrnad Arif dari Sumanik.[6]
Cadiak pandai adalah pemimpin masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan wawasan ynag luas, serta pemikiran yang dapat mencari
jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi Cadiak pandai adalah
merupakan kumpulan orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang
yang cepat mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas.
Fungsi cadiak pandai di
minangkabau adalah sebagai berikut :
1.
Pemberi petunjuk kepada
seluruh masyarakat dan anak nagari dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
2.
Untuk
memajukan pemikiran masyarakat supaa tidak ketingglan zaman
3.
Sebagai
pemagar nagari di minangkabau
4.
Memberi
pertimbangan kepada penghulu di dalam mengambil keputusan dalam hal-hal yang
bersifat umum
5. Mempu
menerapkan ilmu untuk kehidupan keluarga serta kepentingan masyarakat.
Tugas dan fungsi unsur-unsur yang terdapat dalam tungku
tigo sajarangan sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang Nomor 134
Tahun 1978 di terangkan bahwa Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
mempunyai fungsi:
a.
Membantu pemerintahan dalam
mengusahakan kelancaan pelaksanaan pembangunan segala bidang
b.
Mengurus masalah hukum dan adat
istiadat dalam nagarinya
c.
Memberi kedudukan hukum menurut hukum
adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari
d.
Meyelenggarakan pembinaan dan
pengembangan nilai-nilai adat mingkabau daam rangka memperkaya, melestarikan
dan membina kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada
khusunya.
e.
Menjaga dan memelihara serta
memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.
[1] Salmadanis dan Duski Samad, Adat Basandi Syarak, Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Yagari dan Surau,
(Jakarta: Kartina Press, 2003), h. 73
[2] Ibid, h. 74
[3]Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 56
[4] Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, loc.cit
[5] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 79-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar