Cari Blog Ini

Kamis, 01 Agustus 2019

Konsep Tungku Tigo Sajarangan


B.     Konsep Tungku Tigo Sajarangan
  1. Konsep Tungku Tigo Sajarangan
            Kepemimpinan adat di Minangkabau dikenal dengan nama kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan. Secara sederhana bentuk kepemimpinan ini dijalankan oleh tiga unsur dalam masyarakat, yaitu: Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Kepemimpinan ini dalam wujud nyatanya adalah bahwa masyarakat secara umum dibina, dibimbing, dan diarahkan oleh ketiga unsur itu. Hal-hal yang berkaitan erat dengan adat istiadat, baik mengenai harta pusaka, urusan anak kemenakan, jual beli, gadai, perkara, dan sebagainya, pada dasarnya diurus dan diselesaikan oleh para ninik mamak pada kaum masing-masing. Hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan dibina, dibimbing dan diarahkan oleh para alim ulama dan pembinaan itu tidak terbatas hanya pada anggota kaum saja, tapi untuk seluruh anggota masyarakat. Hal yang sama berlaku bagi kepemianpinan Cadiak Pandai. Para cendikiawan bukanlah milik satu kaum saja. Tetapi milik bersama seluruh masyarakat, walaupun secara adat ia termasuk dan anak kemenakan seorang penghulu dari suku tertentu.[1]
            Penamaan Tungku Tigo Sajarangan pada hakikatnya adalah sebuah Kiasan. Secara tradisional, tungku itu terdiri dari tiga buah batu yang sama tingginva dan baru akan berfungsi sebagai tungku tempat memasak apabila memang lengkap ketiganya.
            Yang dimaksud dengan Ninik Mamak atau penghulu adalah kepala atau pimpinan sebuah suku, dan sebuah suku biasanya terdiri dari beberapa buah paruik. Kata paruik kemudian lebih dikenal dengan kata "kaum" setelah agama Islam datang ke Minangkabau, sehingga penghulu itu lebih praktis disebut kepala kaum.[2]
            Seorang penghulu harus mempunyai budi yang dalam bicaro yang haluieh, aranya orang yang akan jadi penghulu itu mestinya dipih oleh kaum yang laki-laki dan perempuan yang telah baligh berakal, adalah orang yang berbudi pekerti, sopan santun, ramah-tamah, rendah hati. Karena itu semua akan menjadi tauladan oleh anak-kemenakan yang dipimpinnya. Seperti kata pepatah:
Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi, ran indah iyolah baso [3]
            Maksud dari bicaro nan haluieh adalah bcrbudi pekerti, hendaklah orang yang mempunyai bicara nan halus, yakni pemikiran-pemikiran yang baik, cerdas, dan disiplin serta bertanggung jawab dan berada di atas jalan kebenaran.[4]
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu di dalam bukunya Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau menyatakan bahwa syarat-syarat untuk menjadi seorang penghulu itu ada 6 Kriteria:
a.       Baligh berakal
b.      Berbudi Baik
c.       Beragama Islam
d.      Dipilih oleh ahli waris menurut tali ibu (tali darah menurut adat sepakat ahli waris), nan silingkuan cupak adat, nan sapayung sapatagak
e.       Mewarisi gelar soko. Dan mempunyai harta pusaka
f.       Sanggup mengisi adat menuang limabago menurut adat nagari setempat, badiri penghulu sepakat waris, badiri adat sepakat nagari
g.      Pancasilais sejati
            Peranan Niniak Mamak di Minangkabau dalam sistem pemerintahan nagari dimainkan secara menyeluruh tetapi terbagi. Inilah ciri khas dari Minangkabau. Dimana terdapat peranan formal maupun non formal dalam kepemimpinan. Dari  pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan niniak mamak adalah suatu gelar di Minangkabau yang diberikan kepada seorang laki-laki yang di dahulukun selangkah dan ditinggikan seranting dalam satu perut dan suku dengan tidak mengambil ukurun umurnya baik muda maupun tua, atau dengan kata lain disebut dengan penghulu suku.
            Jelaslah bahwa antara niniak mamak dengan penghulu itu ada dua pengertian yang punya arti sama, hanya letak perbedaannya pada penyebutan gelar saja, kadangkala orang menyebutnya dengan penghulu.           
            Menurut Idrus Hakimy fungsi niniak mamak adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai anggota masyarakat
Sebagai anggota masyarakat, maksudnya adalah, di samping ia sebagai niniak mamak, juga merupakan anggota masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.
2.      Sebagai seorang bapak dalam keluarganya sendiri
Sebagai bapak dalam keluarganya sendiri, berarti dia merupakn pimpinan dari anak istrinya dan bertanggung jawab atas kebutuhan-kebutuhan, baik moril maupun materil.
3.      Sebagai seorang pimpinan atau mamak dalam sukunya
4.      Sebagai seorang pimpinan atau mamak dalam sukunya, berarti ia mempunyai kedudukan tertinggi dalam kaumnya dan juga bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
5.      Sebagai seorang sumando
Sebagai seorang sumando di atas rumah istrinya, berarti ia hanya bisa berbuat sebagaimana layaknya seorang sumando, walaupun di tengah-tengah kaumnya sebagai seorang mamak dan niniak mamak.
6.      Sebagai niniak mamak dalam nagarinya.
Sebagai niniak mamak dalam nagarinya, ia sebagai seorang niniak mamak atau sebagai pimpinan non formal dalam masyarkat dimana ia berada. Demikianlah fungsi demikianlah fungsi yang melekat pada niniak mamak di Minangkabau dalam masyarakat yang harus dipertanggungjawabkannya.
            Alim ulama adalah pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan agama, yaitu orang yang dianggap alim. Seorang yang alim adalah orang yang memiliki ilmu yang luas dan memiliki keimanan.keberadaannya di masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini diuangkapkan dalam adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adanya alim ulama di dalam masyarakat Minangkabau membidangi agama islam/syarak. Penghulu atau ninik mamak membidangi adat.
            Sementara ulama memainkan peranan penting menyangkut masalah-­masalah keagamaan. Mereka menjadi tempat bertanya bagi masyarakat untuk menyelesaikan semua persoalan agama yang dihadapi. Untuk itu, para ulama ditempatkan pada posisi yang tinggi di kalangan masyarakat Minangkabau.
            Sebagai orang yang mengerti dan memahami Islam, peran ulama dalam membina dan mencerdaskan masyarakat diperkuat dengan falsafah Minangkabau yang berbunyi: Adat basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah. Syara' yang dimaksud dalam ungkapan ini adalah agama Islam. Semua ketentuan yang terdapat dalam adat Minangkabau harus sejalan dan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber pada Kitabullah. Sesuai dengan ketentuan Islam, yang berhak dan menentukan ketetapan agama tersebut adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk menjabarkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, peran ulama sangat penting. Oleh karena itu, ulama disebut sebagai Warasatu al Anbiya' (pewaris para Nabi). Dengan demikian, kedudukan ulama di Minangkabau cukup kuat dilandaskan pada ketentuan Islam dan adat sekaligus. Seiring dengan pengetahuan agamanya yang luas, ulama dipandang sebagai orang yang mengetahui dengan baik tentang ajaran Islam. Atas dasar ini, mereka mempunyai otoritas yang sah dalam menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka pula yang berwenang menjelaskan kepada masyarakat tentang yang halal dan haram, serta apa yang boleh dan terlarang dilakukan masyarakat. Gambaran tentang peran dan kedudukan ulama di kalangan masyarakat Minangkabau dapat diamati dari pepatah berikut:
Alim ulama suluah bendang,
Nan tahu dihala dengan haram,
Nan tahu disyah dengan bata,
Nan tahu syariat jo hakikat [5]

            Dengan pengetahuan fikih (hukum) ini, ulama menetapkan apa yang halal dan haram dilakukan masyarakat Minangkabau. Di samping itu, ulama dipandang pula sebagai orang yang tidak hanya mengetahui tentang masalah halal dan haram, tetapi juga mengetahui masalah dosa dan pahala serta tentang urutan yang ada dalam Islam. Dalam konteks ini, ulama mempunyai peran untuk membedakan halal dan haram, menentukan sunat dan fardu, menjelaskan syah dan batal serta menerangkan dosa dan pahala.  Dari penjelasan di atas ulama yang penulis maksud bukan hanya sebagai seorang mubaligh, tetapi seorang ulama adalah orang yang mempunyai pengetauhan tentang fiqih, fasih berbahasa arab, kaedah-kaedah fiqih, hafal dan paham isi kandungan al-Quran.
            Selanjumya, mereka membimbing masyarakat Minangkabau agar menjalankan agama Islam dengan baik, mendorong mereka meninggalkan perbuatan maksiat, dosa, dan takhayul, khurafat, dan bid'ah. Tugas ini memang merupakan kewajiban ulama kapan dan dimanapun mereka berada. Namun, secara khusus, upaya memberantas khurafat, takhayul dan bid'ah pernah popular di Minangkabau setelah pulangnya beberapa orang haji asal Minang dari tanah suci Mekkah. Ketiga orang haji itu adalah Huji Miskin dari Pandai Sikek, Haji Abdul Rahman dari Piobang dan Haji Muhamrnad Arif dari Sumanik.[6]

            Cadiak pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan ynag luas, serta pemikiran yang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi  Cadiak pandai adalah merupakan kumpulan orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang yang cepat mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas.
Fungsi cadiak pandai di minangkabau adalah sebagai berikut :
1.      Pemberi petunjuk kepada seluruh masyarakat dan anak nagari dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
2.      Untuk memajukan pemikiran masyarakat supaa tidak ketingglan zaman
3.      Sebagai pemagar nagari di minangkabau
4.      Memberi pertimbangan kepada penghulu di dalam mengambil keputusan dalam hal-hal yang bersifat umum
5.      Mempu menerapkan ilmu untuk kehidupan keluarga serta kepentingan masyarakat.
            Tugas dan fungsi unsur-unsur yang terdapat dalam tungku tigo sajarangan sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang Nomor 134 Tahun 1978 di terangkan bahwa Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi:
a.       Membantu pemerintahan dalam mengusahakan kelancaan pelaksanaan pembangunan segala bidang
b.      Mengurus masalah hukum dan adat istiadat dalam nagarinya
c.       Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari
d.      Meyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat mingkabau daam rangka memperkaya, melestarikan dan membina kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khusunya.
e.       Menjaga dan memelihara serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.


[1] Salmadanis dan Duski Samad, Adat Basandi Syarak, Nilai dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Yagari dan Surau, (Jakarta: Kartina Press, 2003), h. 73
[2] Ibid, h. 74
[3]Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 56
[4] Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, loc.cit
[5] Salmadanis dan Duski Samad, Op.cit, h. 79-80
[6] Ibid., h. 80-81

Tidak ada komentar: