1.
Metode
dan Pendekatan Psikologi Islam
Metode
pengkajian dan pengembangan psikologi Islam dapat ditempuh melalui dua cara,
yaitu metode pragmatis dan metode idealistik.[1]
Metode pragmatis adalah metode pengkajian atau pengembangan psikologi Islam
yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Maksudnya, bangunan
psikologi Islam dapat diadopsi dan ditransformasikan dari kerangka teori-teori
dari psikologi Barat kontemporer yang sudah mapan. Teori-teori tersebut
dicarikan legalisasi atau justifikasi dari al-nash atau diupayakan pentadzkiyah-an
sehingga konklusinya bernuansa Islami. Metode ini akan menghasilkan rumusan
yang lazim disebut dengan “psikologi Islami”.[2]
Menurut
al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, langkah-langkah
operasional yang dapat ditempuh dalam metode pragmatis adalah: 1) penguasaan
disiplin ilmu modern dan penguraian kategoris, 2) survai disiplin ilmu
pengetahuan, 3) penguasaan khazanah Islam, sebuah ontologis, 4) penguasaan
khazanah ilmiah Islami, tahap analisis, 5) penemuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, 6) penilaian kritis terhadap
disiplin ilmu modern, tingkat perkembangan di masa ini, 7) penilaian kritis
terhadap khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini, 8) survai
permasalahan yang dihadapi umat Islam, 9) survai permasalahan yang dihadapi
umat manusia, 10) analisis kreatif dan sintesis, 11) penuangan kembali disiplin
ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan 12) penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah
diislamisasikan.[3]
Penerapan
metode pragmatis dalam pengkajian atau pengembangan psikologi Islam pada
gilirannya menghasilkan enam pola: pertama, pola similarisasi, yaitu
menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal
dari Islam, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap sama antara al-ruh
dan spirit, al-nafs dengan soul dan ilham dengan
aspirasi. Kedua, pola paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang
berasal dari Islam dengan konsep yang berasal dari sains, karena kemiripan
konotasi, tanpa mengidentikkan keduanya. Misalnya, perang dunia III disamakan
dengan kiamat. Ketiga, pola komplementasi, yaitu antara Islam dan sains
saling mengisi dan saling memperkuat, tetapi tetap mempertahankan eksistensinya
masing-masing. Misalnya, teori motivasi dalam psikologi dibandingkan dengan
motivasi dalam Islam. Kelima, pola induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi
dasar dan teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik
dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah pemikiran metafisik
atau gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip Islam. Misalnya,
keteraturan hukum alam dihubungkan dengan Maha Rabb Allah. Keenam, pola
verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang
dan membuktikan kebenaran ajaran Islam. Misalnya, fungsi madu sebagai obat yang
dihubungkan dengan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 69:
§NèO
Í?ä.
`ÏB
Èe@ä.
ÏNºtyJ¨W9$# Å5è=ó$$sù @ç7ß
Å7În/u
Wxä9è 4 ßlãøs
.`ÏB $ygÏRqäÜç/
Ò>#u°
ì#Î=tFøC ¼çmçRºuqø9r&
ÏmÏù
Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9 3 ¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
ZptUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇÏÒÈ
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.[4]
Metode
yang kedua adalah metode idealistik, yaitu metode yang lebih mengutamakan
penggalian psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Metode ini menggunakan
pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali
dari al-nash.[5]
Konstruksi
premis mayor tersebut menjadi “kebenaran universal” sebagai kerangka acuan
penggalian premis minornya. Melalui metode ini maka terciptalah apa yang
disebut dengan “psikologi Islam”.[6]
Pola ini juga menunjukkan bahwa pendekatan penyusunan psikologi terintegrasi
dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman yang lain seperti teologi dan
etika.
Di
samping kedua metode di atas, setidaknya terdapat tiga pendekatan yang
digunakan dalam membangun psikologi Islam. Ketiga pendekatan tersebut juga
telah dipraktekkan oleh para psikolog muslim terdahulu. Adapun
pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah: 1) pendekatan skriptualis, 2)
pendekatan filosofis dan 3) pendekatan tasawwufi (sufistik).[7]
Sebagai
acuan dasar ketiga pendekatan tersebut ada tiga, yaitu: wahyu, akal (burhan)
dan intuisi (irfan). Ketiga acuan tersebut digunakan secara
simultan, walaupun salah satu di antaranya ada yang lebih dominan.
Pendekatan
skriptualis lebih mengutamakan wahyu, pendekatan falsafi lebih mengutamakan
akal dan pendekatan sufistik atau tasawwufi lebih mengutamakan intuisi. Dalam
terminologi ilmu tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqul,
pendekatan falsafi identik dengan aliran ma’qul, sedangkan
pendekatan sufistik identik dengan aliran isyari.[8]
Pendekatan
skriptualis adalah pendekatan pengkajian psikologi Islam yang didasarkan atas
teks-teks al-Quran ataupun hadis secara literal. Lafal-lafal yang terkandung di
dalam al-Quran maupun hadis, petunjuk (dilalah)nya sudah dianggap jelas (sharih)
dan tidak diperlukan lagi penjelasan di luar ayat atau hadis. Asumsi
filosofisnya adalah bahwa Allah SWT menciptakan nafs manusia, dan Dia
pula yang menciptakan hukum-hukum psikologisnya. Hukum-hukum itu tak sedikit
pun terlupakan dalam firman-Nya, sehingga penggalian hukum-hukum itu cukup
dengan mempelajari firman-Nya.[9]
Pendekatan
falsafi adalah pendekatan pengkajian psikologi Islam yang didasarkan atas prosedur
berpikir spekulatif yang mencakup: berpikir sistemik, radikal dan universal
yang ditopang oleh kekuatan akal sehat.[10]
Pendekatan falsafi ini tidak berarti meninggalkan nash, melainkan tetap
berpegang teguh kepada nash, hanya saja cara memahaminya dengan
mengambil makna essensial yang terkandung di dalamnya.[11]
Akal yang
sehat sesungguhnya berasal dari Allah SWT, demikian juga nash yang
berasal dari-Nya. Karena itu tidak akan bertentangan antara nash dengan
akal yang sehat. Jika terjadi perbedaan antara nash dengan akal sehat,
boleh jadi disebabkan oleh akal belum mampu menangkap pesan essensial nash,
atau diperlukan interpretasi filosofis (takwil) terhadap lafal dalam nash.
Pendekatan
sufistik atau tasawwufi yaitu pendekatan pengkajian psikologi Islam yang
didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-dzauqiyah).[12]
Prosedur tersebut dilakukan dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui
proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs). Cara itu dapat membuka tabir (hijab)
yang menjadi penghalang antara ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia,
sehingga mereka memperoleh ketersingkap-an (al-kasyf) dan mampu
mengungkap hakikat jiwa yang sesungguhnya.
Uraian
panjang lebar di atas menunjukkan bahwa psikologi Islam sebagai salah satu
disiplin ilmu juga memiliki metode dan pendekatan khusus dalam mengkaji
berbagai aspek yang terkait dengan jiwa manusia. Dengan begitu, psikologi Islam
juga telah memenuhi persyaratan ilmiah.
Dalam
konteks ini, hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa antara “Psikologi
Islami” dan “Psikologi Islam” adalah dua hal yang berbeda. Psikologi Islami,
yaitu bangunan psikologi yang bersifat Islami yang didasarkan atas
konsep-konsep atau teori-teori psikologi Barat kontemporer yang kemudian
diislamisasikan. Hasil islamisasi psikologi sekuler itu kemudian dimasukkan ke
dalam khazanah Islam sehingga menjadi wacana Islam. Penggunaan istilah “Islami”
disebabkan ketidakpercayaan bahwa apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan
Islam atau tidak, karena kerangkanya beranjak dari khazanah lain.
Sementara
itu, “Psikologi Islam” yaitu bangunan Islam yang didasarkan atas nilai-nilai
dasar Islam, yang tertuang dalam al-Quran dan hadis serta pemikiran para
psikolog muslim. Melalui ijtihad, penggunaan istilah “Islam” dikedepankan
karena ia yakin bahwa apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai
Islam.
[1]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian
Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), h. 6
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet.ke-4, h. 3-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar