Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Metode dan Pendekatan Psikologi Islam


1.      Metode dan Pendekatan Psikologi Islam
Metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu metode pragmatis dan metode idealistik.[1] Metode pragmatis adalah metode pengkajian atau pengembangan psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Maksudnya, bangunan psikologi Islam dapat diadopsi dan ditransformasikan dari kerangka teori-teori dari psikologi Barat kontemporer yang sudah mapan. Teori-teori tersebut dicarikan legalisasi atau justifikasi dari al-nash atau diupayakan pentadzkiyah-an sehingga konklusinya bernuansa Islami. Metode ini akan menghasilkan rumusan yang lazim disebut dengan “psikologi Islami”.[2]
Menurut al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, langkah-langkah operasional yang dapat ditempuh dalam metode pragmatis adalah: 1) penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategoris, 2) survai disiplin ilmu pengetahuan, 3) penguasaan khazanah Islam, sebuah ontologis, 4) penguasaan khazanah ilmiah Islami, tahap analisis, 5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, 6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern, tingkat perkembangan di masa ini, 7) penilaian kritis terhadap khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini, 8) survai permasalahan yang dihadapi umat Islam, 9) survai permasalahan yang dihadapi umat manusia, 10) analisis kreatif dan sintesis, 11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan 12) penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.[3]
Penerapan metode pragmatis dalam pengkajian atau pengembangan psikologi Islam pada gilirannya menghasilkan enam pola: pertama, pola similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari Islam, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap sama antara al-ruh dan spirit, al-nafs dengan soul dan ilham dengan aspirasi. Kedua, pola paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang berasal dari Islam dengan konsep yang berasal dari sains, karena kemiripan konotasi, tanpa mengidentikkan keduanya. Misalnya, perang dunia III disamakan dengan kiamat. Ketiga, pola komplementasi, yaitu antara Islam dan sains saling mengisi dan saling memperkuat, tetapi tetap mempertahankan eksistensinya masing-masing. Misalnya, teori motivasi dalam psikologi dibandingkan dengan motivasi dalam Islam. Kelima, pola induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dan teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah pemikiran metafisik atau gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip Islam. Misalnya, keteraturan hukum alam dihubungkan dengan Maha Rabb Allah. Keenam, pola verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ajaran Islam. Misalnya, fungsi madu sebagai obat yang dihubungkan dengan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 69:
§NèO Í?ä. `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨W9$# Å5è=ó$$sù Ÿ@ç7ß Å7În/u Wxä9èŒ 4 ßlãøƒs .`ÏB $ygÏRqäÜç/ Ò>#uŽŸ° ì#Î=tFøƒC ¼çmçRºuqø9r& ÏmŠÏù Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇÏÒÈ  
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.[4]

Metode yang kedua adalah metode idealistik, yaitu metode yang lebih mengutamakan penggalian psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari al-nash.[5]
Konstruksi premis mayor tersebut menjadi “kebenaran universal” sebagai kerangka acuan penggalian premis minornya. Melalui metode ini maka terciptalah apa yang disebut dengan “psikologi Islam”.[6] Pola ini juga menunjukkan bahwa pendekatan penyusunan psikologi terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman yang lain seperti teologi dan etika.
Di samping kedua metode di atas, setidaknya terdapat tiga pendekatan yang digunakan dalam membangun psikologi Islam. Ketiga pendekatan tersebut juga telah dipraktekkan oleh para psikolog muslim terdahulu. Adapun pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah: 1) pendekatan skriptualis, 2) pendekatan filosofis dan 3) pendekatan tasawwufi (sufistik).[7]
Sebagai acuan dasar ketiga pendekatan tersebut ada tiga, yaitu: wahyu, akal (burhan) dan intuisi (irfan). Ketiga acuan tersebut digunakan secara simultan, walaupun salah satu di antaranya ada yang lebih dominan.
Pendekatan skriptualis lebih mengutamakan wahyu, pendekatan falsafi lebih mengutamakan akal dan pendekatan sufistik atau tasawwufi lebih mengutamakan intuisi. Dalam terminologi ilmu tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqul, pendekatan falsafi identik dengan aliran ma’qul, sedangkan pendekatan sufistik identik dengan aliran isyari.[8]
Pendekatan skriptualis adalah pendekatan pengkajian psikologi Islam yang didasarkan atas teks-teks al-Quran ataupun hadis secara literal. Lafal-lafal yang terkandung di dalam al-Quran maupun hadis, petunjuk (dilalah)nya sudah dianggap jelas (sharih) dan tidak diperlukan lagi penjelasan di luar ayat atau hadis. Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah SWT menciptakan nafs manusia, dan Dia pula yang menciptakan hukum-hukum psikologisnya. Hukum-hukum itu tak sedikit pun terlupakan dalam firman-Nya, sehingga penggalian hukum-hukum itu cukup dengan mempelajari firman-Nya.[9]
Pendekatan falsafi adalah pendekatan pengkajian psikologi Islam yang didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif yang mencakup: berpikir sistemik, radikal dan universal yang ditopang oleh kekuatan akal sehat.[10] Pendekatan falsafi ini tidak berarti meninggalkan nash, melainkan tetap berpegang teguh kepada nash, hanya saja cara memahaminya dengan mengambil makna essensial yang terkandung di dalamnya.[11]
Akal yang sehat sesungguhnya berasal dari Allah SWT, demikian juga nash yang berasal dari-Nya. Karena itu tidak akan bertentangan antara nash dengan akal yang sehat. Jika terjadi perbedaan antara nash dengan akal sehat, boleh jadi disebabkan oleh akal belum mampu menangkap pesan essensial nash, atau diperlukan interpretasi filosofis (takwil) terhadap lafal dalam nash.
Pendekatan sufistik atau tasawwufi yaitu pendekatan pengkajian psikologi Islam yang didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-dzauqiyah).[12] Prosedur tersebut dilakukan dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs). Cara itu dapat membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang antara ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, sehingga mereka memperoleh ketersingkap-an (al-kasyf) dan mampu mengungkap hakikat jiwa yang sesungguhnya.
Uraian panjang lebar di atas menunjukkan bahwa psikologi Islam sebagai salah satu disiplin ilmu juga memiliki metode dan pendekatan khusus dalam mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan jiwa manusia. Dengan begitu, psikologi Islam juga telah memenuhi persyaratan ilmiah.
Dalam konteks ini, hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa antara “Psikologi Islami” dan “Psikologi Islam” adalah dua hal yang berbeda. Psikologi Islami, yaitu bangunan psikologi yang bersifat Islami yang didasarkan atas konsep-konsep atau teori-teori psikologi Barat kontemporer yang kemudian diislamisasikan. Hasil islamisasi psikologi sekuler itu kemudian dimasukkan ke dalam khazanah Islam sehingga menjadi wacana Islam. Penggunaan istilah “Islami” disebabkan ketidakpercayaan bahwa apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan Islam atau tidak, karena kerangkanya beranjak dari khazanah lain.
Sementara itu, “Psikologi Islam” yaitu bangunan Islam yang didasarkan atas nilai-nilai dasar Islam, yang tertuang dalam al-Quran dan hadis serta pemikiran para psikolog muslim. Melalui ijtihad, penggunaan istilah “Islam” dikedepankan karena ia yakin bahwa apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam.



[1]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 6
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet.ke-4, h. 3-13
[3]Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, op.cit., h. 15
[4]Departemen Agama RI, op.cit., h. 412
[5]Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, op.cit., h. 15
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 22
[8]Ibid.
[9]Ibid., h. 23
[10]Ibid., h. 25
[11]Ibid.
[12]Ibid., h. 26

Tidak ada komentar: