Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Psikologi Islam


A.    Psikologi Islam

1.      Hakikat Psikologi Islam
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai psikologi Islam, berikut ini terlebih dahulu dijelaskan hakikat psikologi. Menurut Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, sesuai dengan fungsi dan perannya “pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian.”[1]
Lebih lanjut dijelaskan ketiga pengertian yang dimaksud adalah “Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche). Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti: pikiran, persepsi, inteligensi, kemauan dan ingatan. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya dan sebagainya”.[2] Dari ketiga makna psikologi tersebut, maka yang lebih tepat digunakan dalam pembahasan ini adalah makna yang terakhir. Sebab kecerdasan emosional erat kaitannya dengan perilaku manusia yang lahir dari kondisi kalbunya.
Secara terminologi, maka yang dimaksud psikologi Islam adalah “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.[3]
Menurut Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, hakikat defenisi di atas mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam dan sebagainya. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma atau aliran. Artinya, psikologi dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Kedua, bahwa psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-‘aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad, al-sirr, al-fithrah dan sebagainya. Ketiga, bahwa psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Sebab psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[4]

Dengan demikian dipahami dengan jelas bahwa psikologi Islam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengkaji berbagai aspek perilaku dan kejiwaan manusia yang sarat dengan nilai etik sesuai dengan paradigma Islam itu sendiri yang bertujuan membentuk kualitas diri yang sempurna guna meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Menurut Calvin S. Hall seperti dikutip Abdul Mujib, Psikologi kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, akan tetapi bersumber dari profesi dan lingkungan praktik kedokteran seperti Freud dan McDougall.[5] Psikologi kontemporer Barat juga baru berusia dua abad, sementara upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang dan materinya juga sangat mendalam. Hal ini memotivasi para psikolog Barat untuk masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya.
Di dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spritual (suluk), proses penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.[6]


[1]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., h. 1
[2]Ibid.
[3]Ibid., h. 5
[4]Ibid., h. 5-7
[5]Ibid., h. 8
[6]Ibid., h. 9

Tidak ada komentar: