A. Psikologi Islam
1.
Hakikat
Psikologi Islam
Sebelum
mengkaji lebih jauh mengenai psikologi Islam, berikut ini terlebih dahulu
dijelaskan hakikat psikologi. Menurut Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, sesuai
dengan fungsi dan perannya “pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam
tiga pengertian.”[1]
Lebih
lanjut dijelaskan ketiga pengertian yang dimaksud adalah “Pertama, psikologi
adalah studi tentang jiwa (psyche). Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan
tentang kehidupan mental, seperti: pikiran, persepsi, inteligensi, kemauan dan
ingatan. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme,
seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya dan
sebagainya”.[2]
Dari ketiga makna psikologi tersebut, maka yang lebih tepat digunakan dalam
pembahasan ini adalah makna yang terakhir. Sebab kecerdasan emosional erat
kaitannya dengan perilaku manusia yang lahir dari kondisi kalbunya.
Secara
terminologi, maka yang dimaksud psikologi Islam adalah “kajian Islam yang
berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar
ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.[3]
Menurut
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, hakikat defenisi di atas mengandung tiga unsur
pokok, yaitu:
Pertama, bahwa
psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia
memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman lain, seperti Ekonomi
Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam dan sebagainya. Penempatan
kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma
atau aliran. Artinya, psikologi dibangun bercorak atau memiliki pola pikir
sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat
membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer
pada umumnya. Kedua, bahwa psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan
perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh,
al-nafs, al-kalb, al-‘aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad, al-sirr, al-fithrah dan
sebagainya. Ketiga, bahwa psikologi Islam bukan netral etik, melainkan
sarat akan nilai etik. Sebab psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu
merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih
sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[4]
Dengan
demikian dipahami dengan jelas bahwa psikologi Islam merupakan disiplin ilmu keislaman
yang mengkaji berbagai aspek perilaku dan kejiwaan manusia yang sarat dengan
nilai etik sesuai dengan paradigma Islam itu sendiri yang bertujuan membentuk
kualitas diri yang sempurna guna meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Menurut
Calvin S. Hall seperti dikutip Abdul Mujib, Psikologi kontemporer Barat pada
mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik,
akan tetapi bersumber dari profesi dan lingkungan praktik kedokteran seperti
Freud dan McDougall.[5]
Psikologi kontemporer Barat juga baru berusia dua abad, sementara upaya-upaya
pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang dan materinya
juga sangat mendalam. Hal ini memotivasi para psikolog Barat untuk masuk ke
dalamnya dan mencoba mempopulerkannya.
Di dunia
Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawuf) telah bertindak sebagai para
psikolog terapan. Tasawuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam
yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit
jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spritual (suluk), proses
penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan
mental dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam
wilayah psikologi.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar