. Perilaku Beragama Remaja
Perilaku adalah suatu kegiatan
individu atas sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut yang diwujudkan
dalam bentuk gerak (perbuatan) atau ucapan.[1]
Irman Herman meyebut remaja sebagai seorang individu yang memiliki batasan usia
antara 11 sampai dengan 24 tahun.[2]
Oleh Rita, L. Atkinson perilaku dipandang sebagai kegiatan organisme yang dapat
diamati.[3]
Perilaku manusia menurut Ahmad Mubarak dapat diamati melalui kepekaan sosial
manusia, tingkahlakunya berkesinambungan, memiliki orientasi kepada tugas,
mempunyai sifat kejuangan, dan memiliki keunikan.[4]
Ini berarti perilaku akan menjadi jelas dan dipengaruhi oleh berbagai faktor
dalam kehidupan seseorang.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam
gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan.[6]
Pada umumnya perilaku dapat ditinjau dari aspek sosial, intrapsikis dan
biologis. Secara sosial perilaku adalah pengaruh hubungan antara organisme
dengan lingkungannya terhadap perilaku, secara intrapsikis perilaku adalah
proses dan dinamika mental/psikologis yang mendasari perilaku, dan secara
biologis adalah sebagai proses dan dinamika syaraf-fa’ali yang ada
dibalik suatu perilaku.[7]
Hasan Langgulung mengungkapkan bahwa perilaku timbul karena adanya interaksi
antara ruh dan badan yang saling mempengaruhi.[8]
Dengan demikian tingkah laku tidak akan muncul jika salah satu dari kedua unsur
tersebut tidak aktif. Badan tidak akan membentuk perilaku jika tidak didorong
oleh ruh dan begitu juga ruh tidak akan dapat berperan jika tidak mengambil
tempat pada badan. Hubungan ini selanjutnya menjadi saling ketergantungan.
Menurut psikologi humanistik perilaku
manusia adalah penentu tunggal yang mampu melaksanakan peran Tuhan.[9]
Sedangkan menurut pandangan psikologi behavioristik, baik atau buruknya
perilaku yang ditampilkan oleh manusia
sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi pada manusia itu, dan perlakuan
yang diterimanya.[10]
Perlakuan untuk selanjutnya menjadi pengalaman baru pada seseorang yang dengan
itu dia membentuk perilaku yang baru sebagai reaksi dari pengalaman yang
diperolehnya itu.[11]
Dengan demikian tingkahlaku dan perbuatan yang teraktualisasikan dari perilaku,
tidak terjadi secara sporadic, tetapi selalu ada kelangsungannya antara
satu perbuatan dengan perbuatan yang lainnya. Perbuatan terdahulu merupakan
kelanjutan dari perbuataan selanjutnya[12],
dan setiap dari perbuatan yang secara sadar dilakukan pastilah memiliki tujuan
tertentu.[13]
Agama[14]
menyangkut kehidupan manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman
agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada
kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan
pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan
seseorang.[15]
Parsudi Suparlan berpendapat agama sebagai system keyakinan dapat menjadi
bagian dan inti dari system-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta
pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[16]
Banyak ahli yang merumuskan tentang pengertian agama[17],
namun secara ringkas makna beragama dapat dirumuskan sebagai keadaan atau
situasi seseorang yang yakin dan mengamalkan ajararan-ajaran, doktrin-doktrin
atau perintah agama yang diyakininya itu secara sadar dan ikhlas. Di dalam al-Quran dinyatakan perilaku seperti
ini:
وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ
حَنِيفاً وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يونس:١٠٥)
Artinya: “dan (aku telah diperintah):
"Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yunus: 105).
Dalam kehidupan beragama, remaja
sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah
dapat membedakan agama sebagai ajaran dan manusia sebagai penganutnya.[18]
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan adalah dianugerahkannya
kemampuan mengenal Tuhannya. Perasaan ini digolongkan pada peristiwa yang
paling mulia dan luhur. Kemampuan yang
demikian ini tidak terdapat pada binatang. Walupun binatang itu sendiri dapat
berpikir (dalam bentuk sederhana), tetapi tidak mampu hidup beragama.[19]
Menurut pandangan filsafat ketuhanan (Theologi) manusia disebut “homo divinans”
yaitu makhluk yang berketuhanan, artinya manusia dalam sepanjang sejarahnya
senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang bersifat gaib.[20]
Ramayulis mengatakan “walaupun para
ahli psikologi belum sependapat tentang mutlaknya naluri beragama atau naluri
keagamaan terdapat pada diri manusia, namun hasil penelitian mereka, sebagian
besar membenarkan eksistensi naluri itu. Bermacam istilah mereka pergunakan
namun pada dasarnya seakan-akan istilah yang mereka pergunakan itu membayangkan
bahwa yang mereka maksud adalah adanya suatu dorongan yang menyebabkan manusia
cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supernatural).
Manusia dimana pun dia berada dan kemana pun mereka hidup secara kelompok atau
sendiri-sendiri telah terdorong ke arah perbuatan dengan memperagakan diri
dalam bentuk pengabdian kepada zat yang
Maha Tinggi itu.[21]
Dalam hal ini terlihat bahwa Ramayulis berpendapat manusia pada secara kodratri pastilah
membutuhkan agama.
Di dalam al-Quran Allah SWT.,
berfirman:
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ
الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى
يُسَبِّحُ
لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَالاَْرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ (الحشر:٢٤)
Artinya: “Dialah Alalah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul
Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr: 24).
Ayat di atas dapat dipahami bahwa
secara kodrati sadar atau tidak bahwa kehidupan manusia tergantung kepada
penciptanya, dari seluruh aspek kehidupannya.
Dengan demikian sebagai hamba tentulah manusia tidak dapat berdiri
sendiri, melakukan, berbuat apa yang dia inginkan tanpa dikaitkan dengan
kehendak Allah. Disinilah nampaknya terlihat jelas adanya kebutuhan manusia
terhadap agama yang berasal dari Allah SWT.
Lebih lanjut Freud dengan
psikoanalisisnya memandang perilaku beragama semata-mata didorong oleh
keinginan untuk menghindar dari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan
memberi rasa aman bagi diri sendiri.[22]
Pendapat Freud ini dapat dipahami sebagai pemahaman yang lebih menekankan aspek
psikososial daripada aspek nilai-nilai transendental agama, yang didasarkan
akan adanya kepentingan pribadi terhadap rasa aman. Mencermati pengertian
perilaku dan beragama di atas secara defenitif Ramayulis[23]
menyimpulkan bahwa perilaku beragama berarti segala aktivitas manusia dalam
kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku
keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan
berdasarkan kesadaran dan pengalaman beramama pada diri sendiri. Agama bagi
manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya. Oleh karena itu
kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang banyak mengambarkan sisi-sisi
batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib.
Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingkah laku
keagamaan yang diekspresikan seseorang.
[1]Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991), h. 1139
[2]Imran Herman, Tingkah Laku Lepak Dikalangan Remaja Luar Bandar, (Kuala
Lumpur: True Times Sdn. Bhd, 1995), h. 3
[3]Rita, L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, Op.Cit., h. 8
[4]Ahmad Mubarak, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 43
[5]Menurut Skinner agama dan berbagai aspek tingkah laku dapat
diterangkan menurut faktor-faktor lingkungan. Siknner, B.F, Science and Human Behavior, (London:
Collier-Macmillan, 1953), h. 9
[6]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia ,
Op.Cit., h. 671
[7]Tim Penyusun, Psikologi Umum, (Jakarta: Gramedia Utama,
1997), h. 21
[8]Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta:
al-Husna, 1992), h. 426
[10]Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 51
[11]Oleh Soemarsono Soedarsono perilaku seseorang diperoleh dari dua
sisi yaitu sisi yang di dapat dari faktor genetik dan sisi yang di dapat dari
pengalaman hidup atau hasil pendidikan yang diperleh. Lihat Soemarsono
Soedarsono, Charakter Building , (Jakarta :
PT Gramedia, 2004), h. 50.
[12]Elfianti Umar, Korelasi antara Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua
dengan Perilaku Agama Siswa SMUN I Lubuk Alung, (Padang : Tesis Porgram Pascasarjana, 2004), h.
23
[13]Hal ini sesuai dengan pendapat Sarlito Wirawan Sarwono yang
menyatakan bahwa tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah pada satu
tujuan tertentu. Lihat Sarlito Wirawan
Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 30
[14]Berasal dari kata Sansekerta yang terdiri dari a = tidak dan gam = pergi. Jadi agama
artinya tidak pergi, tetap dan diwarisi. A. Malik Fajar, Kuliah Agama di
Perguruan Tinggi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), h. 12
[15]Kelompok Peneliti Fak.Ushuluddin, Partisipasi Masyarakat Terhadap
Pelaksanaan Wirid Remaja di Kota Padang, (Padang : Puslit IAIN Imam Bonjol Padang,
2005), h. 10
[16]Parsudi Suparlan, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Siologis, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. vi
[17]Max Miller merumuskan agama sebagai masalah yang gaib, ada hubungan
yang baik dengan dengan kekuatan gaib tersebut, respon emosional dari manusia,
baik respon dalam bentuk rasa takut atau pearasaan cinta., agama juga berkaitan
dengan adanya yang dianggap suci, seperti kitab suci dan tempat suci. Lihat
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
14. Durkheim memangdang agama sebagai alam gaib yang tidak dapat diketahui
dantidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Artinya Durkheim menganggap bahwa
agama tidak dapat dirasionalkan, karena sangat bersifat supernatural. Lihat:
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1984), h. 52. Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddiqi agama
merupakan Undang-undang yang berasal dari Allah untuk menjadi pedoman hidup dan
kehidupan manusia di alam dunia untuk
mencapai kejayaan hidup di dunia dan kesentosaan di akhirat. Lihat: Syahminan
Zaini, Hakekat Agama dalam Kehidupan Manusia, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1992), h. 21
[19]Abu Ahmadi, Psiklogi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h.
108
[20]Ibid.
[21]Ramayulis, Psiklogi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004), h. 47
[22]Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashoro Suroso, Psikologi Islam Solusi
Atas Problem-Problem Psikologi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar