Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Perilaku Beragama Remaja


. Perilaku Beragama Remaja
Perilaku adalah suatu kegiatan individu atas sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak (perbuatan) atau ucapan.[1] Irman Herman meyebut remaja sebagai seorang individu yang memiliki batasan usia antara 11 sampai dengan 24 tahun.[2] Oleh Rita, L. Atkinson perilaku dipandang sebagai kegiatan organisme yang dapat diamati.[3] Perilaku manusia menurut Ahmad Mubarak dapat diamati melalui kepekaan sosial manusia, tingkahlakunya berkesinambungan, memiliki orientasi kepada tugas, mempunyai sifat kejuangan, dan memiliki keunikan.[4] Ini berarti perilaku akan menjadi jelas dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam kehidupan seseorang.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan.[6] Pada umumnya perilaku dapat ditinjau dari aspek sosial, intrapsikis dan biologis. Secara sosial perilaku adalah pengaruh hubungan antara organisme dengan lingkungannya terhadap perilaku, secara intrapsikis perilaku adalah proses dan dinamika mental/psikologis yang mendasari perilaku, dan secara biologis adalah sebagai proses dan dinamika syaraf-fa’ali yang ada dibalik suatu perilaku.[7] Hasan Langgulung mengungkapkan bahwa perilaku timbul karena adanya interaksi antara ruh dan badan yang saling mempengaruhi.[8] Dengan demikian tingkah laku tidak akan muncul jika salah satu dari kedua unsur tersebut tidak aktif. Badan tidak akan membentuk perilaku jika tidak didorong oleh ruh dan begitu juga ruh tidak akan dapat berperan jika tidak mengambil tempat pada badan. Hubungan ini selanjutnya menjadi saling ketergantungan.
Menurut psikologi humanistik perilaku manusia adalah penentu tunggal yang mampu melaksanakan peran Tuhan.[9] Sedangkan menurut pandangan psikologi behavioristik, baik atau buruknya perilaku  yang ditampilkan oleh manusia sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi pada manusia itu, dan perlakuan yang diterimanya.[10] Perlakuan untuk selanjutnya menjadi pengalaman baru pada seseorang yang dengan itu dia membentuk perilaku yang baru sebagai reaksi dari pengalaman yang diperolehnya itu.[11] Dengan demikian tingkahlaku dan perbuatan yang teraktualisasikan dari perilaku, tidak terjadi secara sporadic, tetapi selalu ada kelangsungannya antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lainnya. Perbuatan terdahulu merupakan kelanjutan dari perbuataan selanjutnya[12], dan setiap dari perbuatan yang secara sadar dilakukan pastilah memiliki tujuan tertentu.[13]
Agama[14] menyangkut kehidupan manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.[15] Parsudi Suparlan berpendapat agama sebagai system keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari system-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[16] Banyak ahli yang merumuskan tentang pengertian agama[17], namun secara ringkas makna beragama dapat dirumuskan sebagai keadaan atau situasi seseorang yang yakin dan mengamalkan ajararan-ajaran, doktrin-doktrin atau perintah agama yang diyakininya itu secara sadar dan ikhlas.  Di dalam al-Quran dinyatakan perilaku seperti ini:
وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يونس:١٠٥)

Artinya: “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yunus: 105).

Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dan manusia sebagai penganutnya.[18] Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan adalah dianugerahkannya kemampuan mengenal Tuhannya. Perasaan ini digolongkan pada peristiwa yang paling mulia dan luhur.  Kemampuan yang demikian ini tidak terdapat pada binatang. Walupun binatang itu sendiri dapat berpikir (dalam bentuk sederhana), tetapi tidak mampu hidup beragama.[19] Menurut pandangan filsafat ketuhanan (Theologi) manusia disebut “homo divinans” yaitu makhluk yang berketuhanan, artinya manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang bersifat gaib.[20]
Ramayulis mengatakan “walaupun para ahli psikologi belum sependapat tentang mutlaknya naluri beragama atau naluri keagamaan terdapat pada diri manusia, namun hasil penelitian mereka, sebagian besar membenarkan eksistensi naluri itu. Bermacam istilah mereka pergunakan namun pada dasarnya seakan-akan istilah yang mereka pergunakan itu membayangkan bahwa yang mereka maksud adalah adanya suatu dorongan yang menyebabkan manusia cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supernatural). Manusia dimana pun dia berada dan kemana pun mereka hidup secara kelompok atau sendiri-sendiri telah terdorong ke arah perbuatan dengan memperagakan diri dalam bentuk pengabdian kepada  zat yang Maha Tinggi itu.[21] Dalam hal ini terlihat bahwa Ramayulis berpendapat  manusia pada secara kodratri pastilah membutuhkan agama.
Di dalam al-Quran Allah SWT., berfirman:
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي
 السَّمَاوَاتِ وَالاَْرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ  (الحشر:٢٤)
Artinya: “Dialah Alalah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr: 24).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa secara kodrati sadar atau tidak bahwa kehidupan manusia tergantung kepada penciptanya, dari seluruh aspek kehidupannya.  Dengan demikian sebagai hamba tentulah manusia tidak dapat berdiri sendiri, melakukan, berbuat apa yang dia inginkan tanpa dikaitkan dengan kehendak Allah. Disinilah nampaknya terlihat jelas adanya kebutuhan manusia terhadap agama yang berasal dari Allah SWT.
Lebih lanjut Freud dengan psikoanalisisnya memandang perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindar dari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi diri sendiri.[22] Pendapat Freud ini dapat dipahami sebagai pemahaman yang lebih menekankan aspek psikososial daripada aspek nilai-nilai transendental agama, yang didasarkan akan adanya kepentingan pribadi terhadap rasa aman. Mencermati pengertian perilaku dan beragama di atas secara defenitif Ramayulis[23] menyimpulkan bahwa perilaku beragama berarti segala aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beramama pada diri sendiri. Agama bagi manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang banyak mengambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingkah laku keagamaan yang diekspresikan seseorang.


[1]Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 1139
[2]Imran Herman, Tingkah Laku Lepak Dikalangan Remaja Luar Bandar, (Kuala Lumpur: True Times Sdn. Bhd, 1995), h. 3 
[3]Rita, L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, Op.Cit., h. 8
[4]Ahmad Mubarak, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 43
[5]Menurut Skinner agama dan berbagai aspek tingkah laku dapat diterangkan menurut faktor-faktor lingkungan. Siknner,  B.F, Science and Human Behavior, (London: Collier-Macmillan, 1953), h. 9
[6]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., h. 671
[7]Tim Penyusun, Psikologi Umum, (Jakarta: Gramedia Utama, 1997), h. 21
[8]Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al-Husna, 1992), h. 426
[9]Ibid,  h. 69
[10]Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 51
[11]Oleh Soemarsono Soedarsono perilaku seseorang diperoleh dari dua sisi yaitu sisi yang di dapat dari faktor genetik dan sisi yang di dapat dari pengalaman hidup atau hasil pendidikan yang diperleh. Lihat Soemarsono Soedarsono, Charakter Building, (Jakarta: PT Gramedia, 2004), h. 50. 
[12]Elfianti Umar, Korelasi antara Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua dengan Perilaku Agama Siswa SMUN I Lubuk Alung, (Padang: Tesis Porgram Pascasarjana, 2004), h. 23
[13]Hal ini sesuai dengan pendapat Sarlito Wirawan Sarwono yang menyatakan bahwa tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah pada satu tujuan tertentu. Lihat Sarlito Wirawan  Sarwono,  Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 30
[14]Berasal dari kata Sansekerta yang terdiri dari a =  tidak dan gam = pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap dan diwarisi. A. Malik Fajar, Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), h. 12 
[15]Kelompok Peneliti Fak.Ushuluddin, Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Wirid Remaja di Kota Padang, (Padang: Puslit IAIN Imam Bonjol Padang, 2005), h. 10
[16]Parsudi Suparlan, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Siologis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. vi
[17]Max Miller merumuskan agama sebagai masalah yang gaib, ada hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib tersebut, respon emosional dari manusia, baik respon dalam bentuk rasa takut atau pearasaan cinta., agama juga berkaitan dengan adanya yang dianggap suci, seperti kitab suci dan tempat suci. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 14. Durkheim memangdang agama sebagai alam gaib yang tidak dapat diketahui dantidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Artinya Durkheim menganggap bahwa agama tidak dapat dirasionalkan, karena sangat bersifat supernatural. Lihat: Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 52. Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddiqi agama merupakan Undang-undang yang berasal dari Allah untuk menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia  di alam dunia untuk mencapai kejayaan hidup di dunia dan kesentosaan di akhirat. Lihat: Syahminan Zaini, Hakekat Agama dalam Kehidupan Manusia, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992), h. 21
[18]Syamsu Yusuf LN. Op.Cit., h. 205
[19]Abu Ahmadi, Psiklogi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 108
[20]Ibid.
[21]Ramayulis, Psiklogi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 47
[22]Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashoro Suroso, Psikologi Islam Solusi Atas Problem-Problem Psikologi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 71
[23]Ibid, h. 98

Tidak ada komentar: